𝐊𝐨𝐫𝐮𝐩𝐬𝐢 𝐝𝐢 𝐍𝐞𝐠𝐚𝐫𝐚 𝐁𝐞𝐫𝐤𝐞𝐦𝐛𝐚𝐧𝐠: 𝐀𝐧𝐚𝐥𝐢𝐬𝐢𝐬 𝐁𝐮𝐝𝐚𝐲𝐚, 𝐏𝐞𝐧𝐝𝐢𝐝𝐢𝐤𝐚𝐧, 𝐝𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐭𝐢𝐝𝐚𝐤𝐭𝐫𝐚𝐧𝐬𝐩𝐚𝐫𝐚𝐧𝐚𝐧 𝐆𝐚𝐣𝐢 𝐏𝐞𝐧𝐲𝐞𝐥𝐞𝐧𝐠𝐠𝐚𝐫𝐚 𝐍𝐞𝐠𝐚𝐫𝐚

Breaking News

- Advertisement -

 

Drs. Muhammad Bardansyah. Ch.Cht

Mudanews.com OPINI | Korupsi merupakan masalah sistemik yang menghambat pembangunan di negara berkembang, termasuk Indonesia. Praktik korupsi yang masif tidak hanya disebabkan oleh lemahnya hukum, tetapi juga oleh faktor budaya, pendidikan, dan ketidaktransparanan gaji serta kekayaan penyelenggara negara. Tulisan ini menganalisis mengapa masyarakat sering abai terhadap ketimpangan antara gaji resmi pejabat dengan kekayaan yang mereka miliki, serta bagaimana celah struktural memungkinkan korupsi terjadi.

𝐁𝐮𝐝𝐚𝐲𝐚 𝐝𝐚𝐧 𝐌𝐞𝐧𝐭𝐚𝐥𝐢𝐭𝐚𝐬 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐌𝐞𝐥𝐚𝐧𝐠𝐠𝐞𝐧𝐠𝐤𝐚𝐧 𝐊𝐨𝐫𝐮𝐩𝐬𝐢.

Budaya paternalistik dan kolektivisme di banyak negara berkembang sering kali menormalisasi korupsi. Beberapa aspek budaya yang berkontribusi antara lain:

𝐁𝐮𝐝𝐚𝐲𝐚 “𝐒𝐢𝐥𝐚𝐭𝐮𝐫𝐚𝐡𝐦𝐢” 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐃𝐢𝐬𝐚𝐥𝐚𝐡𝐚𝐫𝐭𝐢𝐤𝐚𝐧

Dalam masyarakat Indonesia, hubungan personal (seperti nepotisme dan patronase) sering dianggap lebih penting daripada meritokrasi. Pemberian “uang terima kasih” atau “hadiah” kepada pejabat dianggap wajar, padahal ini merupakan bentuk gratifikasi (Muliawan, 2018).

𝐏𝐞𝐦𝐚𝐡𝐚𝐦𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐤𝐮𝐚𝐬𝐚𝐚𝐧 𝐬𝐞𝐛𝐚𝐠𝐚𝐢 𝐇𝐚𝐤

Pejabat publik sering dipandang sebagai “penguasa” yang berhak menikmati fasilitas negara, bukan sebagai pelayan masyarakat. Hal ini diperparah oleh sejarah feodalisme yang masih memengaruhi birokrasi (Hofstede, 1980).

𝐊𝐞𝐭𝐢𝐝𝐚𝐤𝐩𝐞𝐝𝐮𝐥𝐢𝐚𝐧 𝐌𝐚𝐬𝐲𝐚𝐫𝐚𝐤𝐚𝐭 𝐭𝐞𝐫𝐡𝐚𝐝𝐚𝐩 𝐊𝐞𝐤𝐚𝐲𝐚𝐚𝐧 𝐏𝐞𝐣𝐚𝐛𝐚𝐭 .

Masyarakat cenderung tidak kritis terhadap harta pejabat yang tidak sebanding dengan gaji resmi. Hal ini terjadi karena:
• Normalisasi Ketimpangan : Ketidaksetaraan ekonomi sudah dianggap biasa, sehingga masyarakat tidak mempertanyakan aset pejabat.
• Minimnya Akses Informasi : Gaji dan tunjangan pejabat sering tidak dipublikasikan secara transparan (Transparency International, 2022).

𝐑𝐞𝐧𝐝𝐚𝐡𝐧𝐲𝐚 𝐏𝐞𝐧𝐝𝐢𝐝𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐬𝐚𝐝𝐚𝐫𝐚𝐧 𝐀𝐧𝐭𝐢-𝐊𝐨𝐫𝐮𝐩𝐬𝐢

Pendidikan memainkan peran krusial dalam membentuk integritas dan kesadaran hukum. Beberapa masalah pendidikan yang berkontribusi pada korupsi:

𝐊𝐮𝐫𝐚𝐧𝐠𝐧𝐲𝐚 𝐏𝐞𝐧𝐝𝐢𝐝𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐀𝐧𝐭𝐢-𝐊𝐨𝐫𝐮𝐩𝐬𝐢

Kurikulum sekolah jarang mengajarkan etika politik dan bahaya korupsi secara mendalam. Akibatnya, masyarakat tidak memahami dampak sistemik dari korupsi (Heyneman, 2004).

𝐋𝐢𝐭𝐞𝐫𝐚𝐬𝐢 𝐅𝐢𝐧𝐚𝐧𝐬𝐢𝐚𝐥 𝐝𝐚𝐧 𝐇𝐮𝐤𝐮𝐦 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐑𝐞𝐧𝐝𝐚𝐡

Masyarakat tidak memahami mekanisme penggajian pejabat atau cara melaporkan dugaan korupsi. Mereka juga sering tidak tahu bahwa kekayaan pejabat harus dilaporkan secara transparan (KPK, 2021).

𝐏𝐞𝐧𝐝𝐢𝐝𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐄𝐥𝐢𝐭𝐢𝐬 :

Sistem pendidikan yang tidak merata menciptakan kesenjangan pengetahuan. Hanya kelompok terdidik yang kritis terhadap penyalahgunaan kekuasaan, sementara mayoritas masyarakat pasif (UNESCO, 2019).

𝐊𝐞𝐭𝐢𝐝𝐚𝐤𝐭𝐫𝐚𝐧𝐬𝐩𝐚𝐫𝐚𝐧𝐚𝐧 𝐆𝐚𝐣𝐢 𝐝𝐚𝐧 𝐂𝐞𝐥𝐚𝐡 𝐊𝐨𝐫𝐮𝐩𝐬𝐢 𝐀𝐩𝐚𝐫𝐚𝐭

Gaji penyelenggara negara di Indonesia sering tidak mencerminkan kebutuhan hidup layak, namun ketidaktransparanan membuka celah korupsi:

𝐆𝐚𝐣𝐢 𝐑𝐞𝐬𝐦𝐢 𝐯𝐬. 𝐏𝐞𝐧𝐝𝐚𝐩𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐓𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐉𝐞𝐥𝐚𝐬

Gaji pejabat publik (seperti PNS atau anggota DPR) sebenarnya sudah memadai, tetapi mereka memiliki akses ke tunjangan, proyek fiktif, dan dana hibah yang tidak diawasi (World Bank, 2020).

𝐋𝐇𝐊𝐏𝐍 (𝐋𝐚𝐩𝐨𝐫𝐚𝐧 𝐇𝐚𝐫𝐭𝐚 𝐊𝐞𝐤𝐚𝐲𝐚𝐚𝐧 𝐏𝐞𝐧𝐲𝐞𝐥𝐞𝐧𝐠𝐠𝐚𝐫𝐚 𝐍𝐞𝐠𝐚𝐫𝐚) 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐋𝐞𝐦𝐚𝐡 :

Meski ada kewajiban pelaporan kekayaan, verifikasi oleh KPK sering tidak ketat. Banyak pejabat yang memiliki aset tidak wajar tetapi tidak ditindak (KPK, 2023).

𝐂𝐞𝐥𝐚𝐡 𝐇𝐮𝐤𝐮𝐦 𝐝𝐚𝐧 𝐏𝐞𝐧𝐠𝐚𝐰𝐚𝐬𝐚𝐧 𝐋𝐨𝐧𝐠𝐠𝐚𝐫 :

Proyek anggaran pemerintah dirancang dengan celah mark-up, sementara pengawasan internal (seperti Inspektorat) kerap tidak independen (Rose-Ackerman, 1999).

𝐊𝐞𝐬𝐢𝐦𝐩𝐮𝐥𝐚𝐧

Korupsi di Indonesia dan negara berkembang lain dipengaruhi oleh budaya yang menormalisasi penyalahgunaan kekuasaan, pendidikan yang tidak membangun kesadaran kritis, serta sistem penggajian dan pengawasan yang tidak transparan. Untuk memerangi korupsi, diperlukan:

1. Reformasi budaya birokrasi dari feodalistik menjadi meritokratis.
2. Integrasi pendidikan anti-korupsi dalam kurikulum.
3. Transparansi absolut gaji dan kekayaan pejabat, serta sanksi tegas bagi pelanggar.

𝐃𝐚𝐟𝐭𝐚𝐫 𝐑𝐞𝐟𝐞𝐫𝐞𝐧𝐬𝐢
1. Heyneman, S. P. (2004). ‘Education and Corruption’. International Journal of Educational Development.
2. Hofstede, G. (1980). ‘Culture’s Consequences: International Differences in Work-Related Values’. Sage Publications.
3. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (2021). ‘Laporan Tahunan Pendidikan Anti-Korupsi’.
4. Muliawan, J. (2018). ‘Budaya Korupsi dan Mentalitas Birokrasi di Indonesia’. Jurnal Sosial Politik. Rose-Ackerman, S. (1999). ‘Corruption and Government: Causes, Consequences, and Reform’. Cambridge University Press. Transparency International. (2022). Corruption Perceptions Index.
5. World Bank. (2020). Enhancing Government Effectiveness and Transparency: The Fight Against Corruption.

Berita Terkini