Oleh : Anton Christanto Pemerhati dan Pengamat Sosial Politik di Boyolali
Mudanews.com OPINI– Innalillahi…
Setelah tahlilan dibilang syirik, arisan ibu-ibu disebut bid’ah, kini sound horeg—hiburan rakyat kecil—divonis haram. Fatwa yang katanya demi menjaga moral, padahal justru mencerminkan arogansi moral elit agama terhadap budaya rakyat jelata.
Apa dosa kami?
Kami tak berfoya di klub malam.
Kami tak berjudi di meja kasino.
Kami hanya ingin bahagia, menari, bernyanyi, melepas penat hidup—di tengah sawah, gang sempit, jalan kampung yang berdebu.
Lalu kami dihukum… karena terlalu bahagia?
✊ Kami Tidak Butuh Diharamkan. Kami Butuh Didengar!
“Sound horeg haram,” kata mereka.
Karena bising.
Karena tidak sopan.
Karena bikin lupa akhirat.
Tapi anehnya, konser musik K-Pop atau jazz festival yang tiketnya jutaan tidak ada yang difatwa haram.
Kenapa yang ramai di kampung dihukum, sementara yang gaduh di ballroom hotel mewah dibiarkan?
Apa karena kami miskin?
Sound horeg bukan sekadar musik.
Ini adalah jeritan kegembiraan warga kecil yang saban hari dihimpit utang, panas, dan derita.
Ini adalah cara kami merayakan kelulusan anak kami—yang belajar tanpa les mahal.
Ini adalah cara kami memuliakan tamu di pernikahan—tanpa katering hotel berbintang.
Ini adalah cara kami menyambut bulan maulid—dengan musik sholawat yang kami remix sendiri.
Tapi semua itu tak cukup suci untuk kalian, ya?
🚫 Fatwa yang Menghentikan Nafas Budaya
Demi Tuhan, kami tidak buta agama. Kami juga salat. Kami juga puasa. Kami juga bersedekah.
Tapi jangan ajari kami iman dengan cara mematikan cara kami hidup.
Agama bukan untuk menekan, tapi untuk membimbing.
Fatwa haram terhadap sound horeg bukan tentang kesucian. Itu tentang kontrol. Tentang siapa yang punya hak bicara soal moral, dan siapa yang harus diam—karena dianggap bodoh, dangkal, dan sesat.
Kami tidak terima!
🔥 Kalian Haramkan Sound Kami, Tapi Kalian Diam Saat…
Musik remix sholawat kami disebut bid’ah, padahal kalian izinkan murottal dijadikan nada dering HP.
Anak muda kampung dilarang DJ-an, tapi anak pejabat bebas nge-club tiap malam.
Kami ditertibkan karena polusi suara, tapi deru pesawat privat, truk tambang, dan TOA pilkada kalian biarkan.
Mana keadilan kalian?!
👂 Dengarkan Kami Sekali Saja…
Kami tidak minta negara biayai pesta.
Kami tidak minta ulama ikut joget.
Kami cuma ingin: dihormati.
Kalau ada yang kelewatan, ayo kita atur bersama.
Kalau volume terlalu tinggi, kasih standar.
Kalau ada aksi tak senonoh, beri edukasi.
Jangan dibungkam. Jangan diharamkan. Jangan dibinasakan.
💥 Yang Kalian Haramkan Bukan Suara. Tapi Hidup Kami.
Sound horeg adalah denyut nadi rakyat yang ingin tetap hidup—meski hidupnya keras.
Kami bukan ahli fiqih. Tapi kami tahu:
Yang haram bukan musiknya, tapi sikap kalian yang menganggap suara kami tak layak didengar.
> Hentikan fatwa yang lahir dari menara gading. Turunlah ke bumi. Rasakan derita kami. Dengarlah sound kami. Itu bukan sekadar dentuman. Itu adalah napas kami. Nafas terakhir hiburan rakyat yang nyaris kalian cekik.
Sound Horeg Difatwa Haram? Antara Iman, Budaya, dan Kebebasan Ekspresi
Fenomena sound horeg—istilah populer untuk pertunjukan musik jalanan dengan suara keras, beat elektronik cepat, dan ekspresi vokal yang penuh semangat—tengah menjadi polemik sosial keagamaan. Musik ini identik dengan acara-acara hajatan rakyat, arak-arakan pernikahan, bahkan menjadi identitas hiburan rakyat bawah yang ekspresif dan merakyat.
Namun kini, sound horeg menghadapi sorotan tajam. Fatwa haram dari kalangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) di beberapa daerah, khususnya MUI Jawa Timur, telah menggelindingkan bola panas kontroversi yang melibatkan banyak aspek—agama, budaya, politik identitas, hingga kesehatan.
Apa Itu Sound Horeg?
Secara sederhana, sound horeg merupakan pertunjukan musik elektronik berpengeras suara besar yang dipadukan dengan DJ remix dangdut, remix sholawat, hingga lagu-lagu pop EDM lokal. Ia bukan sekadar aliran musik, tetapi sudah berkembang menjadi budaya populer masyarakat akar rumput, terutama di Jawa dan sebagian wilayah Indonesia lainnya. Dalam konteks lokal, sound horeg adalah hiburan rakyat, ekspresi kegembiraan, dan simbol keberdayaan komunitas lokal dalam merayakan momen-momen penting, seperti khitanan, pernikahan, bahkan Maulid Nabi.
Fatwa Haram: Apa Dasarnya?
Fatwa haram terhadap sound horeg yang dikeluarkan oleh MUI, khususnya MUI Jawa Timur, didasarkan pada sejumlah alasan:
- Mudarat lebih besar dari manfaat: Suara bising yang dianggap mengganggu masyarakat umum, terutama saat malam hari atau di waktu-waktu ibadah.
- Campur-baur yang melanggar norma syar’i: Sound horeg kerap menampilkan penari jalanan dengan pakaian terbuka, goyangan erotis, atau pemisahan gender yang tidak dijaga.
- Melalaikan dari ibadah: Musik yang dimainkan dalam sound horeg dinilai membawa suasana hura-hura dan mengalihkan masyarakat dari kegiatan yang lebih produktif atau spiritual
- Tidak membawa nilai moral dan spiritual: Banyak lagu remix yang dianggap vulgar atau tidak mendidik, bahkan ada yang memuat unsur pornografi lirik secara tersirat.
Dengan landasan itu, MUI memandang bahwa keberadaan sound horeg bukan hanya merusak moral individu, tetapi juga berpotensi menggerus akhlak sosial.
Kritik terhadap Fatwa: Budaya Tak Selalu Bertentangan dengan Agama
Namun tidak sedikit pihak yang menilai bahwa fatwa tersebut terlalu menyederhanakan dan menggeneralisasi satu fenomena budaya kompleks. Berikut beberapa argumen kontra:
- Sound horeg sebagai ekspresi budaya rakyat
Budayawan dan sosiolog menilai sound horeg sebagai kelanjutan dari tradisi rakyat, seperti reog, kuda lumping, dangdut keliling, hingga gamelan kawedanan dalam bentuk modern. Menjadikannya haram dianggap bentuk pemutusan mata rantai budaya lokal dengan agama yang lebih ramah dan kontekstual. Di masa lalu, Wali Songo pun menggunakan media kesenian untuk berdakwah. - Agama seharusnya merangkul, bukan melarang
Pendakwah progresif dan aktivis budaya Islam menilai, melabeli haram tanpa pendekatan dakwah yang humanis justru memperluas jurang antara ulama dan umat. Mereka menyarankan agar sound horeg diberi pembinaan, bukan diberangus. Lagu-lagu religius seperti sholawat dalam remix sound horeg justru bisa menjadi alat syiar, meski perlu diarahkan dengan etika tertentu. - Standar ganda terhadap hiburan
Mengapa konser musik internasional, club malam elite, atau acara musik lain tidak difatwa haram meski juga menyuguhkan hal yang sama—bahkan lebih vulgar? Ini menunjukkan adanya standar ganda kelas sosial. Hiburan rakyat dilarang, hiburan elit dibiarkan. Ini memicu kecurigaan adanya bias sosial dan politik dalam keluarnya fatwa. - Kebebasan berekspresi dan konstitusi
Konstitusi Indonesia menjamin kebebasan berekspresi dan berkesenian. Mengharamkan sound horeg dapat dianggap sebagai pembatasan hak sipil atas nama moralitas agama. Negara bukan negara agama. Maka posisi hukum positif terhadap sound horeg juga harus proporsional dan non-diskriminatif
Aspek Kesehatan: Apa Kata Sains?
Dari sisi medis, khususnya otolaringologi (THT) sub Neurootologi, sound horeg memang dapat menimbulkan masalah kesehatan:
Paparan suara keras terus-menerus (di atas 85 desibel) bisa merusak koklea, bagian dalam telinga yang bertanggung jawab atas pendengaran.
Efek trauma akustik jangka panjang dapat menimbulkan tuli saraf atau tinnitus (denging telinga kronis).
Pada anak-anak dan lansia, risiko gangguan tidur, stres psikologis, dan gangguan konsentrasi meningkat karena polusi suara.
Namun dari sudut pandang medis, solusi bukan mengharamkan, melainkan mengatur standar desibel, jam operasi, dan zonasi suara. Kesehatan dapat dijaga lewat regulasi, bukan represi.
Perlu Dialog Bukan Fatwa Sepihak
Sound horeg adalah gejala kebudayaan, bukan sekadar produk musik. Ia tidak bisa disikapi semata dari perspektif fiqh yang rigid. Diperlukan dialog antara ulama, budayawan, pemerintah, seniman, dan masyarakat. Yang dibutuhkan adalah etika publik, bukan pelarangan total.
Jika dianggap mengganggu: atur jamnya.
Jika dinilai vulgar: arahkan senimannya.
Jika ada penyimpangan moral: bimbing masyarakatnya.
Melabeli “haram” untuk seluruh ekspresi budaya rakyat tanpa menyelami akar sosial dan semangat kolektif di baliknya justru membuka celah ketegangan sosial dan mematikan ruang-ruang seni lokal yang autentik.
> Sound horeg mungkin bising, tapi lebih bising lagi bila kita menutup pintu dialog dengan fatwa yang tak bisa dinegosiasikan. Di negeri yang bhinneka ini, musik bukan sekadar hiburan—ia bisa jadi jembatan untuk menyapa umat dengan penuh kasih, bukan hanya dengan cap halal atau haram.
**
Sound Horeg Difatwa Haram: Kontroversi Musik yang Memecah Pandangan Masyarakat”
Fenomena musik sound horeg yang sedang ramai dibicarakan belakangan ini akhirnya menuai reaksi keras dari berbagai kalangan, termasuk kalangan agama dan budaya.
Dalam sebuah diskusi yang diadakan oleh tvOne dalam program Catatan Demokrasi, tema “Sound Horeg Difatwa Haram” menjadi sorotan utama.
Acara ini akan membahas secara mendalam kontroversi yang melibatkan musik sound horeg, yang beberapa pihak anggap tidak sesuai dengan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia.
Fatwa Haram dari MUI
Fatwa haram yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur terhadap sound horeg menjadi titik awal dari perdebatan ini. Beberapa pihak menyebutkan bahwa irama musik yang cepat dan vokal yang keras dianggap tidak mencerminkan nilai-nilai spiritual yang sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini memicu perdebatan sengit mengenai batasan seni dan kebebasan berekspresi di Indonesia.
Pandangan Budaya dan Agama
Para narasumber yang hadir dalam acara ini termasuk Sujiwo Tejo, seorang budayawan yang akan memberikan pandangan tentang posisi sound horeg dalam konteks budaya Indonesia. Sedangkan KH. Ma’ruf Khozin, Ketua Fatwa MUI Jawa Timur, akan menjelaskan lebih lanjut alasan di balik fatwa tersebut dan bagaimana hal ini sejalan dengan ajaran agama. Tak ketinggalan, Derby Sulaiman, pendakwah dan musisi, akan membahas bagaimana seni dan agama bisa bersinergi, tanpa saling bertentangan.
Dampak Sosial dan Budaya
Selain sisi agama, acara ini juga akan menggali dampak sosial yang ditimbulkan oleh sound horeg dalam masyarakat, yang akan dijelaskan oleh Emil Dardak, Wakil Gubernur Jawa Timur. Bagaimana sound horeg mempengaruhi generasi muda, menjadi sorotan dalam diskusi ini.
Aspek Industri Hiburan
Industri musik Indonesia, yang dikenal dengan keberagaman genre dan gaya, juga turut terimbas dengan fenomena sound horeg. Devid Stevan Laksamana Perwira Yudha, pengusaha sound horeg, akan berbagi perspektif tentang bagaimana musik ini menjadi bisnis yang berkembang pesat di kalangan anak muda dan komunitas tertentu.
Kesimpulan dari Berbagai Perspektif
Acara ini, yang dipandu oleh Andromeda Mercury, bertujuan untuk memberikan perspektif yang seimbang mengenai sound horeg dalam konteks sosial, budaya, agama, dan industri hiburan. Diskusi ini juga akan memberi ruang bagi penonton untuk memahami lebih dalam tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan nilai-nilai budaya serta agama yang dijunjung tinggi.
Acara Catatan Demokrasi yang akan disiarkan pada Selasa, 22 Juli 2025 pukul 20.00 WIB di tvOne, menghadirkan diskusi yang menarik mengenai topik kontroversial yang saat ini tengah menjadi perbincangan luas. Dengan judul “DIKECAM, SOUND HOREG DIFATWA HARAM”, acara ini akan membahas fenomena mengenai musik sound horeg yang sempat menuai kecaman dan fatwa haram dari berbagai pihak.
Diskusi ini akan dihadiri oleh sejumlah narasumber yang kompeten di bidangnya, di antaranya:
Sujiwo Tejo, seorang budayawan yang akan memberikan perspektif budaya terhadap fenomena ini.
KH. Ma’ruf Khozin, Ketua Fatwa MUI Jawa Timur, yang akan memberikan pandangan mengenai fatwa haram yang dikeluarkan oleh beberapa pihak terkait musik sound horeg.
Emil Dardak, Wakil Gubernur Jawa Timur, yang akan berbicara tentang dampak sosial dan budaya dari fenomena ini.
Derby Sulaiman, pendakwah dan musisi, yang akan membahas dampak dari sudut pandang agama dan musik.
Fikri Mirza Putranto, Dokter spesialis THT-BKL Indonesia yang pakar di bidang Saraf Telinga (Neurootologi), yang akan memberikan analisis lebih dalam tentang musik sound horeg dalam konteks kesehatan telinga.
M. Rofii Mukhlis, Ketua Umum Barisan Ksatria Nusantara (BKN), yang akan membahas aspek sosial politik dari masalah ini.
Devid Stevan Laksamana Perwira Yudha, pengusaha sound horeg yang akan memberikan perspektif dari sisi bisnis industri hiburan.
Acara ini akan dipandu oleh host Andromeda Mercury, yang akan memandu jalannya diskusi dengan santai namun mendalam. Jangan lewatkan acara ini untuk mendapatkan berbagai perspektif mengenai perdebatan seputar sound horeg dan dampaknya dalam kehidupan sosial dan budaya Indonesia.