Oleh : Drs. Muhammad Bardansyah. Ch.Cht
𝐏𝐞𝐫𝐚𝐧 𝐊𝐫𝐮𝐬𝐢𝐚𝐥 𝐀𝐒𝐄𝐀𝐍 𝐝𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐌𝐞𝐧𝐣𝐚𝐠𝐚 𝐒𝐭𝐚𝐛𝐢𝐥𝐢𝐭𝐚𝐬 𝐝𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐝𝐚𝐮𝐥𝐚𝐭𝐚𝐧.
Mudanews.com-Opini | Asia Tenggara, dengan lokasinya yang menghubungkan Samudra Hindia dan Pasifik, telah lama menjadi panggung persaingan kekuatan global.
Amerika Serikat (AS), China, dan Rusia melihat kawasan ini sebagai kunci dominasi geopolitik abad ke-21.
Dalam dinamika ini, ASEAN sebagai wadah integrasi regional menghadapi tantangan kompleks untuk mempertahankan otonomi, stabilitas, dan relevansi strategis.
𝐊𝐞𝐤𝐮𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐆𝐥𝐨𝐛𝐚𝐥 𝐝𝐚𝐧 𝐒𝐭𝐫𝐚𝐭𝐞𝐠𝐢 𝐆𝐞𝐨𝐩𝐨𝐥𝐢𝐭𝐢𝐤
Amerika Serikat menganut teori “𝘙𝘪𝘮𝘭𝘢𝘯𝘥” 𝘕𝘪𝘤𝘩𝘰𝘭𝘢𝘴 𝘚𝘱𝘺𝘬𝘮𝘢𝘯 (1944), yang menekankan penguasaan wilayah pesisir Eurasia (termasuk Asia Tenggara) untuk mencegah dominasi kekuatan daratan.
Aliansi dengan Filipina dan Thailand, serta diplomasi “𝘗𝘪𝘷𝘰𝘵 𝘵𝘰 𝘈𝘴𝘪𝘢” dan penguatan QUAD, mencerminkan strategi mempertahankan hegemoni maritim.
China menerapkan doktrin “𝘚𝘵𝘳𝘪𝘯𝘨 𝘰𝘧 𝘗𝘦𝘢𝘳𝘭𝘴” dan 𝘉𝘦𝘭𝘵 𝘢𝘯𝘥 𝘙𝘰𝘢𝘥 𝘐𝘯𝘪𝘵𝘪𝘢𝘵𝘪𝘷𝘦 (𝘉𝘙𝘐), berakar pada prinsip 𝘚𝘶𝘯 𝘛𝘻𝘶 (𝘛𝘩𝘦 𝘈𝘳𝘵 𝘰𝘧 𝘞𝘢𝘳) tentang penguasaan wilayah sekitar sebagai “lingkaran pertahanan”.
Dominasi di Laut China Selatan dan investasi infrastruktur di Kamboja/Myanmar menjadi instrumen memperdalam ketergantungan ekonomi.
Rusia memainkan peran lewat penjualan senjata dan diplomasi energi, mengadopsi prinsip “𝘨𝘦𝘰𝘱𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘤𝘢𝘭 𝘮𝘶𝘭𝘵𝘪𝘱𝘰𝘭𝘢𝘳𝘪𝘵𝘺” 𝘈𝘭𝘦𝘬𝘴𝘢𝘯𝘥𝘳 𝘋𝘶𝘨𝘪𝘯” (2014) yang menentang hegemoni Barat. Vietnam dan Myanmar menjadi mitra kunci dalam strategi ini.
𝐀𝐒𝐄𝐀𝐍: 𝐒𝐭𝐫𝐚𝐭𝐞𝐠𝐢 𝐌𝐞𝐧𝐠𝐡𝐚𝐝𝐚𝐩𝐢 𝐏𝐞𝐫𝐬𝐚𝐢𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐆𝐞𝐨𝐩𝐨𝐥𝐢𝐭𝐢𝐤.
Sebagai entitas kolektif, ASEAN harus menjalankan lima pilar strategis berbasis teori geopolitik dan keamanan kontemporer:
𝐌𝐞𝐦𝐩𝐞𝐫𝐤𝐮𝐚𝐭 “𝐀𝐒𝐄𝐀𝐍 𝐂𝐞𝐧𝐭𝐫𝐚𝐥𝐢𝐭𝐲” 𝐝𝐚𝐧 𝐍𝐞𝐭𝐫𝐚𝐥𝐢𝐭𝐚𝐬 𝐀𝐤𝐭𝐢𝐟
ASEAN perlu menolak jadi proxy kekuatan asing dengan mengadopsi konsep “𝘐𝘯𝘴𝘵𝘪𝘵𝘶𝘵𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭 𝘉𝘢𝘭𝘢𝘯𝘤𝘪𝘯𝘨” (Kai He, 2012).
Contohnya memperkuat ASEAN 𝘖𝘶𝘵𝘭𝘰𝘰𝘬 𝘰𝘯 𝘵𝘩𝘦 𝘐𝘯𝘥𝘰-𝘗𝘢𝘤𝘪𝘧𝘪𝘤 (𝘈𝘖𝘐𝘗) yang menekankan inklusivitas dan netralitas. Amitav Acharya (2014) menegaskan bahwa “ASEAN harus menjadi ‘poros’ (hub) diplomasi regional, bukan sekadar ‘arena’ permainan kekuatan besar”.
𝐌𝐞𝐦𝐛𝐚𝐧𝐠𝐮𝐧 𝐊𝐞𝐭𝐚𝐡𝐚𝐧𝐚𝐧 𝐄𝐤𝐨𝐧𝐨𝐦𝐢 𝐦𝐞𝐥𝐚𝐥𝐮𝐢 𝐃𝐢𝐯𝐞𝐫𝐬𝐢𝐟𝐢𝐤𝐚𝐬𝐢.
Mengurangi ketergantungan pada satu kekuatan dengan memperkuat RCEP dan kerja sama dengan Uni Eropa/India.
Kishore Mahbubani (2018) menyarankan “pemanfaatan pasar bersama ASEAN sebagai daya tawar untuk menghindari jebakan utang BRI”.
𝐏𝐞𝐧𝐠𝐮𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐊𝐚𝐩𝐚𝐛𝐢𝐥𝐢𝐭𝐚𝐬 𝐊𝐞𝐚𝐦𝐚𝐧𝐚𝐧 𝐌𝐚𝐧𝐝𝐢𝐫𝐢
Meningkatkan kolaborasi militer via ADMM-Plus (𝘈𝘚𝘌𝘈𝘕 𝘋𝘦𝘧𝘦𝘯𝘤𝘦 𝘔𝘪𝘯𝘪𝘴𝘵𝘦𝘳𝘴’ 𝘔𝘦𝘦𝘵𝘪𝘯𝘨) dan patroli maritim bersama di Laut China Selatan.
Joseph Nye (2004) dalam teori “𝘚𝘰𝘧𝘵 𝘗𝘰𝘸𝘦𝘳”-nya menekankan bahwa “stabilitas kawasan membutuhkan keseimbangan antara deterensi militer dan diplomasi kohesif”.
𝐃𝐢𝐩𝐥𝐨𝐦𝐚𝐬𝐢 𝐊𝐨𝐧𝐟𝐥𝐢𝐤 𝐏𝐫𝐨𝐚𝐤𝐭𝐢𝐟
𝐌𝐞𝐦𝐩𝐞𝐫𝐜𝐞𝐩𝐚𝐭 𝐩𝐞𝐧𝐲𝐞𝐥𝐞𝐬𝐚𝐢𝐚𝐧 𝘊𝘰𝘥𝘦 𝘰𝘧 𝘊𝘰𝘯𝘥𝘶𝘤𝘵 (𝘊𝘖𝘊) Laut China Selatan dan mediasi krisis Myanmar.
Pendekatan ini selaras dengan konsep “𝘚𝘦𝘤𝘶𝘳𝘪𝘵𝘺 𝘊𝘰𝘮𝘮𝘶𝘯𝘪𝘵𝘺” Amitav Acharya (2001), di mana “dialog dan norma bersama lebih efektif daripada konfrontasi”.
𝗦𝗼𝗹𝗶𝗱𝗮𝗿𝗶𝘁𝗮𝘀 𝘐𝘯𝘵𝘦𝘳𝘯𝘢𝘭 𝘥𝘢𝘯 𝘏𝘦𝘥𝘨𝘪𝘯𝘨 𝘚𝘵𝘳𝘢𝘵𝘦𝘨𝘺
Menghindari perpecahan dengan mekanisme konsensus (𝘈𝘚𝘌𝘈𝘕 𝘞𝘢𝘺), sambil membolehkan negara anggota menjalankan strategi 𝘩𝘦𝘥𝘨𝘪𝘯𝘨 (misalnya Vietnam kerjasama dengan AS dan Rusia).
Evelyn Goh (2005) menyebut “hedging adalah instrumen survival negara kecil di tengah persaingan raksasa”.
𝐓𝐚𝐧𝐭𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐈𝐧𝐭𝐞𝐫𝐧𝐚𝐥: 𝐁𝐨𝐦 𝐖𝐚𝐤𝐭𝐮 𝐝𝐢 𝐁𝐚𝐥𝐢𝐤 𝐒𝐨𝐥𝐢𝐝𝐚𝐫𝐢𝐭𝐚𝐬 𝐀𝐒𝐄𝐀𝐍
Di balik upaya menjaga netralitas, ASEAN menyimpan sejumlah retakan internal yang mengancam kohesivitasnya.
Sengketa perbatasan antara Thailand dan Kamboja di sekitar Kuil Preah Vihear, misalnya, masih jadi luka lama yang rentan infeksi.
Meski status kuil sudah ditetapkan ICJ pada 1962, ketegangan sporadis terus muncul sejak bentrokan 2011 (terakhir Mei 2025) sebuah bom waktu yang bisa meledak kapan saja jika tak ditangani bijak (Weatherbee, 2015).
Tak kalah pelik, klaim tumpang-tindih di wilayah maritim menggerogoti kepercayaan antaranggota.
Perselisihan Indonesia-Vietnam di Laut Natuna atau sengketa Blok Ambalat antara Indonesia dan Malaysia bukan sekadar soal batas laut, tapi ujian nyata bagi prinsip “persatuan” ASEAN.
Padahal, seperti diingatkan Clive Schofield (2021), “laut adalah nadi kehidupan kawasan—konflik di sini berarti mengorbankan masa depan bersama.”
Yang lebih mengkhawatirkan adalah kecenderungan negara anggota mengambil jalan sendiri menghadapi kekuatan asing. Lihat saja bagaimana respons berbeda terhadap China di Laut China Selatan: Filipina bersuara lantang menolak pelanggaran kedaulatan, sementara Kamboja justru kerap membela Beijing di forum internasional.
Perpecahan semacam ini, menurut Lee Jones (2016), mengubah ASEAN dari “komunitas” menjadi sekumpulan suara sumbang yang mudah dipecah-belah.
Belum lagi ujian terberat: krisis Myanmar. Ketidakmampuan ASEAN menyepakati respons tegas terhadap junta militer—dibungkus dalih “non-interferensi”—telah mengundang kritik dunia.
Mely Caballero-Anthony (2021) tegas menyatakan: “Diam di depan pelanggaran HAM bukan netralitas, tapi pengkhianatan terhadap mandat perdamaian ASEAN sendiri.”*
𝐌𝐞𝐧𝐠𝐚𝐩𝐚 𝐈𝐧𝐢 𝐁𝐞𝐫𝐛𝐚𝐡𝐚𝐲𝐚?
Donald Weatherbee (2015) mengingatkan: “Sengketa bilateral adalah pintu belakang bagi intervensi asing.”
China bisa memanfaatkan ketegangan Kamboja-Thailand untuk memperdalam pengaruhnya di Phnom Penh, sementara AS mungkin menjadikan sengketa maritim sebagai dalih perluasan patroli militernya.
Setiap konflik yang tak terselesaikan adalah undangan bagi kekuatan global untuk menancapkan kukunya lebih dalam.**()
𝐑𝐞𝐟𝐞𝐫𝐞𝐧𝐬𝐢:
1. 𝘋𝘶𝘨𝘪𝘯, 𝘈. (2014). 𝘛𝘩𝘦 𝘍𝘰𝘶𝘳𝘵𝘩 𝘗𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘤𝘢𝘭 𝘛𝘩𝘦𝘰𝘳𝘺. 𝘈𝘳𝘬𝘵𝘰𝘴.
2. 𝘔𝘢𝘩𝘢𝘯, 𝘈. 𝘛. (1890). 𝘛𝘩𝘦 𝘐𝘯𝘧𝘭𝘶𝘦𝘯𝘤𝘦 𝘰𝘧 𝘚𝘦𝘢 𝘗𝘰𝘸𝘦𝘳 𝘜𝘱𝘰𝘯 𝘏𝘪𝘴𝘵𝘰𝘳𝘺. 𝘓𝘪𝘵𝘵𝘭𝘦, 𝘉𝘳𝘰𝘸𝘯 & 𝘊𝘰.
3. 𝘔𝘢𝘤𝘬𝘪𝘯𝘥𝘦𝘳, 𝘏. 𝘑. (1904). 𝘛𝘩𝘦 𝘎𝘦𝘰𝘨𝘳𝘢𝘱𝘩𝘪𝘤𝘢𝘭 𝘗𝘪𝘷𝘰𝘵 𝘰𝘧 𝘏𝘪𝘴𝘵𝘰𝘳𝘺. 𝘛𝘩𝘦 𝘎𝘦𝘰𝘨𝘳𝘢𝘱𝘩𝘪𝘤𝘢𝘭 𝘑𝘰𝘶𝘳𝘯𝘢𝘭, 23(4), 421-437.
4. 𝘚𝘱𝘺𝘬𝘮𝘢𝘯, 𝘕. 𝘑. (1944). 𝘛𝘩𝘦 𝘎𝘦𝘰𝘨𝘳𝘢𝘱𝘩𝘺 𝘰𝘧 𝘵𝘩𝘦 𝘗𝘦𝘢𝘤𝘦. 𝘏𝘢𝘳𝘤𝘰𝘶𝘳𝘵, 𝘉𝘳𝘢𝘤𝘦 & 𝘊𝘰.
5. 𝘚𝘶𝘯 𝘛𝘻𝘶. (5𝘵𝘩 𝘊𝘦𝘯𝘵𝘶𝘳𝘺 𝘉𝘊𝘌). 𝘛𝘩𝘦 𝘈𝘳𝘵 𝘰𝘧 𝘞𝘢𝘳. (𝘚. 𝘉. 𝘎𝘳𝘪𝘧𝘧𝘪𝘵𝘩, 𝘛𝘳𝘢𝘯𝘴.). 𝘖𝘹𝘧𝘰𝘳𝘥 𝘜𝘯𝘪𝘷𝘦𝘳𝘴𝘪𝘵𝘺 𝘗𝘳𝘦𝘴𝘴.
6. 𝘞𝘦𝘢𝘵𝘩𝘦𝘳𝘣𝘦𝘦, 𝘋. 𝘌. (2015). 𝘐𝘯𝘵𝘦𝘳𝘯𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭 𝘙𝘦𝘭𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘴 𝘪𝘯 𝘚𝘰𝘶𝘵𝘩𝘦𝘢𝘴𝘵 𝘈𝘴𝘪𝘢: 𝘛𝘩𝘦 𝘚𝘵𝘳𝘶𝘨𝘨𝘭𝘦 𝘧𝘰𝘳 𝘈𝘶𝘵𝘰𝘯𝘰𝘮𝘺. 𝘙𝘰𝘸𝘮𝘢𝘯 & 𝘓𝘪𝘵𝘵𝘭𝘦𝘧𝘪𝘦𝘭𝘥.
7. 𝘚𝘤𝘩𝘰𝘧𝘪𝘦𝘭𝘥, 𝘊. (2021). 𝘔𝘢𝘳𝘪𝘵𝘪𝘮𝘦 𝘉𝘰𝘶𝘯𝘥𝘢𝘳𝘺 𝘋𝘪𝘴𝘱𝘶𝘵𝘦𝘴 𝘪𝘯 𝘚𝘰𝘶𝘵𝘩𝘦𝘢𝘴𝘵 𝘈𝘴𝘪𝘢. 𝘐𝘚𝘌𝘈𝘚.
8. 𝘑𝘰𝘯𝘦𝘴, 𝘓. (2016). 𝘈𝘚𝘌𝘈𝘕’𝘴 𝘐𝘮𝘪𝘵𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯 𝘊𝘰𝘮𝘮𝘶𝘯𝘪𝘵𝘺. 𝘖𝘳𝘣𝘪𝘴, 60(1), 114–130.
9. 𝘊𝘢𝘣𝘢𝘭𝘭𝘦𝘳𝘰-𝘈𝘯𝘵𝘩𝘰𝘯𝘺, 𝘔. (2021). 𝘈𝘚𝘌𝘈𝘕’𝘴 𝘔𝘺𝘢𝘯𝘮𝘢𝘳 𝘊𝘳𝘪𝘴𝘪𝘴. 𝘊𝘢𝘳𝘯𝘦𝘨𝘪𝘦 𝘌𝘯𝘥𝘰𝘸𝘮𝘦𝘯𝘵.
10. 𝘈𝘤𝘩𝘢𝘳𝘺𝘢, 𝘈. (2014). 𝘊𝘰𝘯𝘴𝘵𝘳𝘶𝘤𝘵𝘪𝘯𝘨 𝘢 𝘚𝘦𝘤𝘶𝘳𝘪𝘵𝘺 𝘊𝘰𝘮𝘮𝘶𝘯𝘪𝘵𝘺 𝘪𝘯 𝘚𝘰𝘶𝘵𝘩𝘦𝘢𝘴𝘵 𝘈𝘴𝘪𝘢 (3𝘳𝘥 𝘦𝘥.). 𝘙𝘰𝘶𝘵𝘭𝘦𝘥𝘨𝘦.
11. 𝘎𝘰𝘩, 𝘌. (2005). 𝘔𝘦𝘦𝘵𝘪𝘯𝘨 𝘵𝘩𝘦 𝘊𝘩𝘪𝘯𝘢 𝘊𝘩𝘢𝘭𝘭𝘦𝘯𝘨𝘦: 𝘛𝘩𝘦 𝘜.𝘚. 𝘪𝘯 𝘚𝘰𝘶𝘵𝘩𝘦𝘢𝘴𝘵 𝘈𝘴𝘪𝘢𝘯 𝘙𝘦𝘨𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭 𝘚𝘦𝘤𝘶𝘳𝘪𝘵𝘺 𝘚𝘵𝘳𝘢𝘵𝘦𝘨𝘪𝘦𝘴. 𝘌𝘢𝘴𝘵-𝘞𝘦𝘴𝘵 𝘊𝘦𝘯𝘵𝘦𝘳.
12. 𝘏𝘦, 𝘒. (2012). 𝘐𝘯𝘴𝘵𝘪𝘵𝘶𝘵𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭 𝘉𝘢𝘭𝘢𝘯𝘤𝘪𝘯𝘨 𝘪𝘯 𝘵𝘩𝘦 𝘈𝘴𝘪𝘢 𝘗𝘢𝘤𝘪𝘧𝘪𝘤: 𝘌𝘤𝘰𝘯𝘰𝘮𝘪𝘤 𝘐𝘯𝘵𝘦𝘳𝘥𝘦𝘱𝘦𝘯𝘥𝘦𝘯𝘤𝘦 𝘢𝘯𝘥 𝘊𝘩𝘪𝘯𝘢’𝘴 𝘙𝘪𝘴𝘦. 𝘙𝘰𝘶𝘵𝘭𝘦𝘥𝘨𝘦.
13. 𝘔𝘢𝘩𝘣𝘶𝘣𝘢𝘯𝘪, 𝘒. (2018). 𝘈𝘚𝘌𝘈𝘕’𝘴 𝘴𝘶𝘤𝘤𝘦𝘴𝘴 𝘳𝘦𝘲𝘶𝘪𝘳𝘦𝘴 𝘮𝘰𝘳𝘦 𝘵𝘩𝘢𝘯 𝘫𝘶𝘴𝘵 𝘤𝘰𝘯𝘴𝘦𝘯𝘴𝘶𝘴. 𝘌𝘢𝘴𝘵 𝘈𝘴𝘪𝘢 𝘍𝘰𝘳𝘶𝘮. 𝘩𝘵𝘵𝘱𝘴://𝘸𝘸𝘸.𝘦𝘢𝘴𝘵𝘢𝘴𝘪𝘢𝘧𝘰𝘳𝘶𝘮.𝘰𝘳𝘨/
14. 𝘕𝘺𝘦, 𝘑. 𝘚. (2004). 𝘚𝘰𝘧𝘵 𝘗𝘰𝘸𝘦𝘳: 𝘛𝘩𝘦 𝘔𝘦𝘢𝘯𝘴 𝘵𝘰 𝘚𝘶𝘤𝘤𝘦𝘴𝘴 𝘪𝘯 𝘞𝘰𝘳𝘭𝘥 𝘗𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘤𝘴. 𝘗𝘶𝘣𝘭𝘪𝘤𝘈𝘧𝘧𝘢𝘪𝘳𝘴.
15. 𝘈𝘚𝘌𝘈𝘕 𝘚𝘦𝘤𝘳𝘦𝘵𝘢𝘳𝘪𝘢𝘵. (2019). 𝘈𝘚𝘌𝘈𝘕 𝘖𝘶𝘵𝘭𝘰𝘰𝘬 𝘰𝘯 𝘵𝘩𝘦 𝘐𝘯𝘥𝘰-𝘗𝘢𝘤𝘪𝘧𝘪𝘤. 𝘩𝘵𝘵𝘱𝘴://𝘢𝘴𝘦𝘢𝘯.𝘰𝘳𝘨/