Sejarah Peristiwa 27Juli Berdarah

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Banyak kader kader PDI yang sedang berada di kantor luka parah, darah berceceran, dan banyak orang yang hilang tidak menentu.

Laksamana Sukardi

Oleh : Laksamana Sukardi

Banyak yang tidak tahu dan memahami kenapa 27 Juli 1996 menjadi peristiwa berdarah penyerangan terhadap kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta. Banyak pelajaran yang dapat dan harus diambil oleh para pemimpin dan rakyat Indonesia, terutama kaum nasionalis di Indonesia yang pada umumnya hampir melupakan peristiwa tersebut.

Lahirnya Oposisi terhadap Orde Baru

Bermula dari Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Asrama Haji Sukolilo di Surabaya yang dimulai tanggal 2 Desember 1993. Pada waktu itu pemerintah orde baru telah merencanakan pemilihan pengurus dan ketua yang terdiri dari boneka boneka politik yang nurut kepada rezim orde baru

Melalui aparat suprastruktur politik (ABRI, Pejabat Daerah, Kementerian Dalam Negeri dan lembaga intelijen) mereka mengawal kongres agar berjalan lancar sesuai dengan skenario tersebut yaitu memilih Budi Hardjono sebagai Ketua Umum PDI dan mengisi kepengurusan PDI dengan orang orang yang dianggap binaan dan boneka rezim.

Di luar skenario, ternyata Megawati Soekarnoputri dapat masuk ke arena kongres dan menjadi utusan resmi Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Jakarta Selatan. Itupun setelah melalui rintangan-rintangan terjal yang berupaya menggagalkan kehadirannya.

Seperti ditakuti oleh rezim orde baru, ternyata para utusan akar rumput kongres mendukung Megawati untuk menjadi ketua umum melalui proses pemilihan langsung, melawan rencana pemerintah untuk membentuk formatur yang akan memilih ketua umum.

Mengalami tekanan yang cukup besar dari peserta kongres, akhirnya pemerintah melakukan skorsing acara pemilihan ketua dan dibiarkan tanpa adanya ketua umum terpilih. Para panitia dan petinggi partai hilang dan kongres diamankan oleh aparat.

Pada hari terakhir kongres tangal 6 Desember, para ketua 27 DPD dengan persetujuan DPC memilih Megawati menjadi ketua umum. Kemudian Megawati tampil menyatakan diri sebagai Ketua Umum de Facto PDI yang tidak diakui oleh pemerintah.

Megawati Sukarno Putri

Dalam ketidakpastian nasib PDI, pemerintah berupaya terus mengadang Megawati menjadi ketua umum PDI, karena keberadaannya dapat membahayakan ‘stabilitas keamanan’ keberlangsungan pemerintahan Soeharto yang akan melaksanakan pemilihan umum di tahun 1997. Singkat cerita Megawati harus diadang dan tidak boleh memimpin PDI.

Untuk melanjutkan pemilihan kepengurusan pimpinan PDI, harus diselenggarakan munas partai, yang juga diupayakan oleh kepengurusan DPP PDI sementara yang dipimpin oleh Latief Pudjosakti yang didukung pemerintah untuk menguasai keberlangsungan munas pada tanggal 22 Desember 1993. Timbul ketidakpastian karena kepengurusan lama sudah kedaluwarsa pada saat Kongres Luar Biasa selesai.

Dalam kekacauan tersebut, dengan bantuan perwira muda ABRI, Agum Gumelar dan AM Hendropriyono, seluruh DPD dan DPP sementara sepakat menyelenggarakan Munas pada Rabu siang 22 Desember 1993 yang semula direncanakan di Kopo, Puncak, Bogor, Jawa Barat, dipindah ke Garden Hotel, Kemang, Jakarta Selatan. Akhirnya pada pukul 22.00 WIB, Megawati dipilih menjadi Ketua Umum PDI secara aklamasi oleh 52 fungsionaris (ketua dan sekjen) DPD PDI dari 27 provinsi.

Walaupun terpilih sebagai ketua umum PDI, Megawati tidak leluasa menetukan kepengurusan DPP PDI, dia harus menerima 16 orang fungsionaris yang dikenal sebagai orang binaan pemerintah. Pada waktu itu Megawati hanya mampu memilih Sekretaris Jenderal Alex Litaay dan saya sebagai Bendahara Umum (saya sebagai fungsionaris PDI dan anggota DPR/MPRRI Pemilu 1992).

Pada waktu itu saya sedang mengendarai mobil dari Boston ke Maine (USA) dan ditelepon oleh Megawati yang mengatakan: “Laks kamu jadi bendahara ya. Saya susah payah memilih orang karena yang disetujui baru dua orang. Kamu dan Alex Litaay!” Mungkin saya dianggap sebagai profesional bankir yang nonpolitik makanya tidak mengancam pemerintah Soeharto.

Setelah kepengurusan terbentuk, sebagai tradisi kepengurusan baru, partai politik harus sowan kepada Presiden Soeharto. Seluruh pengurus DPP PDI diterima di Bina Graha oleh Presiden Soeharto. Saya masih ingat itulah pertama kali saya bertatap muka dan bersalaman dengan Presiden Soeharto. Saya perhatikan raut mukanya yang tidak senang dengan Megawati walaupun dia tetap berupaya tersenyum.

 

Sumber : Liputan6.com

Berita Terkini