Oleh : Anton Christanto Pemerhati dan Pengamat Sosial Politik di Boyolali
Mudanews.com OPINI – Di tengah gemuruh perpolitikan Indonesia yang penuh drama, satu partai kecil mencoba mencuri perhatian dengan cara paling klasik: ganti logo, ganti warna, dan ganti wajah. Partai Solidaritas Indonesia (PSI)—partai yang dulunya dielu-elukan sebagai harapan baru generasi muda—kini muncul dengan lambang gajah merah.
Simbol baru ini bukan hanya perubahan visual, tapi juga sinyal politik: PSI sedang bertransformasi. Tapi bukan menjadi lebih baik. Mereka bukan berevolusi—mereka berkhianat.
🔁 Dari Solidaritas ke Sirkus
Dulu, PSI tampil dengan idealisme yang menyala-nyala. Mereka melawan korupsi, oligarki, dan nepotisme. Mereka mengklaim sebagai suara baru yang bersih, jernih, dan berani.
Namun kini, semua itu tinggal slogan kosong. PSI telah menjelma jadi partai keluarga, partai dinasti, partai selebritas Instagram. Ketika Kaesang Pangarep—anak Presiden Jokowi—tiba-tiba menjadi Ketua Umum, tak ada lagi ruang bagi demokrasi internal, apalagi meritokrasi.
Dan kini, untuk melengkapi kebohongan itu, mereka hadirkan logo gajah merah.
🐘 Gajah: Simbol Kekuasaan, Bukan Rakyat
PSI mencoba menjual logo baru ini sebagai lambang kekuatan, keteguhan, dan arah baru. Tapi publik tahu: ini bukan simbol rakyat—ini simbol ego.
Gajah merah bukan lambang kebijaksanaan. Ia adalah simbol dari keangkuhan. Ia adalah simbol dari kekuasaan besar yang tidak lagi tahu batas. Dalam konteks politik Indonesia, gajah itu melambangkan tubuh kekuasaan yang membesar, melangkahi nurani, dan siap menginjak siapa pun yang mengingatkan.
Dan yang lebih menyakitkan: gajah itu kini sedang mencoba menginjak masa lalu mereka sendiri.
🧹 Menghapus Jejak, Menjilat Luka Lama
Dulu, PSI dikenal karena sikap keras mereka terhadap Prabowo Subianto. Mereka menyebutnya pelanggar HAM, pemimpin masa lalu, simbol kekuasaan otoriter. Video-video kampanye mereka penuh sindiran terhadap Prabowo. Cuitan para elite PSI dipenuhi kritik tajam. Bahkan dalam debat publik, mereka menyerang Prabowo dengan penuh percaya diri.
Namun kini, mereka menjilat ludah sendiri.
PSI kini bergandengan tangan dengan Prabowo. Mereka tidak hanya mendukungnya, tapi juga menyusun kekuatan untuk menjadi anak manis dalam orbit kekuasaan Prabowo-Gibran.
Yang lebih memuakkan: mereka sedang menghapus semua jejak digital penghinaan mereka terhadap Prabowo. Video YouTube dihapus. Tweet-tweet lama ditakedown. Akun-akun lama diarsipkan. Kritik-kritik masa lalu dikubur dalam algoritma yang sengaja dimanipulasi.
Mereka lupa satu hal: rakyat tidak bodoh. Kami punya ingatan. Kami pernah percaya. Dan kami juga bisa kecewa.
📉 Mereka yang Memakai Nama Solidaritas, Tapi Melupakan Rakyat
Kita pernah berharap pada PSI. Generasi muda pernah melihatnya sebagai harapan. Tapi kini PSI bukan lagi partai yang berdiri bersama rakyat. Mereka berdiri di balik gajah merah, sembunyi di ketiak kekuasaan.
Solidaritas itu telah mati. Yang tersisa hanyalah branding. Stiker lucu, reels Instagram, pose-pose manis, dan pencitraan tak berujung.
Dulu mereka mencemooh dinasti politik. Kini mereka justru menjadi embrio dinasti. Dulu mereka menolak pencitraan murahan. Kini mereka hidup dari pencitraan. Dulu mereka anggap Prabowo ancaman. Kini mereka menempel seperti kutu di punggung kekuasaan.
🧠 Rakyat Tidak Lupa
PSI boleh hapus video. Mereka boleh bersih-bersih medsos. Tapi rakyat Indonesia tidak mudah dibohongi.
Kita ingat saat juru bicara mereka menyebut Prabowo tidak layak memimpin bangsa. Kita ingat poster-poster digital yang menyebut “Jangan Pilih Prabowo.” Kita tahu rekam jejak itu nyata. Dan jejak itu tidak hilang hanya karena logo berubah.
Bahkan anak-anak muda yang dulu bersimpati kini mencibir. Mereka tidak bisa menerima pengkhianatan terhadap idealisme. Karena saat kekuasaan menjadi satu-satunya tujuan, maka yang mati pertama adalah hati nurani.
🔥 PSI Hari Ini: Partai Ingkar Sejarah
Mengubah logo tidak mengubah dosa. Menjilat bukan strategi, tapi bentuk pengkhianatan terhadap ingatan publik.
PSI adalah potret dari bagaimana partai bisa menjual jiwanya hanya demi sejumput kekuasaan.
Gajah itu bukan lambang keberanian. Gajah itu adalah wajah baru dari kepengecutan yang dibungkus warna merah. Ia adalah ikon baru dari oportunisme politik. Dan PSI telah menjadikan dirinya sebagai poster boy dari sinisme demokrasi.
🎤 Penutup: Gajah Bisa Besar, Tapi Rakyat Lebih Kuat
Mereka mengira rakyat lupa. Mereka kira rakyat diam. Tapi sejarah tidak diam. Sejarah mencatat.
Dan kami, rakyat yang dulu percaya, kini menyatakan: kami kecewa.
PSI boleh tampil dengan wajah baru. Tapi bagi kami, yang kami lihat hanyalah partai tua dengan semangat yang sudah lama mati.
Gajah itu mungkin bisa menginjak rumput, tapi tidak bisa menginjak kebenaran.
Dan ketika rakyat sudah muak, maka semua gajah pun bisa tumbang oleh kekuatan paling dahsyat dalam demokrasi: kemarahan nurani publik.