Re-Reformasi Polri Bermula dari Putusan MK

Breaking News
- Advertisement -

 

 

Oleh: Muhammad Joni
Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI)

Mudanews.com OPINI | Tok, tok, tok. Putusan ikhwal jabatan kepolisian itu dijatuhkan. Di antara barikade hukum dan riuhnya politik jabatan, Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja menorehkan garis tegas di atas lembar sejarah reformasi Indonesia.

Putusannya sederhana tetapi duhmak menggetarkan: anggota Polri dilarang menduduki jabatan sipil.

Bunyinya mungkin tampak normatif, tapi gema moralnya menembus dinding tebal lembaga, kementerian, dan bahkan hati bangsa ini.

Sejak reformasi 1998, kita tahu arah itu sudah digariskan. Polri dipisahkan dari TNI, bukan semata-mata pemisahan kelembagaan, tapi pemurnian fungsi — agar senjata tak lagi menembak politik, agar kekuasaan tak bercampur dengan wewenang sipil.

Namun dua dekade lebih berlalu, semangat itu sering kabur oleh praktik. Jabatan-jabatan sipil ditempati anggota Polri aktif, dengan alasan penugasan atau “penyegaran.”

Lama-lama, publik lupa bahwa konstitusi tidak mengenal istilah penyegaran kekuasaan.

Putusan MK ini seperti sirene supremasi konstitusi yang membangunkan sesiapa saja dari kantuk reformasi. MK mengingatkan: negara hukum bukan panggung rotasi seragam, melainkan arena pengabdian dengan batas konstitusional.

Kepastian Hukum dan Bayang Dwi Fungsi Baru

Hukum tidak boleh abu-abu. Kepastian hukum adalah pondasi keadilan yang dijamin konstitusi— dan dalam kasus ini, MK menegakkan garis terang.

Ketika anggota Polri menempati jabatan sipil, maka dia tidak lagi menjalankan fungsi kepolisian, melainkan merasuk ke wilayah sipil yang seharusnya steril dari subordinasi institusional bersenjata.

Putusan ini menutup celah lahirnya kembali “dwi fungsi gaya baru” — bukan dengan bedil, tapi dengan tanda tangan dan jabatan. Dwi fungsi yang tidak lagi hadir di markas komando, tapi di ruang-ruang rapat kementerian, BUMN, atau lembaga negara.

Dalam konteks itu, MK bukan sekadar menafsir pasal, tetapi menyelamatkan arah sejarah reformasi Polri.

Cermin Ketatanegaraan

Secara ketatanegaraan, Polri adalah instrumen sipil berseragam. Yang bukan alat kekuasaan, tetapi pengemban keadilan, pelindung masyarakat, penjaga hukum dan keamanan. Di sinilah nilai transformasinya: Polri harus menjadi bagian dari integrated criminal justice system, bukan superior di atasnya.

Putusan MK memberi fondasi untuk transformasi utuh: agar Polri kembali ke akar konstitusionalnya — profesional, imparsial, dan melayani. Yang bukan “kekuatan di balik” pemerintahan, tapi “penjaga di depan” rakyat.

Cermin Negara Lain

Lihatlah Amerika Serikat. Di sana, kepolisian adalah lembaga daerah atau federal yang otonom, tunduk pada hukum, bukan pada kekuasaan politik. Tak ada satu pun anggota FBI atau NYPD duduk di kursi sipil negara, kecuali setelah pensiun atau mengundurkan diri.

Di Belanda, tempat kita mewarisi sebagian sistem hukum, polisi juga bersifat administratif—bukan politis. Mereka tunduk pada hukum tata usaha negara, tetapi tidak pernah memegang jabatan sipil di kementerian.

Negara-negara ASEAN juga menempuh arah serupa. Di Filipina, Thailand, dan Malaysia, dualisme antara aparat berseragam dan jabatan sipil sudah diatur ketat.

Reformasi Polri kita kini berdiri sejajar dengan itu — sebuah langkah menuju kepastian dan kematangan kelembagaan.

Transformasi Konstitusional Belum Usai

Namun reformasi bukan sekadar keputusan hukum. Namun perjalanan moral dan budaya hukum kelembagaan. Putusan MK hanyalah peta. Jalan panjangnya masih menanti langkah institusional yang konsisten: penegakan etik, profesionalisme, dan budaya pelayanan.

Polri harus berani melepaskan bayang kekuasaan agar bisa memeluk kepercayaan publik. Karena di mata konstitusi, pelindung masyarakat bukanlah pemegang jabatan, melainkan penjaga rasa aman, penjaga martabat hukum.

Putusan MK ini mengingatkan kita pada satu hal yang sering terlupa. Bahwa reformasi bukan peristiwa masa lalu, tetapi proses yang terus dihidup-hidupkan dan misi yang pantas diperjuangkan.

Di ruang sunyi konstitusi itu, kita mendengar gema yang sama seperti tahun 1998: “Negara harus aman. Tapi keamanan sejati hanya lahir dari hukum, bukan dari kekuasaan.”

Dan di titik krusial itulah, re-reformasi Polri benar-benar bermula kembali. Dengan supremasi konstitusi: jaminan kepastian hukum yang adil.
Tabik.
Muhammad Joni

Berita Terkini