Memahami Logika Analogi Azan dan Anjing

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Konon, suatu hari Imam Hanafi masuk ke tempat tukang pangkas untuk merapikan rambutnya. Setelah duduk di kursi pangkas, Imam Hanafi berkata, “Sepertinya mulai banyak rambut putih (uban) di kepalaku, cabutlah agar bersih”. Tukang pangkas menjawab “kalau rambut putih itu di cabut, maka akan semakin banyak”. Dengan segera Imam Hanafi menjawab, “Kalau begitu, cabutlah rambut yang hitamnya”. Tukang pangkas pun menjadi bengong.

Kisah di atas menunjukkan bagaimana Imam Hanafi menggunakan penalaran analogi dalam menjawab si tukang pangkas. Analogi dalam ilmu Mantiq disebut tamtsil yang berarti mengambil kesimpulan hukum yang sama atas suatu kasus berdasar kasus lainnya dikarenakan terdapat persamaan atau kemiripan antara keduanya.

Dalam ilmu fiqih, analogi ini disebut dengan qiyas. “Kalau rambut putih dicabut akan membuat semakin banyaknya rambut putih dan berkurangnya rambut yang hitam, maka cabutlah rambut yang hitam agar semakin banyak rambut hitam dan berkurang rambut yang putih”, begitu penalaran analogi yang digunakan oleh Imam Hanafi tersebut.

Dalam ilmu Mantiq, logika analogi mengandung empat komponen utama yaitu ashl (asal analogi), far’u (hal yang dianalogikan), jami (alasan yang mempertemukan ashl dan far’u, disebut juga illat atau sebab), dan hukmun (yaitu hukum dari ashl yang diterapkan kepada far’u). Dalam kasus tukang pangkas di atas, maka rambut putih adalah ashl, rambut hitam adalah far’u, mencabut rambutnya adalah jami’, dan bertambah banyak adalah hukum.

Kalau anda kurang populer dengan contoh di atas, maka contoh kasus ilmu fikih berikut ini tentulah populer di tengah-tengah umat Islam?

Apa hukum minum tuak? Hukumnya haram, begitu pendapat ulama. Dari mana ulama menghukumi minum tuak itu haram, sementara tuak tidak ada di dalam Al-Quran dan hadis? Kesimpulan tuak hukumnya haram itu berdasarkan metode qiyas atau analogi. Di dalam Al-Quran dan hadis memang tidak ada disebutkan tuak, tetapi ada disebutkan khamar. Khamar dihukumi haram karena ia minuman memabukkan. Dan karena tuak juga termasuk minuman memabukkan, maka ulama menyamakan hukum khamar dan tuak, yaitu haram.

Jadi, antara khamar dan tuak ditemukan kesamaan yaitu “minuman memabukkan”, kullu muskirin khamar. Dan berdasarkan pada premis bahwa setiap yang memabukkan adalah haram, maka tuak adalah haram.

Jadi ada empat hal, yaitu khamar sebagai ashl, tuak sebagai far’u, memabukan sebagai jami’ (illat), dan haram sebagai hukum. Kaidahnya “hukum mengikuti illatnya”, ada “illat” maka ada “hukum”, tidak ada illat maka tidak ada hukum. Karena itu selama tuak masih mengandung unsur memabukkan, maka dia diharamkan, jika tidak, maka tidak diharamkan.

Begitu pula halnya dengan kasus “azan dan anjing”. Tak bisa dipungkiri dalam komentarnya Menteri Agama RI, Gus Yaqut menggunakan logika analogi, yaitu menyamakan kasus anjing dengan kasus azan. Tapi yang perlu dipahami adalah “jami” atau “illat” yaitu alasan yang mempertemukan antara keduanya. Tentu Gus Yaqut tidak berniat menyamakan substansi dan nilai “azan dengan anjing”, tetapi yang disamakan oleh Gus Yaqut adalah keributan alias “suara keras yang mengganggu”. Bahwa “azan dengan pengeras suara” dan “gonggongan anjing” adalah sama-sama keributan yakni suara keras yang mengganggu masyarakat.

Jadi “suara keras yang menggangu masyarakat” adalah jami’ yang mempertemukan antara anjing dan azan. Jika kerasnya suara gonggongan anjing di sekitar kita itu mengganggu masyarakat sehingga perlu di atur, maka suara azan dengan pengeras suara juga mengganggu masyarakat sehingga perlu di atur. Inilah hukum yang dilahirkan Kementrian Agama dari analogi kasus “azan dan anjing” tersebut.

Kalau dibuat deskripsi analoginya maka sebagai berikut :

1. Anjing yang menggonggong dengan suara yang keras itu mengganggu masyarakat, karena itu perlu di atur.

2. Azan yang berkumandang dengan suara yang keras itu mengganggu masyarakat, karena itu perlu diatur.

Dengan demikian, analogi azan dan anjing telah memenuhi empat syarat analogi. Yaitu anjing sebagai ashl, azan sebagai far’u, suara keras yang mengganggu sebagai jami’, dan perlu diatur adalah hukum yang diterapkan.

Sebagai bukti bahwa Menteri Agama menggunakan logika analogi dengan menjadikan “suara keras yang mengganggu masyarakat” itu sebagai jami’ atau illatnya, berikut ini saya bawakan kalimat pembuka pada “Pendahuluan” dalam “Surat Edaran Nomor SE. 05 Tahun 2022 Tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala” :

“Penggunaan pengeras suara di masjid dan musala saat ini merupakan kebutuhan bagi umat Islam sebagai salah satu media syiar Islam di tengah masyarakat. Pada saat yang bersamaan, kita hidup dalam masyarakat yang beragam, baik agama, keyakinan, latar belakang, dan lainnya, sehingga diperlukan upaya untuk merawat persaudaraan dan harmoni sosial.

Untuk memastikan penggunaan pengeras suara agar tidak menimbulkan potensi gangguan ketenteraman, ketertiban, dan keharmonisan antarwarga masyarakat, diperlukan pedoman penggunaan pengeras suara di masjid dan musala bagi pengelola (takmir) masjid dan musala.

Berdasarkan pemikiran tersebut, perlu ditetapkan Surat Edaran Menteri Agama Republik Indonesia tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala.” (Hal. 1)

Jadi jelas ya, bahwa jami atau illatnya adalah “menimbulkan potensi gangguan ketentraman” sesuai dengan Surat Edaran di atas dan didukung pernyataan Menteri Agama ketika diwawancarai wartawan.

Hanya saja dalam analogi yang selalu jadi masalah adalah apakah jami’ tersebut telah benar dan valid secara mantiqi. Apakah suara gonggongan anjing menggangu ketentraman masyarakat? Dan apakah azan memakai pengeras suara itu juga mengganggu ketentraman masyarakat? Apakah sudah ada validitas risetnya? Entahlah, saya tidak tahu standar kementrian agama.

Karena dalam logika analogi yang penting jika ada orang yang mengatakan terganggu ketentramannya, maka boleh dijadikan dalil untuk membuat kesimpulan, tak perduli berapapun jumlah orang yang terganggu, bahkan meskipun hanya satu orang. Di sinilah letak kelemahan logika analogi dibandingkan logika induksi dan deduksi. Karenanya dalam tradisi filsafat analogi sebisa mungkin dihindari sebagai dasar argumentasi.

Namun, kalau merujuk pada nash, sebagai orang yang beragama dan ingin melaksanakan Sunnah Nabi Saw, ada satu hal yang jelas terdapat dalam hadis Nabi Muhammad SAW yang memerintahkan kita untuk berdoa ketika mendengar suara anjing menggonggong, sebagaimana ada juga hadis yang memerintahkan kita untuk berdoa ketika mendengar suara azan berkumandang. Jadi, mendengar suara azan dan gonggongan anjing bisa menjadi suatu kebaikan yang membuat kita sama-sama berdoa dan mengamalkan Sunnah nabi. Tapi hati-hati, karena Ini juga analogi. ?

Selamat berakhir pekan.

Oleh : Candiki Repantu

 

Berita Terkini