Oleh Drs. Muhammad Bardansyah Ch.Cht
Mudanews.com-Opini | Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17.504 pulau, memiliki garis pantai terpanjang kedua setelah Kanada (104.000 km) dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 6 juta km² berdasarkan UNCLOS (1982).
Letaknya yang berada di persimpangan Samudra Hindia dan Pasifik menjadikannya 𝘤𝘩𝘰𝘬𝘦𝘱𝘰𝘪𝘯𝘵 vital bagi perdagangan maritim global, 40% perdagangan dunia melintasi Selat Malaka, Lombok, dan Sunda (CSIS, 2021).
Namun, posisi strategis ini juga membawa konsekuensi: Indonesia menjadi arena persaingan negara adidaya seperti AS, China, dan Rusia, sekaligus menghadapi ancaman keamanan multidimensi, mulai dari infiltrasi asing hingga konflik militer terselubung.
𝐏𝐨𝐬𝐢𝐬𝐢 𝐆𝐞𝐨𝐬𝐭𝐫𝐚𝐭𝐞𝐠𝐢𝐬 𝐝𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐩𝐞𝐧𝐭𝐢𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐆𝐥𝐨𝐛𝐚𝐥
Kekayaan sumber daya alam Indonesia menjadi magnet bagi kepentingan global. Cadangan nikel terbesar dunia (24% global) untuk industri baterai EV dan pertahanan (USGS, 2023), tambang emas Freeport Grasberg di Papua (terbesar kedua dunia), serta cadangan gas di Blok Natuna yang tumpang tindih dengan klaim China di Laut China Selatan, menempatkan Indonesia di pusat persaingan ekonomi-politik.
Dominasi asing terlihat jelas: China menguasai 60% investasi nikel melalui Tsingshan Holding Group, sementara AS lewat Freeport-McMoRan mengontrol sektor pertambangan Papua (Reuters, 2022).
Di kawasan ASEAN, pengaruh Indonesia sebagai pendiri dan pemimpin 𝘥𝘦 𝘧𝘢𝘤𝘵𝘰 terus diuji.
China membangun infrastruktur seperti Kereta Cepat Jakarta-Bandung melalui 𝘉𝘦𝘭𝘵 𝘢𝘯𝘥 𝘙𝘰𝘢𝘥 𝘐𝘯𝘪𝘵𝘪𝘢𝘵𝘪𝘷𝘦 (BRI), sementara AS menggalang aliansi 𝘘𝘶𝘢𝘥 (Australia, Jepang, India) untuk mengimbangi ekspansi Beijing.
Rusia pun tak ketinggalan, mencoba mendekati Indonesia dengan penawaran alutsista canggih seperti Sukhoi Su-35 dan sistem pertahanan S-400, meski sempat terhambat sanksi AS/CATSA 2017 (𝘚𝘵𝘳𝘢𝘪𝘵𝘴 𝘛𝘪𝘮𝘦𝘴, 2020).
𝐀𝐧𝐜𝐚𝐦𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐋𝐮𝐚𝐫 𝐝𝐚𝐧 𝐃𝐚𝐥𝐚𝐦
Australia, meski berstatus mitra strategis, memiliki sejarah konflik dengan Indonesia.
Dukungan Canberra terhadap kemerdekaan Timor Leste (1999) melalui misi INTERFET dan skandal penyadapan pejabat Indonesia (2013) oleh badan intelijen Australia (ABC News) meninggalkan jejak ketidakpercayaan.
Latihan militer AS-Australia (𝘛𝘢𝘭𝘪𝘴𝘮𝘢𝘯 𝘚𝘢𝘣𝘳𝘦) yang mensimulasikan invasi kepulauan dengan geografi mirip Indonesia (The Guardian, 2021) semakin memperuncing kecurigaan.
Ancaman militer langsung juga datang dari Laut China Selatan. Klaim sepihak China atas ZEE Natuna diwujudkan melalui intimidasi 𝘮𝘢𝘳𝘪𝘵𝘪𝘮𝘦 𝘮𝘪𝘭𝘪𝘵𝘪𝘢 —armada kapal 𝘤𝘰𝘢𝘴𝘵 𝘨𝘶𝘢𝘳𝘥 dan kapal nelayan bersenjata, yang nyaris berbenturan dengan kapal Indonesia (AMTI, 2022).
Di sisi lain, kehadiran 2.500 marinir AS di Darwin sejak 2011 (The Diplomat, 2021) menambah kompleksitas ancaman proyeksi kekuatan asing di kawasan.
Tantangan tak kalah serius adalah perang asimetris. Isu Papua menjadi contoh nyata: laporan Lowy Institute (2020) menyoroti dukungan ambigu Australia terhadap Organisasi Papua Merdeka (OPM), sementara LSM asing seperti 𝘏𝘶𝘮𝘢𝘯 𝘙𝘪𝘨𝘩𝘵𝘴 𝘞𝘢𝘵𝘤𝘩 (HRW) dituding memanfaatkan isu HAM untuk mendiskreditkan pemerintah (Tempo, 2021).
Pada 2023, Kementerian Luar Negeri Indonesia bahkan membatasi akses HRW ke Papua, menyebut laporan mereka “tidak berimbang” (Kompas, 2023).
𝐒𝐭𝐫𝐚𝐭𝐞𝐠𝐢 𝐏𝐞𝐫𝐭𝐚𝐡𝐚𝐧𝐚𝐧: 𝐃𝐢𝐩𝐥𝐨𝐦𝐚𝐬𝐢 𝐡𝐢𝐧𝐠𝐠𝐚 𝐊𝐞𝐦𝐚𝐧𝐝𝐢𝐫𝐢𝐚𝐧
Untuk merespons ancaman ini, Indonesia mengandalkan diplomasi “Bebas-Aktif”, tidak memihak blok AS atau China, tetapi memperkuat kemitraan dengan negara non-blok seperti India, Uni Emirat Arab, dan Korea Selatan.
Upaya lobi internasional juga digencarkan, terutama untuk mengamankan kedaulatan Natuna dari klaim China.
Di bidang pertahanan, modernisasi alutsista menjadi prioritas. Indonesia berupaya mengurangi ketergantungan impor dengan meningkatkan produksi dalam negeri melalui PT PAL, PT DI, dan PT Pindad.
Pembelian senjata dari berbagai sumber, seperti Sukhoi dari Rusia, kapal selam Scorpène dan pesawar Rafale dari Prancis, dan drone TB2 dari Turki—dimanfaatkan untuk menghindari tekanan geopolitik unilateral.
Penguatan pertahanan maritim juga tak bisa diabaikan. Penambahan kapal patroli cepat (KCR-60) dan kapal selam Nagapasa-class, serta pembangunan pangkalan militer di Natuna dan Morotai, menjadi langkah krusial untuk mengamankan perairan strategis.
Di ranah siber, pembentukan badan siber nasional dan penguatan Badan Intelijen Negara (BIN) diharapkan mampu menangkal disinformasi dan infiltrasi asing yang memicu disintegrasi.
𝐊𝐞𝐬𝐢𝐦𝐩𝐮𝐥𝐚𝐧
Pemerintah perlu mempercepat industrialisasi pertahanan, mengintegrasikan teknologi drone dan satelit untuk patroli maritim, serta mengedukasi publik tentang ancaman proxy war.
Pendekatan holistik di Papua, menggabungkan kebijakan kesejahteraan dan keamanan, harus menjadi prioritas untuk mencegah disintegrasi.
Sebagai negara dengan nilai geopolitik tinggi, Indonesia harus bijak memanfaatkan posisinya. Diplomasi lincah, pertahanan maritim yang tangguh, dan kemandirian industri adalah kunci untuk bertahan di tengah persaingan AS-China, sekaligus menjaga kedaulatan dan persatuan nasional.**()
𝐑𝐞𝐟𝐞𝐫𝐞𝐧𝐬𝐢
1. 𝘊𝘚𝘐𝘚 (2021) – 𝘐𝘯𝘥𝘰𝘯𝘦𝘴𝘪𝘢’𝘴 𝘔𝘢𝘳𝘪𝘵𝘪𝘮𝘦 𝘚𝘵𝘳𝘢𝘵𝘦𝘨𝘺 𝘪𝘯 𝘵𝘩𝘦 𝘐𝘯𝘥𝘰-𝘗𝘢𝘤𝘪𝘧𝘪𝘤
2. 𝘓𝘰𝘸𝘺 𝘐𝘯𝘴𝘵𝘪𝘵𝘶𝘵𝘦 (2020), 𝘈𝘶𝘴𝘵𝘳𝘢𝘭𝘪𝘢’𝘴 𝘋𝘰𝘶𝘣𝘭𝘦 𝘎𝘢𝘮𝘦 𝘪𝘯 𝘞𝘦𝘴𝘵 𝘗𝘢𝘱𝘶𝘢
3. 𝘈𝘔𝘛𝘐 (2022), 𝘊𝘩𝘪𝘯𝘢’𝘴 𝘊𝘰𝘦𝘳𝘤𝘪𝘰𝘯 𝘪𝘯 𝘵𝘩𝘦 𝘚𝘰𝘶𝘵𝘩 𝘊𝘩𝘪𝘯𝘢 𝘚𝘦𝘢
4. 𝘜𝘕𝘊𝘓𝘖𝘚 (1982) , 𝘏𝘶𝘬𝘶𝘮 𝘓𝘢𝘶𝘵 𝘐𝘯𝘵𝘦𝘳𝘯𝘢𝘴𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭
5. 𝘙𝘦𝘶𝘵𝘦𝘳𝘴 (2022) , 𝘊𝘩𝘪𝘯𝘢’𝘴 𝘋𝘰𝘮𝘪𝘯𝘢𝘯𝘤𝘦 𝘪𝘯 𝘐𝘯𝘥𝘰𝘯𝘦𝘴𝘪𝘢’𝘴 𝘕𝘪𝘤𝘬𝘦𝘭 𝘐𝘯𝘥𝘶𝘴𝘵𝘳𝘺
6. 𝘛𝘩𝘦 𝘋𝘪𝘱𝘭𝘰𝘮𝘢𝘵 (2021) , 𝘜𝘚 𝘔𝘢𝘳𝘪𝘯𝘦𝘴 𝘪𝘯 𝘋𝘢𝘳𝘸𝘪𝘯: 𝘚𝘵𝘳𝘢𝘵𝘦𝘨𝘪𝘤 𝘐𝘮𝘱𝘭𝘪𝘤𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘴
7. 𝘒𝘰𝘮𝘱𝘢𝘴 (2023) – 𝘗𝘦𝘮𝘣𝘢𝘵𝘢𝘴𝘢𝘯 𝘈𝘬𝘴𝘦𝘴 𝘏𝘙𝘞 𝘬𝘦 𝘗𝘢𝘱𝘶𝘢
8. 𝘚𝘵𝘳𝘢𝘪𝘵𝘴 𝘛𝘪𝘮𝘦𝘴 (2020) – 𝘙𝘶𝘴𝘴𝘪𝘢’𝘴 𝘈𝘳𝘮𝘴 𝘚𝘢𝘭𝘦𝘴 𝘵𝘰 𝘚𝘰𝘶𝘵𝘩𝘦𝘢𝘴𝘵 𝘈𝘴𝘪𝘢