MUDANEWS.COM – Saat ini sedang marak dan viral soal sertifikasi da’i atau penceramah bersertifikasi yang akan dilakukan dan dikeluarkan oleh Kementerian Agama.
Bagaimana sertifikasi itu diberlakukan, tampaknya bersifat tidak wajib. Bagaimana dengan profesi lainnya misalnya dokter, guru, dosen pengacara, tukang bangunan, pekerja pabrik dan industri dan para pekerja profesi lainnya, apakah disertifikasi?
Tampaknya semua profesi yang hendak bekerja secara profesional perlu mendapat sertifikasi. Tetapi kita tidak ingin berdebat soal sertifikasi yang ukuran dan penilaiannya telah ditetapkan oleh Tuhan.
Kajian ini tidak ingin mendalami soal sertifikasi da’i atau berbagai profesi lain, tetapi berkaitan dengan sertifikasi para pelaku praktik demokrasi.
Pelaku Demokrasi
Siapa pelaku demokrasi? Setiap orang yang menjadi stakeholders dan shareholders demokrasi, setiap yang terkait secara langsung dan tidak langsung dengan praktik demokrasi adalah pelaku demokrasi.
Secara spesifik pelaku demokrasi dalam praktik demokrasi (pemilihan umum) adalah Pertama, penyelenggara pemilihan umum, antara lain Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (BAWASLU), Tim Saksi, Tim Pemantau dan Tim Pengamanan Pemilu.
Kedua, Peserta Pemilihan Umum antara lain, Partai Politik, Para Kandidat Peserta Pemilihan Umum, Para Pemilih (vooters), Tim Relawan, Tim Sukses dan Tim Pemenangan.
Ketiga, beberapa institusi antara lain konsultan politik dan manajemen kampanye kandidat, para surveyor, konsultan media relation, buzzer, influencer dan lainnya yang fungsi, tugas dan wewenangnya dalam setiap pemilu musti segera diatur dalam suatu regulasi penyelenggaraan Pemilu.
Mengapa Pelaku Praktik Demokrasi atau para penyelenggara, peserta dan semua stakeholders dan sahareholders praktik demokrasi ini perlu disertifikasi?
Dalam perspektif aliran politik substansial, politik dan demokrasi sampai pada turunannya berupa pemilihan umum mustilah tetap menjaga nilai-nilai ideal, etika dan moral, agar demokrasi dalam praktiknya bukan sekedar demokrasi prosedural tetapi benar-benar menjadi demokrasi substansial dan esensial.
Pertannyaan selanjutnya adalah, Apa saja yang akan disertifikasi? Siapa yang akan mensertifikasi?
Bila bersifat kelembagaan dan institusi, sertifikasi dapat dilakukan berdasarkan performance atau kinerja lembaga tersebut. Berbagai Key Performance Indicator (KPI) dapat diterapkan untuk mengukur kinerja institusi atau lembaga penyelenggara pemilihan umum.
Dapat juga menggunakan model pengukuran kinerja menurut Cristopher Pollit dan Geer Bouckaert (2000:277) yang sangat populer yaitu model input/output (the input/output model).
Dalam model input/output ini, parameter penilaian kinerja berdasarkan. Pertama, Relevansi, yaitu mengukur keterkaitan atau relevansi antara kebutuhan dengan tujuan yang dirumuskan. Kedua, efisiensi, yaitu perbandingan antara input dengan output. Ketiga, Efektifitas, yaitu tingkat kesesuaian antara tujuan dengan intermediate outcomes (result) dan final outcomes (inpacts). Keempat, utility dan sustainability, yaitu mengukur kebergunaan dan keberlanjutan antara kebutuhan dengan final outcome (inpact).
Berbagai indikator dapat dipergunakan untuk mengukur performance para penyelenggara, peserta dan stakeholders praktik demokrasi. Lantas siapa yang akan mensertifikasi?
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP) tampaknya dapat dijadikan sebagai institusi yang dapat mengukur performance dan memberikan sertifikasi institusi penyelenggara pemilu. Partai Politik sebagai peserta pemilu sekaligus dapat dijadikan sebagai institusi yang melakukan sertifikasi terhadap para kandidat yang menjadi peserta pemilu.
Bagaimana dengan institusi lainnya yang terlibat dalam penyelenggaraan pemilu seperti konsultan politik dan manajemen kampanye kandidat, para surveyor, konsultan media relation, buzzer, influencer dan lainnya selama ini disertifikasi oleh KPU dan BAWASLU.
Agaknya perlu menjadi pertimbangan agar ada dan dibentuk institusi dan lembaga sertifikasi yang independen melibatkan institusi seperti LIPI, BPS, organisasi profesi di bidang pemilu dan kampanye serta Universitas di masa yang akan datang.
Perspektif Struktural
Bila mempertimbangkan aliran politik struktural dalam praktik demokrasi berupa pemilihan umum, seluruh sumberdaya, share lholders dan stakeholders demokrasi pastilah berfokus pada kemenangan dan perebutan kekuasaan.
Alih-alih mempertimbangkan sertifikasi para pelaku praktik demokrasi, justru praktik demokrasi berjalan berkelindan mengarah pada penguatan oligarki, politik markantilisme, patron klien, shadow state dan rent seeking.
Semuanya itu, dipraktikkan dalam wujud yang menyuburkan money politic, money buy politic dan berbagai mahar partai serta biaya tim sukses, pemenangan, relawan dan konsultan yang jumlahnya sungguh tak dapat kita bayangkan betapa besarnya biaya politik yang suatu saat dapat menjebak para pemimpin dan pejabat publik dalam jerat korupsi akibat praktik demokrasi berbiaya tinggi.
Kesimpulan
Praktik demokrasi dengan sistem yang memaksa para penyelenggara dan peserta pemilu dalam perebutan kekuasaan semata (political struktural) telah membawa kita pada situasi yang sulit dan lingkaran demokrasi yang menjerat dan menjebak semua pejabat publik dalam jerat kurupsi, terjadinya carut marut penyelenggaraan, pembangunan dan pelayanan pemerintahan yang masih jauh dari cita-cita mewujudkan kesejahteraan.
Dengan sistem semacam ini, pemilihan gubernur dan wakil gubernur, pemilihan bupati dan wakil bupati, pemilihan walikota dan wakil walikota yang banyak diikuti oleh kandidat inchumbent dapat dipastikan akan memenangi pemilihan umum.
Mengapa? Lantaran berdasarkan teori dan praktik pemilu dengan sistem dan aliran politik struktural seperti ini yang menjadikan pemilih (vooters) sebagai arena, maka hanya kandidat yang memiliki sumberdaya ekonomi, sosial dan politik yang berpeluang menang, yaitu inchumbent dan kandidat dalam lingkup oligarki dan dinasti politik kekuasaan.
Menariknya, dari pemilu ke pemilu preferensi pemilih (vooters) pada pemilihan kepala daerah selalu berubah-ubah berdasarkan isu, opini dan tren politik yang sedang berkembang.
Tugas berat kita bukan lagi sekedar soal sertifikasi pelaku praktik demokrasi, tetapi pada soal bagaimana mewujudkan demokrasi substansial dan esensial dengan menjadikan instrumen sosial, politik, ekonomi dan uang dalam praktik demokrasi tidak lagi untuk sekedar menjejal mulut dan perut, tetapi berfungsi pada hati dan pikiran, pada spirit vooters education atau pendidikan politik bagi para pemilih. [WT, 9/9/2020]
Oleh: Wahyu Triono KS
Dosen Administrasi Publik FISIP Universitas Nasional dan Founder LEADER Indonesia