MUDANEWS.COM, OPINI – Antiklimaks demokrasi sedang menjadi ancaman sangat serius bagi kelancaran terjadinya konglomerat badan kapitalis politik. Mereka adalah para monster antidemokrasi sesungguhnya. Ancaman terjadinya keruntuhan eksistensi dan peta jalannya sudah di depan mata . Hanya menunggu waktu urutan peristiwa alamiah yang akan menghancurkan struktur politik dan kapital meraka.
Saat ini sedang terjadi keruntuhan kewibawaan dan kedaulatan demokrasi di mata pemilih. Demokrasi dibunuh oleh ego serta supremasi kapital dan juga terjadinya konglomerat politik yang sangat akut.
Dalam fase paling ekstrim, sewajarnya jika masyarakat sudah tepat untuk melalaikan dan meninggal sistem dan juga proses demokrasi. Klaim jika demokrasi sebagai produk gagal dan lantas untuk ditinggal. Abaikan saja dan pilih untuk mengabaikan semua kitab dan perjanjian demokrasi.
Pada akhirnya terjadinya antiklimaks demokrasi menjadi bagian yang sudah tidak terhindarkan lagi dan menjadi pemicu terjadinya daur ulang ekosistem politik yang akan mencapai siklus keseimbangan baru.
Masyarakat sudah tidak peduli lagi apa yang akan menjadi produk pemilu akan membawa perubahan atau sebesar mempertahankan status quo. Masyarakat sudah berada dalam batas pesimis yang sangat ekstrim bagaimana proses politik sedang berlangsung. Sepertinya terjadinya pembiaran kolosal masyarakat Indonesia terjadinya demokrasi yang semakin terpuruk di titik nol.
Apabila terjadinya huru- hara politik hanya menjadi kembang -kembang fragmentasi sosial biasa. Jika terpaksa menjadi peristiwa politik luar biasa, berarti ada skenario politik diluar kendali alias musibah politik. Namanya fase disrupsi politik yang tidak terkontrol.
Jelang Pemilu 2024 banyak konflik kepentingan yang berserakan dan bertabrakan. Di antara pihak yang menikmati keuntungan dari maraknya konflik adalah partai politik, elite politiknya, para pesohor tokoh masyarakat dan juga para bohir-bohir tajir melintir.
Tim hore juga kecipratan tejiki. Tak luput juga tumbuh dan berkembang pesat para tim intelejen dan tim hore sekelas lembaga survei politik, endoser dan juga para buzzers. Semuanya lalu lalang dan berhamburan sesuai Medan magnet dan yang punya remote kontrol.
Perhelatan Pemilu 2024 dapat disimpulkan terjadinya persekutuan dan juga penyerobotan segala bentuk maksud dan kepentingan politik dan ekonomi. Esensi demokrasi yang menjadi tujuan utama sudah terlanjur menjadi barang murah dan diobral.
Temuan KPK yang menyatakan bahwa kecenderungan pemilih untuk memberikan suaranya lebih banyak dipengaruhi oleh faktor insentif uang daripada perimbangan bibit dan bobot caleg. KPK menyebutkan hampir 95 persen masyarakat pemilih Indonesia sangat transaksional.
Mengapa proses demokrasi ini harus mahal dengan mengesampingkan kualitas produk politik yang jongkok. Dugaan jika ada kesengajaan yang sangat sistemik. Demokrasi bergulir dipelihara dan dimanfaatkan sebagai legalisasi perolehan produk rejim yang terakhir oleh Institusi politik dan juga terpublikasi ke masyarakat Internasional.
Sudah menjadi rahasia umum jika pada kenyataannya, setiap pemilu dilangsungkan selalu melahirkan rezim baru yang mengloning rezim lama. Tidak ada berubah signifikan terhadap kinerja dan juga hasil kerja dari organisasi rejim yang sudah terbentuk. Parahnya demokrasi yang digulirkan hanya menghasilkan produk dinasti politik dan juga konglomerat ekonomi.
Tidak heran jika Pemilu 5 tahunan sebetulnya sebuah model yang sudah terukur dan terprogram oleh rejim ke rejim masa lampaunya.Artinya hal ihwal berkaitan dinamika dan juga terlaksananya sudah diatur sedemikian rupa. Kekuasaan dan distribusinya sudah diatur dan dikunci. Jika ada orang eksternal masuk dalam sistem, itupun kepatuhan dan loyalitasnya sudah disandera bahkan berada dalam ancaman fisik.
Wajar jika setiap pemilu dihasilkan produk rezim yang nyaris sama dan parahnya hasil tersebut tidak berkualitas . Beda wajah sama dalamnya. Banyak badut politik yang sengaja di bayar atau dijadikan tumbal untuk beradu akting dan modeling atas nama rakyat dan kemanusian.
Sudah menjadi drama politik 5 tahunan, diberikan ruangan kesenangan dan juga dibiarkan masyarakat berjoget dalam hiruk pikuk Pemilu. Rejim tersebut mencoba memperluas atmosfernya dengan melibatkan keterwakilan masyarakat sehingga seolah-olah pemilu masih ada rasa dan euforia demokrasi terkesan ada.
Masyarakat diajak dan digiring dalam sudut dan ruangan demokrasi serta diberikan ceruk partisipasi sebagai pemilih. Mereka diberikan hak pilih , diurusin sampai tuntas hingga di hari pelaksanan pemilu mereka bisa ikut serta memberikan stempel legitimasi produk rejim.
Sangat mengerikan sekali ketika proses menuju pemilu harus dikasih bumbu -bumbu penyedap menyengat dan juga rasa gula -gula. Mereka diajak bertengkar dan juga kadang diajak beradu fisik sebagi bagian mengelola sebuah konflik horisontal, masyarakat berhadapan masyarakat.
Inilah sebuah permainan kejahatan kemanusiaan dengan wajah yang dibalut oleh euforia demokrasi. Terjadi distorsi sempit jika demokrasi harus dikerjakan dengan pertikaian dan juga pengkhianatan yang berimbas terjadinya jeleknya kualitas demokrasi.
Akhirnya sudah menjadi fatsun lumrah jika perhelatan pemilu memang didesain untuk legalitas dengan skema mengotori esensi demokrasi sesungguhnya dan pada akhirnya segala dan konsekuensinya sudah terprediksi dan diamini oleh konglomerasi jahat.
Mari kita waspadai dan juga tetap kritis, jika perlu boikot pemilu atau golput jika kiranya masyarakat paham dan menyadari penuh jika apapun produk demokrasi melalui pemilu 5 tahunan hanyalah proses legalitas dan penyertaan kepentingan berjamaah untuk menjadikan negara dan bangsa Indonesia bangkrut dan pailit.
Indonesia hanya sebagai tempat berjamaah dan bergerombol memperkaya dan memperoleh jabatannya di semua lini ekosistem politik dan pemerintahan. Parahnya juga jika Pemilu juga dijadikan rahimnya embrio dinasti politik baru yang justru menambah keruwetan dan juga muramnya masa depan demokrasi.
Masyarakat sudah tidak peduli lagi apa yang akan menjadi produk pemilu akan membawa perubahan atau sebesar mempertahankan status quo. Masyarakat sudah berada dalam batas pesimis yang sangat ekstrim bagaimana proses politik sedang berlangsung. Sepertinya terjadinya pembiaran kolosal masyarakat Indonesia terjadinya demokrasi yang semakin terpuruk di titik nol.
Apabila terjadinya huru- hara politik hanya menjadi kembang -kembang fragmentasi sosial biasa. Jika terpaksa menjadi peristiwa politik luar biasa, berarti ada skenario politik diluar kendali alias musibah politik. Namanya fase disrupsi politik yang tidak terkontrol.
Jelang Pemilu 2024 banyak konflik kepentingan yang berserakan dan bertabrakan. Di antara pihak yang menikmati keuntungan dari maraknya konflik adalah partai politik, elite politiknya, para pesohor tokoh masyarakat dan juga para bohir-bohir tajir melintir.
Tim hore juga kecipratan tejiki. Tak luput juga tumbuh dan berkembang pesat para tim intelejen dan tim hore sekelas lembaga survei politik, endoser dan juga para buzzers. Semuanya lalu lalang dan berhamburan sesuai Medan magnet dan yang punya remote kontrol.
Perhelatan Pemilu 2024 dapat disimpulkan terjadinya persekutuan dan juga penyerobotan segala bentuk maksud dan kepentingan politik dan ekonomi. Esensi demokrasi yang menjadi tujuan utama sudah terlanjur menjadi barang murah dan diobral.
Temuan KPK yang menyatakan bahwa kecenderungan pemilih untuk memberikan suaranya lebih banyak dipengaruhi oleh faktor insentif uang daripada perimbangan bibit dan bobot caleg. KPK menyebutkan hampir 95 persen masyarakat pemilih Indonesia sangat transaksional.
Mengapa proses demokrasi ini harus mahal dengan mengesampingkan kualitas produk politik yang jongkok. Dugaan jika ada kesengajaan yang sangat sistemik. Demokrasi bergulir dipelihara dan dimanfaatkan sebagai legalisasi perolehan produk rejim yang terakhir oleh Institusi politik dan juga terpublikasi ke masyarakat Internasional.
Sudah menjadi rahasia umum jika pada kenyataannya, setiap pemilu dilangsungkan selalu melahirkan rezim baru yang mengloning rezim lama. Tidak ada berubah signifikan terhadap kinerja dan juga hasil kerja dari organisasi rejim yang sudah terbentuk. Parahnya demokrasi yang digulirkan hanya menghasilkan produk dinasti politik dan juga konglomerat ekonomi.
Tidak heran jika Pemilu 5 tahunan sebetulnya sebuah model yang sudah terukur dan terprogram oleh rejim ke rejim masa lampaunya.Artinya hal ihwal berkaitan dinamika dan juga terlaksananya sudah diatur sedemikian rupa. Kekuasaan dan distribusinya sudah diatur dan dikunci. Jika ada orang eksternal masuk dalam sistem, itupun kepatuhan dan loyalitasnya sudah disandera bahkan berada dalam ancaman fisik.
Wajar jika setiap pemilu dihasilkan produk rezim yang nyaris sama dan parahnya hasil tersebut tidak berkualitas . Beda wajah sama dalamnya. Banyak badut politik yang sengaja di bayar atau dijadikan tumbal untuk beradu akting dan modeling atas nama rakyat dan kemanusian.
Sudah menjadi drama politik 5 tahunan, diberikan ruangan kesenangan dan juga dibiarkan masyarakat berjoget dalam hiruk pikuk Pemilu. Rejim tersebut mencoba memperluas atmosfernya dengan melibatkan keterwakilan masyarakat sehingga seolah-olah pemilu masih ada rasa dan euforia demokrasi terkesan ada.
Masyarakat diajak dan digiring dalam sudut dan ruangan demokrasi serta diberikan ceruk partisipasi sebagai pemilih. Mereka diberikan hak pilih , diurusin sampai tuntas hingga di hari pelaksanan pemilu mereka bisa ikut serta memberikan stempel legitimasi produk rejim.
Sangat mengerikan sekali ketika proses menuju pemilu harus dikasih bumbu -bumbu penyedap menyengat dan juga rasa gula -gula. Mereka diajak bertengkar dan juga kadang diajak beradu fisik sebagi bagian mengelola sebuah konflik horisontal, masyarakat berhadapan masyarakat.
Inilah sebuah permainan kejahatan kemanusiaan dengan wajah yang dibalut oleh euforia demokrasi. Terjadi distorsi sempit jika demokrasi harus dikerjakan dengan pertikaian dan juga pengkhianatan yang berimbas terjadinya jeleknya kualitas demokrasi.
Akhirnya sudah menjadi fatsun lumrah jika perhelatan pemilu memang didesain untuk legalitas dengan skema mengotori esensi demokrasi sesungguhnya dan pada akhirnya segala dan konsekuensinya sudah terprediksi dan diamini oleh konglomerasi jahat.
Mari kita waspadai dan juga tetap kritis, jika perlu boikot pemilu atau golput jika kiranya masyarakat paham dan menyadari penuh jika apapun produk demokrasi melalui pemilu 5 tahunan hanyalah proses legalitas dan penyertaan kepentingan berjamaah untuk menjadikan negara dan bangsa Indonesia bangkrut dan pailit. Indonesia hanya sebagai tempat berjamaah dan bergerombol memperkaya dan memperoleh jabatannya di semua lini ekosistem politik dan pemerintahan.
Parahnya juga jika Pemilu juga dijadikan rahimnya embrio dinasti politik baru yang justru menambah keruwetan dan juga muramnya masa depan demokrasi.
Ditulis Oleh : Heru Subagia (Pengamat Politik dan Sosial/Alumni UGM)