MUDANEWS.COM – Sangat menarik, membaca buku ini memang membuat emosi memuncak, seakan-akan ingin membagikan seluruh refleksi pikiran ini pada semua kader HMI yang sedang nyaman-nyamannya pada status quo. Buku ini sangat apik, dan saya sebagai pembaca tentu juga mengeluarkan sumpah serapah (di dalam hati, sambil bibir komat kamit) tentu sumpah serapah yang saya tujukan bukan pada buku ini atau pada penulisnya.
Tapi pada kader HMI saat ini, apalagi istilah-istilah kanda dan dinda yang mengacu pada pola percaloan politik baik tingkat Cabang, Badko ataupun PB. Gigiku sedikit merapat dan dengan penuh antusias ingin berkata kepada penulis, “Benar, ini benar, realita ini juga benar”..
Rasa-rasanya tulisan ini benar-benar menggambarkan perasaan saya sebagai kader HMI atau yang pernah berada di struktural HMI dulu. Membaca buku ini membuat hati kita geram, solusi-solusi atau kritik-kritik yang disampaikan oleh Zulfata atau yang akrab disapa Agapolisme harus disampaikan kepenjuru Cabang dan seluruh Indonesia. Harusnya para kader HMI berlomba-lomba untuk membuat diskusi ini baik webinar ataupun seminar offline.
Tulisan yang terkesan provokatif dan juga sarat dengan pendidikan ber-HMI tentunya sangat baru saat ini. Tidak ada kader HMI yang berani membongkar kerusakan “dapur” nya sendiri, tapi melalui tulisan Bubarkan HMI ini, dapur HMI berusaha dibongkar kekotorannya dan kebusukannya. Termasuk ada satu kalimat yang mungkin para pembaca HMI-HMI-an-an akan marah dan baper (bawa perasaan) ketika penulis mengatakan dengan sangat gamblang bahwa “..Diakui atau tidak, Indonesia rusak karena keberadaan HMI hari ini.” (terdapat di halaman 31)
Kalimat tersebut tentunya sangat menghujam sampai ke jantung kader HMI yang nyaman dengan status quo, apalagi kader HMI yang sedang senang-senangnya mengucapkan kalimat idealis seperti HMI sebagai organisasi yang menyuarakan keadilan dan turur berperan aktif untuk mengawal berjalannya negara ini dijalur yang benar. Kalimat diatas menampar Kader HMI, bahwa mereka dianggap sumber atau biang kerusakan Indonesia saat ini.
Lalu ada hal yang menarik, penulis menganalogikan tindakan kader HMI dengan dua film yaitu Film Ghost Rider dan Das Experiment, menyangkut Himpunan Mahasiswa Iblis, beliau menyamakan dengan film Ghost Rider yang sehebat-hebatnya karakter dalam film tersebut membasmi sesama Iblis, tapi tak pernah berusaha membasmi para koruptor atau perusak negeri ini, ternyata korupsi adalah bentuk rezeki bagi manusia yang berhaluan Iblis.
Lalu, film Das Experiment, analogi ini mengkritik pengkaderan atau training-training di HMI yang hanya menjadi penjara bagi dinda-dinda polos yang dicekoki idealisme sesaat, lalu diluar mereka nyatanya saling memanfaatkan kawan dan menjadi pejuang pragmatisme. Memang kaderisasi HMI saat ini lebih seperti syarat saja untuk menjadi kader secara de jure, selebihnya, secara de facto kader HMI saat ini sangat jauh dari nilai-nilai HMI yang termaktub dalam NDP.
Lalu ada juga informasi yang berharga mengenai karakter perjuangan HMI berbeda dari Parpol, HMI bisa lebih luas bergerak karena tidak ada kepentingan elektoral, sedangkan parpol pastinya akan bergerak karena nilai-nilai pragmatis elektoral tersebut.
Sistem percaloan yang di bongkar secara mungkin_ secara satire oleh penulis menunjukkan betapa HMI saat ini sangat nampak di kooptasi oleh punggawa-punggawa kepentingan yang memiliki pesanan politik bahkan hingga Nasional, lihat saja PB saat ini yang tidak lebih menjadi lembaga perpanjangan tangan pemerintah, bukan lagi organisasi kritis yang menjadi pengawas pemerintah dengan nilai tawar kritisnya.
Hasil politisasi yang ditawarkan penulis tentu saja politik etik, dan politik yang berdasarkan nilai-nilai ketauhidan yang saat ini sangat jauh dari kader HMI, bahkan untuk menjalankan syariat yang mendasar (seperti shalat lima waktu) kader HMI belum tuntas untuk mau melaksanakan dengan sepenuh hati.
Penulis sangat jelas menggambarkan bagaimana keadaan kader HMI saat ini, dan menawarkan solusi “pembubaran” HMI agar HMI berkaca dan sadar diri, bahwa sebenarnya ia sudah mati sebelum mati. Pembubaran HMI yang ditawarkan oleh Zulfata menurut saya bisa dua hal, yaitu pertama pembubaran secara Esensi, yaitu memotong atau meminta kader-kader HMI membubarkan dirinya dari nilai-nilai pragmatisme atau menjadi calo kanda yang punya kepentingan agar HMI ini bersih dari praktek-praktek kotor tersebut.
Lalu, kedua pembubaran secara eksistensi, ini secara gamblang Zulfata dalam beberapa kalimat menganjurkan HMI secara eksistensi sudah tidak diakui rakyat, bahkan hanya sibuk mengurusi internal dari periodesasi ke periodesasi, yang semuanya tidak menyentuh pada solusi untuk agama dan bangsa, oleh karena itu eksistensi HMI saat ini harus dibubarkan, karena sama sekali jauh dari perjuangan untuk keummatan dan kebangsaan.
Narasi yang dibangun oleh penulis juga memunculkan kalimat persuasif, agar kader HMI berani membubarkan HMI, dan ini berbeda dengan kasus PKI di masa lampau yang mencoba membubarkan HMI, tentu tak layak disamakan, karena PKI adalah eksternal HMI dan mempunyai agenda politik komunis di negeri ini juga ingin membumihanguskan setiap organisasi yang berlandaskan keislaman.
Tapi kini HMI jauh dari nilai-nilai keislaman, siapakah yang mengetahui hal itu, tentu saja kader HMI yang masih punya nilai-nilai idealitas dan hati nurani, bukan HMI-HMI-an, apalagi kanda dan dinda calo..
Begitulah sedikit banyaknya apa yang saya baca, walau sangat banyak refleksi dari setiap paragraf yang disampaikan Abgda Zulfata, tetapi tak cukup tulisan singkat ini menuliskan semuanya, maka untuk kader HMI bacalah karya Mahal dari seorang kader terbaik HMI ini, agar paham bagaimana harusnya ber-HMI.
Salam, Yakusa
Oleh : Januari Riki Efendi, S.Sos
Penulis adalah Founder Ruang Literasi