Prabowo dan Jalan Pulang Menuju Ekonomi Kerakyatan

Breaking News
- Advertisement -

 

_Oleh: Agusto Sulistio – Pegiat Sosme, Pendiri The Activist Cyber._

Mudanews.com OPINI – Pidato kebangsaan Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini (17 Agustus 1945) telah menggugah kesadaran banyak pihak bahwa bangsa ini perlu kembali kepada jati dirinya: sistem ekonomi kerakyatan sebagaimana amanat Pasal 33 UUD 1945. Prabowo dengan tegas menyampaikan tekad untuk mengembalikan arah pembangunan nasional kepada nilai-nilai ekonomi berkeadilan, berpihak pada rakyat, dan berlandaskan semangat gotong royong.

Meski cita-cita tersebut belum sepenuhnya terwujud, namun niat dan arah pikir Presiden Prabowo telah membuka ruang refleksi nasional, bahwa selama ini Indonesia cenderung menjauh dari konsep perekonomian yang berketuhanan, ekonomi yang menempatkan manusia bukan semata sebagai pelaku pasar, melainkan sebagai hamba Tuhan yang wajib menegakkan keadilan dan kemaslahatan sosial.

Dalam konteks ini, Prof. Eggi Sudjana mengingatkan pentingnya dimensi spiritual dalam arah pembangunan nasional. Menurutnya, tagline “Indonesia Emas” yang dicanangkan pada era Presiden Joko Widodo tidak akan bermakna bila tidak disertai dengan nilai-nilai ketakwaan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Eggi Sudjana menegaskan, bangsa ini akan terjerumus ke dalam ekonomi yang sesat apabila hanya mengejar kemakmuran material tanpa kesadaran moral. Oleh karena itu, ia mengusulkan istilah yang lebih substansial:

“Indonesia Emas yang Bertakwa”, sebuah cita-cita yang tidak hanya mengukur keberhasilan dari pertumbuhan ekonomi, tetapi dari sejauh mana bangsa ini menegakkan keadilan sosial dan moralitas publik.

Jauh sebelumnya, Dr. Hariman Siregar, tokoh gerakan mahasiswa Malari 15 Januari 1974. Hariman dan kawan-kawan ketika itu telah menolak keras dominasi investasi asing serta pembangunan yang hanya mengejar angka statistik pertumbuhan tanpa memperhatikan pemerataan ekonomi rakyat. Ia menilai, jika pembangunan hanya dikuasai oleh kepentingan modal asing dan konglomerat, maka yang akan lahir adalah kesengsaraan rakyat, korupsi yang merajalela, serta tatanan ekonomi kapitalis-liberal yang menindas.

Apa yang diingatkan Bang Hariman Siregar lebih dari setengah abad lalu kini terbukti menjadi kenyataan. Dominasi asing dan liberalisasi ekonomi yang semakin dalam terutama pada masa pemerintahan sebelumnya, era mantan presiden Joko Widodo, di mana kebijakan investasi dan utang luar negeri menjadi penopang pembangunan, justru telah menciptakan ketimpangan, melemahkan kedaulatan ekonomi, dan memperbesar beban rakyat kecil dan negara.

Oleh sebab itu, tekad Presiden Prabowo untuk mengembalikan sistem ekonomi kerakyatan menjadi langkah moral dan strategis yang harus didukung bersama. Ia bukan sekedar program politik, tetapi panggilan sejarah bangsa untuk keluar dari jerat kapitalisme liberal menuju tatanan ekonomi yang berpijak pada ketakwaan, keadilan, dan kemandirian nasional.

Kini, tanggung jawab kita bersama adalah memastikan bahwa pidato kebangsaan Presiden Prabowo tidak berhenti sebagai retorika, melainkan menjadi gerakan nyata: memperkuat produksi dalam negeri, memberdayakan koperasi dan UMKM, mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri, serta menegakkan sistem ekonomi yang berpihak kepada rakyat banyak, bukan pada segelintir pemilik modal.

Dengan demikian, cita-cita “Indonesia Emas yang Bertakwa” seperti diusulkan Eggi Sudjana, dan peringatan dan moral Malari dari Dr. Hariman Siregar tentang bahaya dominasi asing, menemukan relevansinya dalam tekad Presiden Prabowo hari ini, sebuah tekad untuk menegakkan ekonomi berdaulat, berkeadilan, dan berketuhanan.

_Kalibata, Jakarta Selatan, Kamis 30 Oktober 2025, 15:54.Wib._

Berita Terkini