Oleh : Anton Christanto,Ketua Bidang III PP PERHATI-KL 2022–2025
1️⃣ Pergeseran Paradigma: Dari Otonomi Profesi ke Kontrol Negara
Mudanews.com OPINI – Lahirnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan menandai babak baru dalam sejarah profesi medis di Indonesia.
Namun, di balik semangat efisiensi dan reformasi sistem kesehatan nasional, terdapat konsekuensi besar: terjadinya erosi kewenangan organisasi profesi secara fungsional, terutama dalam hal pembinaan kompetensi, pengawasan etika, dan perlindungan marwah profesi.
Sebelum lahirnya UU Kesehatan 2023, organisasi profesi seperti PERHATI-KL — melalui Kolegium, BHP2A, dan BKEK — memiliki peran vital dalam menjaga mutu layanan medis, memastikan kompetensi dokter spesialis, serta menegakkan etika profesi.
Kewenangan tersebut bersumber dari delegasi negara kepada profesi, didasari oleh prinsip self-regulation — yakni, profesi yang diatur oleh dirinya sendiri, karena hanya sejawatlah yang mampu menilai sejawatnya secara adil dan berilmu.
Namun kini, pasca UU Kesehatan, konsep self-regulation bergeser menuju state regulation, di mana sebagian besar fungsi kontrol dialihkan kepada Pemerintah melalui badan-badan administratif di bawah Kementerian Kesehatan.
PERHATI-KL dan organisasi profesi lainnya kini menghadapi kenyataan baru:
1. Fungsi penetapan standar kompetensi tidak lagi sepenuhnya berada di tangan profesi.
2. Fungsi registrasi, resertifikasi, dan pembinaan etik diawasi ketat oleh Pemerintah.
3. Fungsi pembinaan anggota dan advokasi profesi menjadi terbatas pada ranah non-yuridis.
Perubahan ini menimbulkan erosi kewenangan fungsional — profesi kehilangan sebagian instrumen kontrol terhadap dirinya sendiri. Padahal, dalam filosofi profesi medis, kemandirian etika merupakan fondasi utama keberadaan organisasi profesi.
2️⃣ Negara yang Menguat, Profesi yang Tersubordinasi
UU Kesehatan memperkuat peran dan kontrol Pemerintah terhadap seluruh aspek tenaga kesehatan dan tenaga medis, termasuk dokter spesialis.
Secara teoritis, langkah ini dimaksudkan untuk meningkatkan akuntabilitas publik. Namun secara praktis, ia menciptakan relasi subordinatif antara profesi dan negara.
Dampak terburuk dari peningkatan kontrol Pemerintah ini adalah potensi politisasi dan birokratisasi profesi.
1. Politisasi terjadi ketika kebijakan dan keputusan profesi tidak lagi murni berdasarkan pertimbangan ilmiah dan etik, tetapi terpengaruh kepentingan politik, kekuasaan, atau orientasi ekonomi.
Dalam konteks ini, keputusan yang menyangkut standar pendidikan, izin praktik, atau sanksi etik dapat terdistorsi oleh pertimbangan non-profesional.
2. Birokratisasi terjadi ketika proses pengambilan keputusan dalam urusan profesi medis menjadi panjang, hierarkis, dan tidak responsif terhadap realitas lapangan.
Misalnya, dalam kasus etik atau sengketa medis, penanganan menjadi kaku dan lamban karena harus melewati struktur administratif yang berlapis-lapis.
Padahal, profesi kedokteran adalah profesi yang hidup dalam situasi klinis yang dinamis dan berbasis keputusan cepat.
Ketika setiap keputusan profesi harus tunduk pada birokrasi politik, maka independensi profesional akan melemah — dan pada titik tertentu, kepercayaan publik terhadap profesi dapat terkikis.
3️⃣ Demi Kemanfaatan Hukum: Etika Profesi Harus Ditegakkan oleh Lembaga Berwenang
Meskipun kewenangan organisasi profesi mengalami reduksi, penegakan etika profesi tetap harus menjadi prioritas nasional, bukan hanya tanggung jawab organisasi semata.
Dalam kerangka hukum administrasi negara, penegakan etika profesi tenaga medis dan tenaga kesehatan harus dilaksanakan oleh lembaga yang memiliki kewenangan atributif — yaitu kewenangan yang diberikan secara langsung oleh peraturan perundang-undangan.
Kewenangan atributif ini penting untuk menjamin kepastian hukum dan kemanfaatan hukum bagi semua pihak:
1..Bagi dokter dan tenaga medis, agar mendapat perlindungan hukum dan etika dalam menjalankan profesinya.
2. Bagi masyarakat, agar memperoleh jaminan pelayanan yang aman, bermutu, dan beretika.
Lembaga tersebut — apakah dalam bentuk Majelis Etik Independen, Komisi Disiplin Profesi, atau mekanisme baru yang ditetapkan pemerintah — harus tetap menjadikan organisasi profesi sebagai mitra strategis.
Karena hanya organisasi profesi yang memahami konteks keilmuan, etika, dan kompleksitas pelayanan medis di lapangan.
Dengan demikian, penegakan kode etik bukan sekadar sanksi administratif, tetapi bentuk pengabdian tertinggi profesi kepada masyarakat: menjaga integritas ilmu dan martabat kemanusiaan.
> “Profesi tanpa etika adalah kekuasaan tanpa moral. Dan negara tanpa profesi yang beretika adalah sistem tanpa nurani.”
4️⃣ Demi Keadilan: Fungsi Pembinaan dan Pengawasan Harus Independen
Agar sistem kesehatan tidak jatuh dalam jebakan state domination atau political capture, maka fungsi pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah harus dijalankan dengan asas keadilan, independensi, dan proporsionalitas.
Artinya:
1. Pengawasan tidak boleh dipolitisasi atau digunakan sebagai alat kontrol terhadap individu atau organisasi profesi.
2. Kebijakan harus selaras dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), yaitu:
” Asas kepastian hukum,
* Asas kemanfaatan,
* Asas kecermatan,
* Asas tidak menyalahgunakan wewenang,
* Asas keterbukaan, dan
* Asas pelayanan yang baik.
Pemerintah perlu memahami bahwa pembinaan profesi medis tidak bisa dilakukan dengan pendekatan birokratis semata.
Profesi kedokteran memiliki nilai luhur: ilmu, empati, dan tanggung jawab moral terhadap nyawa manusia.
Oleh sebab itu, fungsi pembinaan dan pengawasan harus bersifat independen, bebas dari kepentingan politis, dan dijalankan dalam semangat kemitraan dengan organisasi profesi.
Pemerintah berperan sebagai penjaga kepentingan publik, sementara organisasi profesi menjadi penjaga marwah dan mutu profesi.
Keduanya harus berjalan berdampingan — bukan saling menegasikan.
5️⃣ Menjaga Marwah Profesi: Jalan Tengah antara Regulasi dan Otonomi
Dalam konteks PERHATI-KL, organisasi ini harus memposisikan diri secara bijak di tengah arus perubahan.
Di satu sisi, tunduk dan patuh terhadap sistem hukum nasional; di sisi lain, tetap menjaga roh profesi agar tidak kehilangan makna etik dan martabat ilmiahnya.
Maka, langkah strategis ke depan adalah:
1. Memperkuat tata kelola internal (AD/ART & Ortala 2025) agar semua aktivitas organisasi tetap sah dan terukur.
2. Menjalin kemitraan konstruktif dengan Pemerintah dan KKI, sebagai mitra pembinaan dan pengawasan yang sejajar, bukan bawahan.
3. Membangun sistem digital dan etika profesi berbasis data (PIDS) untuk meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan kepercayaan publik.
4. Menghidupkan kembali budaya etik profesi di semua level organisasi, agar setiap dokter tidak hanya taat hukum, tetapi juga berintegritas dalam nurani.
Karena pada akhirnya, yang membedakan profesi dari sekadar pekerjaan adalah kehormatan etiknya.
6️⃣ Penutup: Dari Regulasi Menuju Refleksi
UU Kesehatan No. 17 Tahun 2023 telah membuka era baru bagi dunia kedokteran Indonesia.
Namun, agar tidak kehilangan arah, organisasi profesi seperti PERHATI-KL harus menjadikannya momentum untuk berbenah dan memperkuat legitimasi moral di mata anggotanya.
Negara boleh mengatur, tetapi profesi harus tetap berdaulat secara etik dan bermartabat secara moral.
Regulasi boleh berubah, tetapi integritas profesi tidak boleh pudar.
> “Negara yang kuat membutuhkan profesi yang bermartabat.
Profesi yang bermartabat hanya dapat hidup bila etika dijaga,
dan etika hanya dapat ditegakkan oleh mereka yang memahami panggilan kemanusiaan.

