*Peran Polisi dalam Memasti
Oleh : Adv. M.Taufik Umar Dani Harahap,SH
(Pemerhati Kepolisian)
Pendahuluan
Mudanews.com OPINI | Kepolisian sebagai salah satu institusi negara memiliki peran strategis dalam menjamin keamanan, ketertiban, serta penegakan hukum. Dalam kerangka hukum tata negara, kedudukan dan fungsi kepolisian harus senantiasa berada dalam koridor konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Kajian hukum tata negara terhadap kepolisian menjadi penting untuk memastikan bahwa lembaga ini bekerja secara profesional, akuntabel, dan selaras dengan prinsip-prinsip negara hukum.
Secara konstitusional, keberadaan Polri diatur dalam Pasal 30 ayat (4) UUD 1945. Di tingkat undang-undang, Polri diatur melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam ketentuan ini, Polri bertugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat.
Asas Salus Populi Suprema Lex Esto, yang berarti “keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi,” adalah prinsip klasik dari hakikat hukum Romawi yang menekankan bahwa segala kebijakan dan tindakan aparatus didalam suatu negara harus diarahkan pada perlindungan rakyat. Prinsip ini mendapatkan relevansinya yang tinggi dalam konteks negara hukum Indonesia, khususnya dalam situasi sosial-politik yang dinamis dan tantangan keamanan yang kompleks.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, Indonesia mencatat lebih dari 12.000 peristiwa kriminalitas setiap bulannya yang berpotensi mengganggu stabilitas sosial. Di sisi lain, Indeks Persepsi Keamanan Masyarakat Indonesia menunjukkan angka 82,3% (BPS, 2022), yang berarti sebagian besar masyarakat masih merasa aman berkat peran aparat penegak hukum. Namun, angka pengaduan masyarakat terhadap kepolisian juga cukup tinggi. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menerima lebih dari 700 laporan terkait tindakan aparat kepolisian pada tahun 2023 saja, menunjukkan adanya dualisme persepsi terhadap kinerja Polri.
Di tengah tantangan tersebut, Polri memiliki mandat konstitusional untuk menjalankan fungsinya sebagai pelindung masyarakat sekaligus penegak hukum. Dalam konteks ketatanegaraan, penting untuk menelaah bagaimana Polri sebagai lembaga negara menjalankan prinsip Salus Populi Suprema Lex Esto dalam kebijakan dan implementasi di lapangan—antara tugas melindungi dan kewajiban menghormati hak warga negara.
Landasan teoretis negara hukum Indonesia didasarkan pada prinsip supremasi hukum dan perlindungan hak asasi manusia. Dalam kerangka teoritis, konsep ini sejalan dengan gagasan rechtsstaat (negara hukum) yang menekankan pada pemerintahan berdasarkan hukum, bukan kekuasaan semata. Friedrich Julius Stahl, tokoh penting dalam pengembangan konsep rechtsstaat, menyatakan bahwa negara harus menjamin kepastian hukum, perlindungan terhadap kebebasan warga negara, dan pembagian kekuasaan.
Selain itu, teori kontrak sosial yang dikembangkan oleh pemikir seperti Thomas Hobbes, John Locke, dan Jean-Jacques Rousseau juga relevan. Menurut Locke, kekuasaan negara diberikan oleh rakyat melalui kontrak sosial untuk menjamin hak-hak dasar, seperti kehidupan, kebebasan, dan keamanan. Dalam kerangka ini, lembaga seperti kepolisian bertugas melaksanakan kekuasaan negara secara terbatas, proporsional, dan bertanggung jawab demi kepentingan umum.
Lebih lanjut, dalam konteks demokrasi konstitusional, pemikiran Hans Kelsen mengenai supremasi konstitusi menegaskan bahwa seluruh tindakan lembaga negara harus tunduk pada norma dasar (Grundnorm). Maka dari itu, prinsip Salus Populi Suprema Lex Esto harus diimplementasikan dalam kerangka konstitusional yang menghormati hukum dan hak asasi manusia.
Konsep negara kesejahteraan (welfare state) yang dianut oleh Indonesia, sebagaimana tercermin dalam Pembukaan UUD 1945, juga memperkuat legitimasi peran negara, termasuk aparat kepolisian, untuk menjamin keamanan sebagai bagian dari pemenuhan hak dasar warga negara. Dalam pendekatan ini, keselamatan publik bukan hanya menjadi tugas fungsional, tetapi juga amanah moral dan yuridis.
Polisi Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia
Dalam ilmu kepolisian, dikenal konsep bahwa polisi bukan hanya aparat penegak hukum (law enforcement), tetapi juga pelayan masyarakat (public service) dan penjaga ketertiban sosial (social order maintenance). Berdasarkan teori dari Herman Goldstein, peran polisi meliputi problem-solving policing yang bertumpu pada analisis akar permasalahan sosial demi menciptakan keamanan yang berkelanjutan. Konsep ini berkembang menjadi community policing, di mana polisi menjadi bagian dari masyarakat dan bekerja sama secara aktif dengan komunitas dalam menjaga ketertiban.
Dalam konteks Ketatanegaraan Indonesia, Polri diatur secara khusus dalam Pasal 30 UUD 1945 dan UU No. 2 Tahun 2002. Polri tidak berada di bawah kekuasaan militer, tetapi merupakan lembaga sipil yang langsung bertanggung jawab kepada Presiden. Dalam sistem ini, polisi merupakan bagian dari instrumen kekuasaan eksekutif yang bertugas menjalankan hukum, namun tetap harus tunduk pada prinsip-prinsip konstitusional, seperti perlindungan HAM dan prinsip due process of law.
Teori democratic policing dijelaskan Muradi (Direktur Program Pascasarjana Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran, Bandung, artikel, kamis, 27 Desember 2018 di Sindonews) juga penting untuk dipahami, dimana tugas polisi dilakukan dalam kerangka akuntabilitas publik, transparansi, dan penghormatan terhadap prinsip demokrasi. Polisi dalam negara demokratis harus bekerja berdasarkan mandat hukum, bertanggung jawab kepada rakyat melalui mekanisme pengawasan eksternal, seperti DPR, Kompolnas, dan lembaga pengawas independen lainnya.
Dengan demikian, dalam perspektif ilmu kepolisian modern dan sistem ketatanegaraan Indonesia, polisi memainkan peran ganda yang kompleks: sebagai aparat penegak hukum, pelindung HAM, penyelesai masalah sosial, dan mitra masyarakat. Semua ini berpijak pada prinsip bahwa keselamatan rakyat adalah tujuan tertinggi dari keberadaan negara dan aparatur penegaknya.
Polri Dalam Implementasi Asas Sallus Populi Lex Esto
Implementasi prinsip ini terlihat dalam berbagai kebijakan dan tindakan lapangan oleh kepolisian. Beberapa data dan kasus konkret yang relevan antara lain:
Penanganan Pandemi COVID-19 (2020–2022): Polri aktif dalam Operasi Aman Nusa II yang melibatkan lebih dari 83.000 personel untuk mendukung upaya penanggulangan COVID-19, termasuk distribusi bantuan sosial, pengamanan vaksinasi, dan pengawasan protokol kesehatan. Data Satgas Penanganan COVID-19 mencatat bahwa kepolisian turut membantu menurunkan angka pelanggaran PPKM melalui patroli dan edukasi masyarakat.
Pengamanan Aksi Unjuk Rasa: Dalam pengamanan aksi penolakan Omnibus Law tahun 2020, Polri menerjunkan lebih dari 8.000 personel di Jakarta. Meskipun terdapat kritik atas tindakan represif, laporan Komnas HAM (2021) menunjukkan bahwa masih terdapat pelanggaran HAM dalam penanganan massa aksi, termasuk kekerasan fisik dan penangkapan sewenang-wenang.
Penanggulangan Konflik Sosial: Polri, melalui Satuan Tugas Operasi Madago Raya, menangani ancaman terorisme di Sulawesi Tengah. Dalam laporan tahunan BNPT 2023, kepolisian berhasil mengurangi intensitas serangan teror bersenjata hingga 60% dibandingkan tahun sebelumnya.
Pelayanan Publik dan Perlindungan Perempuan dan Anak: Data dari Divisi Humas Polri mencatat bahwa selama tahun 2023, terdapat lebih dari 20.000 laporan kekerasan terhadap perempuan dan anak yang ditangani unit PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak), dengan tingkat penyelesaian kasus mencapai 85%.
Data dan implementasi di atas menunjukkan bahwa kepolisian memiliki peran nyata dalam menjamin keselamatan masyarakat, meskipun masih terdapat tantangan dalam hal pendekatan yang humanis dan berbasis hak asasi manusia.
Begitupun, pelaksanaan prinsip ini tidak luput dari tantangan. Masih terdapat sejumlah kasus penyalahgunaan wewenang, kekerasan yang berlebihan oleh aparat, serta rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap Polri. Survei Indikator Politik Indonesia (2023) mencatat tingkat kepercayaan publik terhadap Polri hanya sebesar 62,9%, lebih rendah dibanding TNI yang mencapai 78%. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan antara idealisme hukum dengan praktik di lapangan. Oleh karena itu, dibutuhkan reformasi menyeluruh dalam tubuh Polri, baik secara struktural, kultural, maupun normatif.
Upaya Reformasi dan Rekomendasi
Dalam memastikan pelaksanaan asas Salus Populi Suprema Lex Esto, Polri perlu memperkuat pendekatan berbasis hak asasi manusia, meningkatkan transparansi dan akuntabilitas publik, serta menerapkan prinsip community policing. Reformasi pendidikan dan pelatihan yang menanamkan nilai-nilai etik dan humanis kepada personel kepolisian juga menjadi hal krusial. Selain itu, penguatan peran lembaga pengawas eksternal seperti Kompolnas dan Ombudsman harus dilakukan untuk meningkatkan akuntabilitas kinerja kepolisian. Adapun Upaya reformasi dalam tubuh Polri harus mencakup berbagai aspek strategis, antara lain:
1. Reformasi Struktural:
Penataan ulang struktur kelembagaan Polri untuk menghindari tumpang tindih kewenangan.
Penguatan peran Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) serta Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) agar lebih independen dan efektif dalam pengawasan internal.
2. Reformasi Kultural:
Membangun budaya profesionalisme dan pelayanan publik berbasis etika dan moralitas.
Kampanye internal untuk membentuk karakter polisi sebagai pelindung dan pengayom masyarakat, bukan alat kekuasaan semata.
3. Reformasi Sumber Daya Manusia:
Perbaikan sistem rekrutmen agar lebih transparan, meritokratis, dan bebas KKN.
Pendidikan dan pelatihan berkelanjutan yang berbasiskan hak asasi manusia, penegakan hukum dan keadilan, dan resolusi konflik.
4. Reformasi Teknologi dan Transparansi:
Digitalisasi sistem pengaduan masyarakat dan pemantauan kinerja melalui platform terbuka.
Pemanfaatan teknologi untuk mencegah korupsi dan pelanggaran prosedur oleh anggota di lapangan (body cam, CCTV, e-ticketing, dll).
Rekomendasi:
Perlu regulasi yang lebih kuat dan jelas terkait prinsip proporsionalitas dalam penggunaan kekuatan oleh aparat kepolisian.
Penguatan kolaborasi dan siregisitas antara Polri dengan pusat kajian ilmu kepolisian di Perguruan Tinggi, lembaga masyarakat sipil dalam bidang edukasi hukum, mediasi konflik, dan advokasi HAM.
Pemerintah harus mendorong Polri menjadi bagian dari sistem perlindungan sosial, khususnya dalam penanganan korban kekerasan, bencana, dan kelompok rentan.
Mendorong keterlibatan publik dalam evaluasi kebijakan kepolisian secara periodik sebagai bentuk akuntabilitas demokratis.
Kesimpulan
Kepolisian memiliki peran vital dalam menjaga stabilitas dan supremasi hukum. Oleh karena itu, diperlukan penguatan terhadap prinsip-prinsip hukum tata negara dalam menjalankan tugas-tugas kepolisian.
Asas Salus Populi Suprema Lex Esto harus menjadi landasan moral dan hukum dalam setiap tugas dan tindakan kepolisian. Sebagai bagian dari instrumen negara hukum yang demokratis, Polri memiliki tanggung jawab besar untuk menjamin bahwa keselamatan rakyat benar-benar menjadi hukum tertinggi.
Reformasi kelembagaan, budaya profesionalisme, dan komitmen terhadap hak asasi manusia merupakan kunci utama agar prinsip ini tidak hanya menjadi slogan, tetapi menjadi kenyataan dalam kehidupan bernegara di Indonesia.