Oleh Willem Bobi*
Mudanews.com OPINI – Sejak 1967, ketika kontrak pertama diteken antara Freeport dan Jakarta, gunung di Papua mulai dibuka. Tahun 1973 tambang Ertsberg diresmikan dan sejak 1988 Grasberg ditemukan lebih dari 1,5 miliar ton batuan telah diangkat dari perutnya.
Setiap tahun, emas dan tembaga dari tanah Papua bernilai USD 6-8 miliar —sekitar Rp 90–120 triliun— melayang jauh ke New York, Tokyo, Seoul hingga Frankfurt. Kini, setelah 58 tahun, cahaya kota-kota dunia masih menyala dari hasil bumi Papua.
Laporan Indonesia Miner dalam westpapuavoice.ac menunjukkan, pada tahun 2023, Freeport meraup laba bersih USD 3,16 miliar, atau sekitar Rp 48,79 triliun. Di luar Papua, globalisasi berarti koneksi. Orang duduk di kursi empuk kafe dengan Wi-Fi kecepatan 100 Mbps, wajah bercahaya oleh layar gawai. Bandara terbuka lebar, membawa manusia melintasi benua hanya dalam hitungan jam.
Namun di Papua globalisasi berarti penggusuran. Rumah adat di tepi sungai diratakan, hutan tempat berburu ditebang, kampung-kampung dipaksa berpindah. Di tanah yang dulu memberi makan, kini tersisa retakan tanah dan sisa lumpur tambang (tailing).
Cahaya Emas dan Kelam
Pada 1990-an, tembaga Grasberg menghasilkan lebih dari USD 1,5 miliar per tahun. Dari sana, listrik menyala terang di Tokyo, industri baja berputar di Benua Eropa, dan kabel komunikasi menjalar di Benua Amerika Serikat.
Di luar sana, globalisasi berarti teknologi canggih. Kota-kota berkilau dengan lampu LED, kereta listrik meluncur tanpa suara. Namun di Papua, kampung masih gelap. Dari 40 ribu desa di Indonesia, lebih dari 2.000 desa di tanah Papua masih gelap gulita.
Malam datang seperti tirai hitam yang menelan segalanya. Anak-anak belajar dengan pelita seadanya, mata mereka perih menatap kertas buram. Kemiskinan dan ketertinggalan masih menjadi teman setia di samping masyarakat tanah Papua.
Pada 2000-an, harga emas melonjak. Devisa Freeport menembus lebih dari USD 3 miliar per tahun. Dari emas Papua tercetak cincin kawin di Paris, gelang di Dubai, simpanan bank di Wall Street.
Sejak 1992 hingga sekitar 2021, Freeport tercatat telah menyumbang sekitar Rp400 triliun kepada penerimaan negara lewat pajak, royalti, dividen, dan lain-lain (ptfi.co.id).
Di luar Papua, globalisasi berarti usia panjang. Di Jepang, harapan hidup 84 tahun, sedangkan di Eropa 82 tahun. Orang merayakan ulang tahun ke-80 dengan lilin di atas kue. Namun di Papua, umur sering terhenti cepat.
Harapan hidup orang Papua hanya 65 tahun, lebih pendek hampir dua dekade. Angka kematian ibu di Papua mencapai 305 per 100.000 kelahiran —tiga kali lipat rata-rata nasional. Tubuh mudah rebah, paru-paru dikepung malaria.
Di dalam noken ibu, isinya kosong: hanya angin dan sisa ubi kemarin. Lebih dari 27 persen orang Papua masih hidup di bawah garis kemiskinan, sementara emas terus mengalir keluar.
Keretakan Tanah vs Kehidupan
Pada 2010-2020, Grasberg mengeluarkan rata-rata 200 ribu ton tembaga dan 1,5 juta ons emas per tahun, bernilai USD 7-8 miliar. Sejak 2018, Indonesia lewat MIND ID memegang saham mayoritas, tapi keuntungan tetap lebih deras ke luar negeri.
Di luar Papua, globalisasi berarti perdagangan bebas. Pasar terbuka, kapal besar membawa barang dari seluruh dunia. Namun di Papua, globalisasi berarti retakan tanah di lereng curam. Longsor mengancam lebih dari 20 ribu jiwa di bawahnya. Retakan itu juga menjalar ke hati orang lokal yang kehilangan tanah adat.
Di luar sana, globalisasi berarti sekolah yang penuh tawa. Tingkat melek huruf mendekati 100 persen di banyak negara. Namun di Papua, globalisasi berarti ruang kelas kosong. Tingkat buta huruf masih 27 persen di beberapa kabupaten pedalaman, anak-anak banyak yang tak tamat SD.
Afrika punya emas Ghana, Kongo punya mineral berdarah, Peru punya tembaga, dan Amazon punya hutan yang terbakar. Semua wajah global south. Bedanya, di banyak tempat, globalisasi masih memberi peluang: listrik, pendidikan, dan pelayanan dasar.
Di Papua, bahkan itu pun tidak ada. Seperti kata Lukas Enembe, mantan Gubernur Papua: “orang Papua tidak bahagia.” Karena globalisasi hanya sampai di kilau emas dan angka laporan keuangan –tidak pernah sampai ke dapur orang Papua.
Kini, setelah 58 tahun Freeport beroperasi di Papua, Grasberg bukan lagi sekadar gunung, melainkan simbol globalisasi yang timpang. Dari perutnya, emas dan tembaga terus pergi, menjadi cahaya dunia.
Freeport sendiri memperkirakan bahwa hingga tahun 2041 total kontribusinya untuk negara akan mencapai sekitar USD 80 miliar atau sekitar Rp 1.200 triliun, melalui pajak, royalti, dividen, dan pungutan lainnya (ptfi.co.id). Tetapi di Papua orang tetap lapar, tetap takut, dan tetap mati muda. Globalisasi yang dijanjikan dunia sebagai kebahagiaan bersama tidak pernah singgah di atas benua besar itu.
Grasberg adalah cermin retak: memantulkan pesta di satu tempat sekaligus air mata dan nestapa di tempat lain. Di Papua, di atas tanah yang “dibaptis” dengan nama potongan Surga yang jatuh ke bumi, rasa aman —syarat paling sederhana dari kebahagiaan hidup manusia— tetap hilang dalam kabut pengap tambang.**(Red)
*Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Fisika Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta