Politik di Atas Hukum? Drama Amnesti Hasto, Abolisi Tom Lembong, dan Konsolidasi PDIP di Bali

Breaking News
- Advertisement -

 

Oleh : Anton Christanto
Pemerhati dan Pengamat Sosial Politik di Boyolali

Mudanews.com OPINI – Dalam dunia politik Indonesia yang tengah memanas pasca Pilpres 2024, muncul satu babak baru yang menggegerkan: Presiden terpilih Prabowo Subianto secara tiba-tiba menggunakan hak prerogatifnya untuk memberikan amnesti kepada Hasto Kristiyanto, Sekjen PDIP, dan abolisi kepada ekonom dan mantan pejabat publik Thomas Lembong.

Peristiwa ini berlangsung bersamaan dengan dikumpulkannya seluruh kader PDIP di Bali oleh Megawati Soekarnoputri, dengan dalih “Bimbingan Teknis”. Namun siapa pun yang memahami manuver politik, tahu bahwa ini bukan sekadar pelatihan—ini konsolidasi besar, mungkin bahkan pra-kongres, untuk menentukan arah langkah PDIP: apakah bergabung dalam pemerintahan Prabowo atau menjadi oposisi yang keras, sebagaimana tradisi historis PDIP pasca Kudatuli 1996.

Lalu, mengapa Mega—yang bisa memimpin oposisi besar—memilih mendekat ke Prabowo? Apakah amnesti untuk Hasto adalah bagian dari deal besar antara dua kekuatan politik ini?

Mari kita bedah lebih dalam, secara hukum dan politik.

1. Memahami Amnesti dan Abolisi

Amnesti dan abolisi adalah dua instrumen hukum yang bersumber dari hak prerogatif Presiden.

Amnesti berarti pengampunan terhadap suatu tindak pidana tertentu yang sudah diputuskan oleh pengadilan. Ia menghapus pidana sekaligus dampak hukumnya, termasuk stigma sosial dan catatan kriminal.

Abolisi adalah penghapusan tuntutan pidana, biasanya diberikan sebelum perkara diputus di pengadilan. Ini mengakhiri proses hukum yang sedang berjalan.

Keduanya diatur dalam Pasal 14 ayat (2) UUD 1945, dan penggunaannya harus atas pertimbangan DPR. Jadi, tidak bisa sembarangan. Tapi, jika prosedurnya diikuti, ini sah menurut hukum. Hak itu bisa digunakan oleh Presiden—meski alasan dan motivasinya bisa bersifat sangat politis.

Jadi, tindakan Prabowo bukanlah bentuk intervensi pengadilan, melainkan penggunaan hak konstitusional. Pertanyaannya: mengapa ia melakukannya sekarang?

2. Konstelasi Politik dan Bargaining Kekuasaan

Tensi politik Indonesia saat ini tegang dan berpotensi membelah. PDIP masih bimbang menentukan posisi. Masuk koalisi Prabowo bisa dianggap sebagai pengkhianatan terhadap pemilih mereka, tapi menjadi oposisi juga berisiko, karena akan berhadapan langsung dengan kekuasaan baru yang cenderung ingin dominan dan tidak senang dikritik.

Apalagi dalam tubuh PDIP sendiri, sudah ada suara-suara internal yang mulai digerogoti kekuatan eksternal: para pembisik istana, para teknokrat bayangan, bahkan sebagian mantan kader yang kini merapat ke kubu baru.

Mega belajar dari sejarah. Tahun 1996, ketika dia memilih konfrontasi terhadap Soeharto lewat kongres luar biasa PDIP di kantor DPP Jalan Diponegoro, tragedi Kudatuli meledak. Tapi itu jugalah awal kejatuhan Orde Baru. Kini, situasinya mirip, tapi bukan zaman yang sama.

Kalau PDIP langsung oposisi dan pecah dari dalam, maka akan ada kekuatan yang selama ini mereka lindungi tapi ternyata menikam. Itu sebabnya Megawati mungkin mengambil langkah strategis defensif: merangkul Prabowo—meski berat dan penuh risiko.

Dan dari situlah lahir “kesepakatan besar”: Hasto diberi amnesti, Tom Lembong dapat abolisi, PDIP menahan diri.

3. Mengapa Hasto Diampuni, Tom Dihapuskan?

Ini juga menarik. Hasto diberi amnesti—yang artinya diakui sempat bersalah tapi dimaafkan. Sementara Tom Lembong, malah diberi abolisi—yang artinya dianggap tak layak diadili sejak awal. Bisa jadi karena:

Hasto, sebagai sekjen partai, ikut terlibat aktif dalam manuver politik Pilpres dan dianggap menabrak kepentingan status quo.

Tom Lembong hanya “bersalah” karena terlalu keras mengkritik kebijakan ekonomi paslon pemenang Pilpres, terutama soal IKN dan utang luar negeri.

Jadi, dua-duanya adalah korban politik. Tapi status hukum mereka disesuaikan agar “tidak terlalu menyakitkan” bagi kedua belah pihak.

4. “Politik di Atas Hukum” atau “Stabilitas Nasional”?

Apakah ini bentuk politik mengalahkan hukum? Bisa jadi. Tapi dalam sistem presidensial seperti Indonesia, politik memang punya ruang lebih besar dalam menavigasi hukum.

Ketika negara sedang genting, Presiden bisa—dan seringkali harus—mengambil langkah politik stabilisator. Ini pernah dilakukan oleh Soekarno, Soeharto, bahkan oleh Gus Dur dan SBY, meski dalam bentuk dan konteks berbeda.

Prabowo, dengan semua beban ekonomi dan diplomasi yang menantinya, mungkin merasa perlu menciptakan “damai politik”. Dan caranya: mengampuni lawan politik, membujuk PDIP untuk tidak oposisi frontal, dan meminimalkan narasi “pemerintahan otoriter baru”.

5. Jadi Siapa yang Tidak Tenang?

Meski langkah ini meredam permukaan, tentu saja ada pihak yang sekarang mulai gelisah. Mereka yang membayangkan Prabowo akan memberangus lawan-lawan politik dengan senjata hukum, kini kecewa karena lawan justru dirangkul.

Dan “seseorang” yang tidak bisa disebut namanya—tapi selalu hadir di balik layar—mungkin adalah sosok yang selama ini menikmati kekuasaan tak terlihat: pengendali opini, penyebar hoaks, dan pemain hukum yang lihai.

Mereka resah. Karena jika PDIP dan Prabowo menyatu, maka dominasi wacana, pengaruh kebijakan, hingga jaringan hukum bisa berubah arah. Peta sedang digambar ulang.

6. Kesimpulan:

Dalam politik, ada adagium tua: “Jangan melawan badai, tapi pelajari arahnya dan manfaatkan anginnya.” Itulah yang dilakukan Megawati. Tidak frontal, tapi tidak tunduk. Sementara Prabowo, meski mendapat cap “pahlawan kesiangan”, justru sedang memoles wajahnya sebagai pemimpin yang bisa berdamai dengan semua pihak—bahkan dengan lawan yang kemarin begitu keras.

Apakah ini akan membawa stabilitas? Mungkin. Tapi jangan lupakan sejarah. Kudatuli pun lahir dari manuver kekuasaan yang dianggap menyingkirkan suara rakyat.

Dan kini, jika amnesti dan abolisi dijadikan alat politik, maka sejarah bisa berulang—dengan cara yang lebih halus, tapi tak kalah mengguncang.

> “Dekatlah pada kawanmu, tapi lebih dekatlah pada musuhmu.”
– Sun Tzu.

Berita Terkini