Demokrasi OKU Telah Mati, 11 Partai Usung Tersangka Korupsi

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Jakarta – Pasangan calon petahana di pilkada Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Sumatera Selatan, Kuryana Azis-Johan Anuar akan menghadapi kotak kosong.

Kaderisasi partai politik yang lemah dinilai jadi penyebab tak ada calon lain yang maju.
Terlebih, Johan Anuar yang merupakan calon wakil bupati, sudah menjadi tersangka kasus korupsi. Fungsi kaderisasi partai politik menjadi tanda tanya besar lantaran masih mau mengusung calon tersangkut kasus hukum.

Di Pilkada OKU, Kuryana Azis-Johan Anuar diusung oleh 11 partai politik, yaitu PKS, PBB, PAN, Golkar, PKPI, PPP, Gerindra, Demokrat, PKB, PDI Perjuangan, dan NasDem.

Pengamat Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sriwijaya Husni Thamrin menyebut partai politik gagal dalam melahirkan kader untuk dijadikan calon pemimpin baru.

Akibatnya, partai politik lebih memilih untuk mengusung petahana meski kinerjanya belum tentu memuaskan masyarakat.

“Karena tidak ada banyak kader menonjol, jadi yang paling mungkin dijual petahana. Untuk OKU Selatan seharusnya kadernya banyak. Dari Parpol tidak membina, padahal fungsi kaderisasi dari parpol ada. Fungsinya tidak jalan,” ujar Thamrin, Jumat (2/10).

Tindakan memborong partai politik seperti yang dilakukan oleh Kuryana-Johan di OKU, menurut Thamrin akan menggerus legitimasi paslon tunggal. Masyarakat pun menjadi skeptis atas penyelenggaraan pilkada.

Padahal idealnya, pilkada menjadi sarana masyarakat memilih pemimpin terbaik dari beberapa calon yang ada.

“Kalau terus-terusan ada kotak kosong, ini akan menjadi sarana termudah untuk memenangkan pilkada. Padahal yang kita inginkan di proses pilkada adalah kompetisi,” kata Thamrin.

Tindakan memborong dukungan partai pun akan mengesankan calon kepala daerah memiliki modal yang kuat, baik finansial, kontrol sosial, dan politik, hingga dinilai bisa memimpin suatu daerah. Padahal modal memimpin daerah tidak cukup hanya dengan modal demikian.

Akibat terburuk yang berpotensi terjadi adalah akan banyak orang yang ingin memanfaatkan jalan pintas untuk memenangkan proses demokrasi tanpa kompetisi. Bermodal kekayaan, dukungan parpol diborong.

“Terus saja borong partai, tapi dampaknya masyarakat skeptis, acuh tak acuh terhadap pilkada. Mereka akan berpikir ini hanya akal-akalan elit saja. Ini akan mematikan demokrasi,” ujar Thamrin.

Thamrin yakin fenomena kotak kosong akan memperburuk situasi demokrasi di Indonesia. Pilkada, lanjutnya, adalah momen masyarakat untuk memilih calon pemimpin.

Partai politik seharusnya menyediakan pilihan calon-calon kepala daerah. Bukan malah tunduk pada modal yang dimiliki satu calon sehingga enggan mengusung calon lainnya.

“Ini kan kadang hanya persoalan rakyat tidak punya akses ke parpol. Parpol dengan jalur hierarki ke atas hanya memilih satu orang saja, suara rakyat terabaikan,” ujar Thamrin.

Sebelumnya, di OKU terdapat beberapa orang yang hendak mencalonkan diri sebagai penantang Kuryana-Johan. Misalnya saja Eddy Yusuf yang hendak menggandeng Helman dengan bahan bakar politik dari PKB dan Hanura.

Namun Eddy dan Helman kehilangan dukungan partai di detik-detik akhir menjelang pendaftaran. Pencalonan melalui jalur perseorangan pun tidak dimungkinkan lagi sehingga Eddy-Helman gagal mencalonkan diri.

Eddy pernah menjabat sebagai Bupati OKU dan Wakil Gubernur Sumsel. Sementara Helman merupakan pensiunan birokrat yang pernah menjabat sebagai Kepala Dinas PUPR OKU.

Fenomena di OKU terjadi pula di OKU Selatan. Hanya ada satu pasangan calon yang berkontestasi, yakni Popo Ali Murtopo-Sholihien Abuasir.

Paslon itu didukung 12 parpol yakni PKB, Gerindra, PDI, Golkar, Nasdem, PKS, Perindo, PPP, PAN, Hanura, Demokrat, dan PBB.

Ke depan, menghilangkan kotak kosong merupakan tugas partai politik dan kelompok masyarakat sipil. Memang secara hukum dan aturan, keberadaan kotak kosong sah. Namun secara kepatutan akan menimbulkan proses demokrasi yang tidak sehat.

“Kalau dibiarkan akan membunuh demokrasi itu sendiri dan ini berbahaya. Memang banyak yang mengatakan demokrasi akan berhadapan dengan otoritarian, tapi waktu otoritarian masuk ke sistem demokrasi, dia akan membunuh dari dalam,” ungkap Thamrin.

Sumber : CNNIndonesia.com

Berita Terkini