Naikan Pajak atau Tambah Utang.?

Breaking News
- Advertisement -

 

 

Oleh Erizeli Bandaro pada 25 September 2025

Mudanews.com OPINI – Sore itu hujan baru saja reda di Jakarta. Jalanan masih basah, genangan di trotoar memantulkan cahaya lampu kota. Saya duduk di pojok kafe, rokok menyala di tangan, secangkir kopi mulai mendingin. Claudia datang dengan menebar senyum.

“Pak, pemerintah bilang RAPBN 2026 lebih disiplin. Katanya ini awal dari revenue-based growth strategy. Apa benar begitu?” tanyanya.

Saya menatap keluar jendela. “Sebagian, Claudia. Ada langkah maju, tapi banyak kontradiksi.”

Ia mencondongkan tubuh. “Tapi tax ratio 2026 naik, kan? Targetnya 10,47 persen PDB. Bahkan ada surplus primer hampir Rp 90 triliun.”

Saya mengangguk. “Ya, itu sinyal baik. Surplus primer adalah tanda kita mulai berani keluar dari jebakan utang. Tapi defisit justru naik, dari 2,48 ke 2,68 persen PDB. Itu artinya kita masih hidup dengan tongkat utang.”

Claudia menulis cepat. “Jadi meski ada tambahan penerimaan, belanja tetap membengkak?”

Saya tersenyum getir. “Benar. Belanja 2026 tembus Rp 3.842 triliun. Ada program populis, ada lonjakan pertahanan. Pertanyaannya: apakah belanja itu produktif? Kalau belanja tumbuh lebih cepat daripada pendapatan, revenue-based growth bisa runtuh.”

Ia terdiam. “Jadi kita masih setengah jalan.”

Saya mengangguk. “Akar masalahnya bukan hanya defisit, Claudia. Tapi basis pajak yang sempit. Lebih dari separuh pekerja Indonesia ada di sektor informal. BPS mencatat 56 persen, bahkan sempat 60 persen pascapandemi.”

Matanya membesar. “Informal? Pedagang kaki lima, ojek online, penjahit rumahan?”

Saya mengisap rokok. “Ya. Mereka bekerja, uang berputar, tapi tak tercatat. Tidak ada slip gaji, tidak ada faktur elektronik. Uang mengalir, tapi tak pernah singgah di kas negara.”

Claudia menunduk, suaranya pelan. “Jadi kita hidup dalam dua dunia.”

Saya tersenyum tipis. “Itulah ekonomi dualistik. Dunia formal yang terhubung ke bank, bursa, dan pajak. Dunia informal yang terikat pada tunai, keluarga, dan hutang kecil. Dua dunia itu sejajar, tapi yang satu nyaris tak memberi cahaya pada fiskal negara.”

Hening sejenak. Hanya suara hujan yang tersisa dari atap kafe.

Claudia bergumam, “Kalau begitu, reformasi pajak tanpa formalisasi tenaga kerja hanya ilusi.”

Saya mengangguk. “Persis. Karena itu Bank Dunia dan BPS menekankan digitalisasi UMKM, integrasi NIK-NPWP, dan insentif jaminan sosial mikro. Tanpa itu, tax ratio akan stagnan, dan negara akan kembali ke utang.”

Saya lalu menambahkan, suaraku agak berat.  “Tapi ada masalah yang lebih dalam, Claudia. Dengan terlalu besar segelintir orang menguasai sumber daya alam dan lahan, ketimpangan kita tercermin jelas dalam angka Gini rasio yang tak kunjung membaik. Maka, memperluas basis pajak ke sektor informal tidak sesederhana menekan pedagang kecil. Itu justru bisa memperdalam ketidakadilan. Jalan yang lebih adil adalah menambah pajak kekayaan, misalnya bagi mereka yang punya aset di atas Rp 10 miliar. Di situlah letak moral fiskal: yang besar menanggung lebih, bukan yang kecil diperas lebih dalam.”

Claudia menatap saya lama, matanya berkaca-kaca. “Jadi PR kita bukan sekadar menutup defisit, tapi membongkar akar ketimpangan.”

Saya menyeruput kopi, pahitnya menempel di lidah. “Amartya Sen pernah bilang, ‘Pembangunan adalah perluasan kebebasan.’ Kalau separuh rakyat masih terjebak informalitas dan segelintir menguasai lahan serta sumber daya, kita hanya membangun kebebasan untuk yang sudah kaya. Sementara jutaan orang kecil tetap berjalan di tempat.”

Claudia menghela napas panjang, lalu berkata pelan, “Mungkin percakapan sederhana di kafe ini lebih jujur daripada rapat panjang di Senayan.”

Saya tertawa kecil. “Dan lebih hangat daripada angka statistik yang dingin.”

Di luar, langit membuka tirai abu-abunya. Hujan berhenti, menyisakan genangan yang berkilau oleh lampu kota. Saya menatap Claudia dan berkata pelan, “Selama kita masih berjalan dengan satu kaki—mengandalkan yang formal saja—kita takkan pernah berlari. Kita butuh keberanian: memperluas basis pajak, tapi juga menyeimbangkannya dengan keadilan. Pajak bukan sekadar instrumen fiskal, tapi cermin etika sebuah bangsa.” ***

Dilematis.

Di era Jokowi, Indonesia berbangga dengan proyek-proyek besar.  Jalan tol membentang, pelabuhan baru, bandara megah, KEK dan IKN yang terus dipromosikan. Di atas kertas, semua ini disebut sebagai “legacy” pembangunan. Namun di balik kemegahan fisik itu, tersembunyi satu persoalan mendasar: pembangunan kita terlalu bertumpu pada utang, dengan tingkat efisiensi investasi yang buruk.

Indikator Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia berada di kisaran 6–7 dalam beberapa tahun terakhir. Salah satu yang tertinggi di kawasan Asia. Padahal, negara dengan pertumbuhan serupa seperti Vietnam atau India hanya mencatat ICOR sekitar 4–5. Artinya sederhana, setiap tambahan pertumbuhan 1% PDB, Indonesia harus “membakar” investasi dua kali lebih banyak dibanding tetangga. Ini menandakan bahwa modal yang masuk tidak produktif, terjebak pada proyek infrastruktur yang padat biaya, sarat rente, dan minim multiplier effect ke sektor riil. Infrastruktur berdiri, tetapi produktivitas tidak melonjak.

Yang konyolnya, sebagian besar dibiayai dari utang, bukan dari surplus pajak. Utang pemerintah melonjak dari sekitar Rp 2.600 triliun pada 2014 menjadi lebih dari Rp 8.400 triliun pada 2024.  Dengan ICOR yang tinggi, setiap tambahan utang justru menghasilkan value pertumbuhan yang menurun secara marginal. Artinya walau pertumbuhan ekonomi di kisaran 5%, namun beban fiskal membengkak. Inilah paradoks pembangunan berbasis utang. Semakin banyak utang, semakin rapuh fondasi fiskal.

Sementara Tax ratio Indonesia masih mandek di sekitar 10–11% PDB, jauh dari standar negara peers yang mencapai 15–20%. Mengapa? Investari yang dibiayai utang sebagian besar tidak produktif, Bahkan justru membebani fiskal dengan penyelematan BUMN lewat PMN. Investasi lewat utang negara tidak berdampak pada pengaruh berganda ( multiplier effect). 56–60% tenaga kerja dan dunia usaha berada di sektor informal. Akibatnya, kemampuan fiskal untuk menopang pembangunan sangat terbatas.

Dalam situasi seperti ini, pilihan pemerintah semakin menyempit: menambah utang, atau memangkas belanja yang justru dibutuhkan rakyat. Tanpa reformasi fiskal yang serius, setiap siklus politik akan mengulang pola yang sama. Yaitu  proyek ambisius didanai utang, sementara rakyat menanggung beban melalui pajak tidak langsung dan inflasi.

Tekad yang bias..

Dalam outlook RAPBN 2026, pemerintah memproyeksikan beban pembayaran bunga dan pokok utang mencapai Rp 1.433,40triliun, sementara target penerimaan pajak dipatok Rp 2.357,70triliun. Artinya, sekitar 60,8% dari setiap Rp100 penerimaan pajak akan habis untuk membayar bunga dan utang; tersisa kurang lebih 39% untuk seluruh belanja publik lainnya, seperti gaji, layanan dasar, infrastruktur. Itu bukan ruang fiskal yang lapang; itu palung yang sempit.

Beban Rp1.433,4 triliun bukan sekadar statistik anggaran; itu adalah pilihan politik yang tampak jelas dalam postur RAPBN 2026: utang terus dipakai sebagai mesin pembiayaan pembangunan dan stabilitas elite politik. Rinciannya: pokok jatuh tempo Rp833,96triliun dan bunga Rp599,44 triliun. Dua komponen yang memangkas oksigen anggaran, merampas kedaulatan anggaran untuk rakyat. Jika tiap tahun pola ini berulang, kemampuan negara untuk mensubsidi masa depan yang adil akan terus menyempit.

Utang memang punya kelebihan praktis bagi kekuasaan, yaitu dapat dinegosiasikan dalam ruang-ruang tertutup (lobby bank, underwriter, lembaga multilateral), jarang memicu demonstrasi massa, dan tidak menantang langsung pemilik modal besar. Sementara itu, menaikkan pendapatan lewat pajak kekayaan, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) atas SDA, atau pajak lahan besar akan langsung menyasar pemilik lahan, rekening jumbo, dan struktur patronase. Mereka yang memegang daya politik dan ekonomi. Jadi bukan semata soal teknis fiscal.  Ini soal distribusi kekuasaan. Pilihan untuk terus menambah utang mencerminkan kenyamanan struktur politik pada status quo.

Beberapa data mendasar menggambarkan dua kondisi.  Pertama. Distribusi lahan pertanian dan kepemilikan tanah di Indonesia menunjukkan ketimpangan tinggi — beberapa studi dan data administratif merujuk pada Gini kepemilikan lahan ~0,58 (2022), angka yang mengindikasikan distribusi yang sangat timpang. Ketimpangan semacam ini memicu konflik agraria dan ketidakadilan akses atas sumber hidup

Kedua. Di ranah kekayaan finansial, data-database ketimpangan global (WID.world / seri terukur lain) menunjukkan bahwa bagian kekayaan yang dikuasai golongan atas sangat besar: top 10% menguasai proporsi besar dari total kekayaan nasional (seri terdata menunjukkan rentang di kisaran puluhan persen besar; contoh seri 2023 menunjukkan top-10% memiliki hampir 60% di beberapa ukuran). Ini menegaskan bahwa akumulasi aset (saham, properti, rekening besar) terkonsentrasi pada elite..

Artinya? ketimpangan lahan dan konsentrasi kekayaan finansial membuat strategi “mengambil dari mayoritas kecil” (mencari pajak dari UKM, pasar informal, atau konsumsi massa) tidak hanya tidak adil, tetapi juga tak mampu menggali potensi fiskal yang sebenarnya tersedia.

Solusi.

Jika tujuan negara adalah membiayai layanan publik, mengurangi utang, dan merajut kembali legitimasi sosial, maka beberapa langkah praktis (dan bermoral) layak dipertimbangkan,

Pertama. Menerapkan  Pajak kekayaan progresif bagi kepemilikan aset besar (mis.: threshold awal Rp10 miliar), pajak lahan tidur, serta pajak atas capital gain yang lebih progresif pada portofolio saham/properti. Pajak-pajak ini memukul akumulasi pasif, bukan penghidupan rakyat kecil.

Kedua. Perkuat PNBP SDA yang transparan dan progresif. Royalti, bagi hasil tambang, dan sewa konsesi harus direstrukturisasi untuk mencerminkan nilai ekonomi riil sumber daya, bukan kontrak yang memberi celah bagi arbitrase dan elitisasi keuntungan.Dan yang tak kalah penting adalah meningkatkan tax compliance lewat systemdigitalisasi. Kejar penerimaan tanpa menaikkan tarif asal.

Ketiga. Modernisasi administrasi pajak ( CoreTax, data fiskal terpadu) dapat mengurangi penghindaran dan memperluas basis secara signifikan. Pada waktu bersamaan beri perlindungan sosial yang transformatif. Bukan sekadar transfer darurat, tetapi investasi pada pendidikan, sertifikasi lahan kecil, dan akses kredit mikro yang memampukan rakyat kecil naik kelas ekonomi.

Reformasi semacam ini akan menghadapi perlawanan dari oligarki yang punya akses politik. Namun penundaan hanya menumpuk biaya: utang melebar, bunga naik, dan suatu hari anggaran akan tercekik, sehingga pilihan politik menjadi keras, bukan elegan. Jalan tengah realistis, yaitu  kombinasiantara (a) penguatan administrasi pajak dan tindakan terhadap penghindaran, (b) reformasi PNBP/SDA yang transparan, dan (c) instrumen transisi untuk pemilik modal (mis. skema penyesuaian pajak bertahap, insentif bagi legalisasi lahan kecil) agar resistensi mereda sambil tetap mengumpulkan revenue.

Penutup.

Kita bisa membiarkan negeri ini terus menanggung beban anggaran yang didominasi utang, yang pada akhirnya menggerogoti ruang untuk kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur. Atau memilih untuk mengubah paradigma, dari growth-by-debt menjadi growth-by-revenue yang adil. Ini bukan soal ideologi semata; ini soal memilih mekanika politik yang berani menantang konsentrasi kekayaan pada segelintir orang. Reformasi belanja dengan mengalihkan anggaran dari subsidi populis ke pendidikan, kesehatan, dan R&D. Efisiensi investasi, yaitu menurunkan ICOR ke level 4–5 agar setiap rupiah utang menghasilkan pertumbuhan lebih besar.

Kritik pada tulisan ini  hanya mengingatkan penguasa agar mengabdi pada publik, bukan pada patronase. Jika kita ingin republik yang sehat, maka keberanian untuk mendesain ulang basis penerimaan adalah keniscayaan. Pajak kekayaan, PNBP SDA yang adil, dan reformasi administrasi fiskal bukan lah serangan kepada elite oligarki.  Itu adalah langkah penyelamatan republic dari chaos seperti kasus Nepal.

Rerensi.

World Inequality Database (2022). Wealth Inequality in Indonesia. The Jakarta Post (2022). Indonesia’s Land Gini Coefficient Remains High at 0.58. CNBC Indonesia (2023). Data Konsentrasi Simpanan Bank di Indonesia. FAO & BPS (2021). Agricultural Census and Land Distribution Report. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) (2023). Statistik Perbankan Indonesia. WID.World (2022). Global Wealth Inequality Database.

 

Berita Terkini