Oleh: Agusto Sulistio – Pegiat Sosmed, Aktif di Indonesia Democracy Monitor (InDemo).
Mudanews.com OPINI – Gelombang amarah rakyat di depan DPR RI pada 25 dan 28 Agustus 2025 menjadi puncak dari akumulasi kekecewaan panjang. Jalanan berubah menjadi arena benturan. Gas air mata bercampur dengan kobaran api. Fasilitas umum dirusak, kantor kepolisian dibakar, bahkan penjarahan muncul meluas ke sejumlah wilayah hingga saat ini. Situasi semakin panas ketika aparat bertindak represif. Affan, seorang pengemudi ojek online, tewas dilindas kendaraan taktis Polri. Namanya seketika diyakini sebagai simbol rakyat kecil yang berjuang mencari nafkah yang seharusnya dilindungi justru menjadi korban kekerasan aparat negara.
Dalam pidatonya yang disiarkan televisi (Minggu, 31 Agustus 2025), Presiden Prabowo didampingi para ketua partai koalisi menyerukan tindakan tegas terhadap demonstran yang anarkis. Ia menekankan bahwa kerusuhan tidak bisa ditoleransi karena mengancam keutuhan negara. Pernyataan itu benar secara hukum. Negara tidak boleh dibiarkan runtuh oleh kekacauan jalanan. Namun pertanyaan mendasarnya, apakah tindakan represi semata dapat meredakan emosi rakyat? Atau justru menambah amuk rakyat, ibarat menyiram minyak ke dalam api yang sudah lama menyala?
Di balik amuk massa, terselip keresahan lebih dalam. Publik sudah muak dengan hukum yang tumpul ke atas, tajam ke bawah. Mereka lelah melihat praktik korupsi yang terang-terangan dilakukan pejabat, kongkalikong antara pengusaha tambang dengan pejabat negara, kartel ekonomi, mafia hukum dan pajak, serta eksploitasi sumber alam yang merusak lingkungan tanpa ada sanksi tegas. Lebih ironis lagi, beberapa menteri yang diyakini publik sebagai bagian dari kegagalan masa lalu pemerintahan Jokowi justru masuk ke dalam kabinet Prabowo dengan mulus, sementara banyak media meberitakan dugaan kasus masa lalunya. Alih-alih akan melakukan pembersihan faktanya Prabowo seakan memberi ruang kepada loyalis Jokowi untuk tetap berkuasa. Di mata rakyat, keadaan ini seolah menggambarkan seorang presiden yang tersandera oleh bayang-bayang pendahulunya.
Tidak berhenti di situ. Kehadiran Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi, sebagai wakil presiden menambah frustasi publik, padahal sudah banyak komentar miring para tokoh soal keberadaan Gibran dan adik-adiknya, Kaesang yang kini menjadi Ketum Partai PSI dengan mudah, kemudian Bobby menantu Jokowi yang kini menjabat Gubernur Sumatera Utara. Publik masih mengingat bagaimana Mahkamah Konstitusi, yang dipimpin paman Gibran, membuka jalan konstitusional baginya untuk maju sebagai cawapres. Peristiwa itu dipandang sebagai pelanggaran terang-terangan terhadap konstitusi. Kini, ketika Prabowo menghadapi krisis legitimasi akibat amuk massa, dugaan manuver politik Jokowi untuk menyiapkan Gibran menduduki kursi presiden semakin santer terdengar.
Dalam membaca fenomena ini, filsafat politik memberikan pandngan yang tajam. John Locke, filsuf abad ke-17 yang banyak memengaruhi lahirnya demokrasi modern, berpendapat bahwa rakyat memiliki hak bahkan kewajiban untuk melawan pemerintah ketika negara gagal memenuhi kontrak sosial. Bagi Locke, negara hanya sah selama ia melindungi hak hidup, kebebasan, dan kepemilikan rakyat. Jika negara justru menindas, kontrak sosial itu gugur, dan rakyat berhak mengganti pemerintahan dengan yang baru. Amuk massa yang meluas di Indonesia hari-hari ini, jika dilihat dari teori Locke, bukan sekadar kerusuhan, melainkan ekspresi alami rakyat yang merasa dikhianati oleh negaranya sendiri.
Sejarah Indonesia pun tidak bisa dipisahkan dari manuver politik serupa. Pergantian dari Soekarno ke Soeharto pada 1966 misalnya, bukan hanya soal transisi kepemimpinan, tetapi juga cerminan bagaimana seorang presiden bisa tergeser karena kehilangan legitimasi rakyat dan tersandera oleh tekanan militer serta elite politik. Soeharto muncul melalui Supersemar dengan janji menyelamatkan negara, namun pada akhirnya berkuasa penuh selama tiga dekade. Rakyat baru bisa menghentikannya pada 1998, setelah krisis ekonomi dan gelombang demonstrasi mahasiswa membuat Soeharto kehilangan pijakan.
Peralihan berikutnya, dari Soeharto ke Habibie, juga mencerminkan bagaimana seorang presiden baru harus berhadapan dengan bayang-bayang pendahulunya. Habibie, yang selama ini dikenal sebagai teknokrat setia Soeharto, tiba-tiba didorong ke kursi presiden di tengah gejolak reformasi. Meski berusaha membuka keran demokrasi dengan membebaskan tahanan politik dan memberi kebebasan pers, Habibie tetap dianggap tidak mampu sepenuhnya melepaskan diri dari warisan Orde Baru. Rakyat memandangnya saat itu masih sebagai bagian dari rezim lama, sehingga masa kekuasaannya singkat.
Pelajaran sejarah itu kini kembali menggema. Publik menilai Prabowo berada dalam posisi yang nyaris sama, presiden baru yang harus menghadapi tuntutan perubahan, tetapi di sekelilingnya masih bercokol loyalis presiden lama. Sama seperti Habibie yang dibayangi Soeharto, Prabowo kini dinilai dibayangi Jokowi. Dan sama seperti Habibie yang hanya bertahan singkat, masa depan Prabowo juga terancam singkat jika ia gagal membuktikan bahwa dirinya benar-benar presiden bagi rakyat, bukan perpanjangan tangan rezim sebelumnya.
Indonesia kini berada di persimpangan yang rawan. Publik tidak hanya menuntut sembako murah, lapangan kerja, atau perbaikan ekonomi. Mereka menuntut rule of law, kepastian hukum yang adil, penegakan korupsi tanpa pandang bulu, serta keberanian untuk memutus rantai warisan dinasti politik Jokowi, kongkalikong antara pengusaha dan pejabat. Jika Prabowo gagal menghadirkan itu semua, maka kerusuhan yang terjadi di depan DPR hanyalah awal pembukaan dari badai politik yang lebih besar.
Kerugian akibat amuk massa memang besar, tetapi jauh lebih besar hasil korupsi dan perampokan pajak, sumber alam yang dilakukan pejabat bersama koleganya, disamping kerugian moral dan politik jika rakyat sudah hilang kepercayaan pada negara. Jika pemerintah hanya sibuk menekan demonstran tanpa menyelesaikan akar masalah, maka yang mereda hanyalah permukaan, sementara masalah utamanya tetap ada. Sejarah mengajarkan bahwa ketika amuk massa akhirnya meledak, tidak ada cara represi aparat negara yang bisa membendungnya.
Kini pertanyaan utamana adalah, apakah Prabowo akan mengambil jalan berani seperti reformis sejati, ataukah ia akan terjerat dalam lingkaran bayangan Jokowi? Apakah ia mampu berdiri tegak sebagai presiden yang merdeka, atau justru membuka jalan bagi Gibran dan kroninya untuk melangkah dengan mulus ke kursi presiden? Hal ini juga menentukan, bukan hanya soal nasib pemerintahan Prabowo, tetapi juga arah demokrasi Indonesia di masa depan.***
Jakarta, Senin, 1 September 2025, 15:54 Wib.