Oleh: Aznil Tan (Aktivis 98)
Mudanews.com OPINI – Generasi Z tumbuh di era digitalisasi masif, dominasi media sosial, serta krisis global yang datang silih berganti. Karakteristik lingkungan ini membentuk pola pikir kerja yang berbeda dari generasi sebelumnya, terutama dalam memandang stabilitas, fleksibilitas, dan makna karier.
Salah satu label yang paling sering dilekatkan pada mereka adalah kecenderungan job hopping—yakni berpindah pekerjaan dengan cepat demi memperoleh fleksibilitas, imbalan finansial yang lebih tinggi, maupun pengalaman baru. Akibatnya, Generasi Z kerap dipersepsikan sebagai kelompok pekerja yang sulit bertahan lama di satu tempat kerja.
Stereotip ini memperkuat citra bahwa mereka mudah bosan, cepat mengajukan resign, dan selalu terdorong untuk mencari tantangan baru.
Namun, belakangan muncul paradoks menarik. Di balik citra “mudah pindah kerja”, sebagian besar Gen Z justru terjebak dalam fenomena job hugging—bertahan lama pada posisi yang sama.
Fenomena ini sering kali bukan karena pilihan sadar, melainkan akibat keterbatasan struktural: akses kerja yang sempit, jenjang karier yang buntu, hingga kondisi pasar tenaga kerja yang semakin kompetitif.
Pada masa lalu, bertahan lama di satu posisi sering dipandang sebagai tanda loyalitas, stabilitas, dan profesionalisme. Akan tetapi, di era ketika Generasi Z mulai mendominasi angkatan kerja, makna job hugging mengalami pergeseran.
Fenomena ini menghadirkan pertanyaan penting: apakah bertahan lama di satu pekerjaan masih bisa dimaknai sebagai loyalitas murni, ataukah justru merupakan bentuk strategi bertahan dalam dunia kerja yang penuh ketidakpastian, terbatasnya mobilitas, dan semakin sempitnya peluang promosi?
Jebakan Struktural Gen Z
Fenomena job hugging—di mana pekerja bertahan lama di satu posisi meskipun tidak puas—semakin mencuat di kalangan Generasi Z. Namun, data statistik spesifik mengenai persentase Gen Z yang terjebak dalam job hugging di Indonesia masih terbatas. Meski demikian, beberapa indikator menunjukkan adanya tren tersebut
Di era Gen Z, job hugging tidak lagi bisa disamaratakan sebagai simbol loyalitas semata. Fenomena ini kerap merefleksikan kondisi struktural yang membatasi mobilitas dan pengembangan karier.
Masalah utama adalah bahwa job hugging pada Gen Z sering kali bukan pilihan sadar. Banyak dari mereka bertahan di pekerjaan kontrak, posisi administratif, atau pekerjaan serabutan dengan sedikit ruang untuk promosi dan pengembangan kompetensi.
Keputusan untuk bertahan lebih banyak dipengaruhi oleh kebutuhan stabilitas finansial dan kepastian ekonomi, meski hal itu berarti mengorbankan aspirasi profesional, pertumbuhan keterampilan, dan aktualisasi diri.
Fenomena ini jelas bertolak belakang dengan retorika umum yang menyebut Gen Z sebagai generasi “mudah resign” dan selalu mencari pengalaman baru. Faktanya, sebagian besar justru terperangkap pada pekerjaan yang tidak sesuai aspirasi karena tidak tersedia alternatif yang lebih baik.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) per Juli 2024, tingkat pengangguran terbuka di Indonesia untuk kelompok usia 15–24 tahun mencapai 42,62%. Selain itu, sekitar 20,27% dari Gen Z yang tidak sedang bersekolah, bekerja, atau mengikuti pelatihan, mencerminkan tantangan dalam memasuki pasar kerja.
Kondisi ini mendorong banyak Gen Z untuk tetap bertahan di pekerjaan yang ada, meski tidak ideal, karena takut menghadapi ketidakpastian ekonomi. Situasi ini dapat menciptakan ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan tenaga kerja, terutama di perusahaan rintisan yang membutuhkan karyawan adaptif dan tangguh.
Di sisi lain, tidak semua job hugging bersifat negatif. Ada Gen Z yang memilih bertahan dengan kesadaran penuh karena perusahaan memberikan manfaat signifikan: work-life balance, fleksibilitas kerja, serta makna sosial yang selaras dengan nilai pribadi.
Dalam konteks ini, job hugging bisa menjadi strategi karier yang sehat, asalkan diiringi dengan upaya pengembangan diri, upskilling, dan reskilling yang memungkinkan pekerja tetap relevan dalam pasar kerja yang cepat berubah.
Namun, ketika job hugging terjadi dalam kondisi yang minim mobilitas, tanpa jalur promosi yang jelas, dan tanpa kesempatan pengembangan keterampilan, fenomena ini berubah menjadi jebakan struktural. Pekerja kehilangan relevansi profesional, organisasi kehilangan inovasi, dan regenerasi tenaga kerja menjadi terhambat.
Kondisi ini tidak hanya merugikan individu, tetapi juga berdampak sistemik pada produktivitas organisasi. Lebih parah lagi, apabila perusahaan atau institusi tidak menyediakan mekanisme mobilitas dan promosi yang adil, job hugging dapat dianggap sebagai bentuk pengabaian hak-hak pekerja—hak untuk berkembang, berpindah posisi, dan mengaktualisasikan potensi profesional.
Dengan demikian, job hugging pada Generasi Z seharusnya dilihat sebagai indikator adanya keterjebakan struktural: sebuah jebakan yang membatasi mobilitas karier, memperlambat pengembangan kompetensi, dan menimbulkan kerentanan generasi muda dalam menghadapi dinamika pasar kerja modern.
Fenomena ini menuntut perhatian serius dari organisasi dan pembuat kebijakan, karena tanpa intervensi yang tepat, Gen Z tidak hanya kehilangan peluang individu, tetapi juga potensi kolektif yang dapat mendorong inovasi dan pertumbuhan produktivitas nasional.
Pendekatan yang tepat melibatkan dua sisi: pekerja perlu dibekali keterampilan adaptif dan kemampuan merencanakan karier secara strategis, sementara organisasi harus menyediakan jalur promosi transparan, program upskilling, serta fleksibilitas dan mobilitas internal yang memadai.
Hanya dengan keseimbangan antara kapasitas individu dan dukungan struktural, job hugging tidak lagi menjadi jebakan, melainkan bisa bertransformasi menjadi strategi karier yang aman dan produktif bagi Generasi Z.
Solusi Mengatasi Jebakan Struktural
Fenomena job hugging pada Generasi Z menuntut pendekatan yang terintegrasi, baik dari sisi individu maupun organisasi. Generasi muda perlu dibekali kemampuan adaptif, keterampilan baru melalui upskilling dan reskilling, serta kemampuan merencanakan karier secara strategis agar tetap relevan di pasar kerja yang dinamis.
Peningkatan kapasitas diri ini juga mencakup pengembangan jejaring profesional dan pemahaman terhadap peluang mobilitas internal maupun eksternal.
Di sisi organisasi, penyediaan jalur karier yang transparan dan berbasis kinerja menjadi kunci untuk mencegah stagnasi. Promosi yang jelas, kesempatan rotasi, serta evaluasi berkala terhadap pengembangan kompetensi dan kepuasan kerja membantu mendeteksi potensi jebakan job hugging sejak dini.
Fleksibilitas kerja dan program kesejahteraan yang selaras dengan nilai-nilai generasi muda, seperti work-life balance dan opsi remote atau hybrid, turut menjaga motivasi dan keterikatan tanpa menekan kreativitas dan aspirasi individu.
Peran pemerintah dan lembaga sumber daya manusia juga penting, terutama melalui program pelatihan, sertifikasi, dan insentif yang meningkatkan employability Gen Z. Dengan dukungan struktural yang memadai, keterbatasan pasar kerja dan hambatan mobilitas dapat diminimalkan sehingga job hugging tidak lagi menjadi jebakan, melainkan strategi bertahan yang produktif dan aman.
Fenomena ini, jika dikelola dengan baik, memungkinkan Generasi Z mengaktualisasikan potensi profesionalnya sekaligus memberikan kontribusi optimal bagi organisasi dan perekonomian secara luas.