Obat Bagi Kader HMI

Breaking News

- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Apakah HMI saat ini baik-baik saja? Tentu dengan segala macam diagnosa maka jawabannya; tidak. Enam belas tahun lalu, sejarahwan HMI, Agussalim Sitompul dalam bukunya; 44 Indikator Kemunduran HMI, mengatakan bahwa HMI telah memudar dan mengalami kemunduran. Kepudaran dan kemunduran HMI terjadi memasuki 50 tahun kedua usia HMI, artinya terhitung sejak tahun 1998 sampai tahun 2048 (usia HMI satu abad) nanti. Segala penyakit dan faktornya ia telah tuliskan dalam buku tersebut.

Sepakat atau tidak sepakat dengan apa yang disebutkan oleh Agussalim Sitompul tersebut (sebelum tahun 2048) tentu masih kita tunggu secara realitanya nanti. Akan tetapi, sebelum menuju satu abad HMI, saat ini saja kita telah mengalami kemunduran HMI. 44 indikator Agussalim itu, hampir seratus persen terjadi di tubuh HMI saat ini.

Benar memang, sepanjang perjalanan sejarahnya, HMI memiliki permasalahan. Akbar Tandjung dalam kata pengantar menyambut lahirnya buku Agussalim Sitompul tadi mengatakan bahwa, HMI memiliki permasalahan eksternal dan internal yang kerap cukup kompleks.

Pada era 1960-an, HMI memiliki permasalahan eksternal yang amat sangat menegangkan tatkala berbenturan dengan kekuatan politik Partai Komunis Indonesia (PKI). HMI menjadi bulan-bulanan PKI, dan berusaha untuk membubarkan HMI dengan mempengaruhi Presiden Ir. Soekarno. Sebelum G 30 S/PKI meletus, DN. Aidit selaku petinggi PKI berujar dan beragitasi pada Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (Underbow PKI) dengan mengatakan; “HMI soal kecil, kalau anggota CGMI tidak bisa membubarkan HMI, agar anggota CGMI yang laki-laki baik pakai kain sarung saja.” Akan tetapi, sejarah membuktikan bahwa HMI tidak pernah berhasil dibubarkan oleh PKI dan antek-anteknya. Tentu kita tidak melupakan ada campur tangan usaha dari lembaga-lembaga dan orang-orang yang membela serta membantu HMI.

Di era Orde Baru (Orba), HMI mengalami permasalahan internal yang melelahkan, hingga akhir ini, permasalahan masih membekas dan tampak. Pertama, pada tahun 1986 mengalami perpecahan (dualisme), yaitu adanya HMI DIPO (Sekretariat PB HMI beralamat di Jalan Diponegoro) dan HMI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi). Faktor dualisme tersebut muncul akibat dari perubahan Azas HMI yang semula Islam, berdasarkan kebijakan Presiden Soeharto semua organisasi harus berasaskan Pancasila. Hal ini disebut asas tunggal Pancasila. Alhasil yang tidak terima dirubah menjadi asas tunggal Pancasila, HMI MPO pun berdiri, hingga sampai hari ini tetap ada walau HMI DIPO saat ini sudah berasas Islam kembali.

Akan tetapi, bagi saya saat ini, persimpangan sejarah itu (saya sebut HMI Persimpangan 86), tidaklah menjadi masalah seperti makna masalah tahun-tahun tersebut, atau makna masalah bagi yang belum dapat menerima fakta sejarah itu. Kedua-duanya silahkan berjalan sebagaimana visi-misinya dalam membangun negara dalam konteks keislaman, keindonesiaan dan kemahasiswaan. Apakah itu insan cita dan atau ulil albab, kedua-duanya kita yakini adalah generasi muda Muslim yang mewujudkan peradaban umat/bangsa dan negara tanpa melepaskan diri dari semangat zaman. Permasalahan ini tentu meninggalkan bekas, tapi jadikanlah ini bekas tanda lahir pada wajah; lesung pipi. Tanda itu dapat menjadi pemanis wajah HMI.

Permasalahan selanjutnya di era reformasi, 2 periode kepengurusan PB HMI (DIPO); Periode 2002-2004 dan Periode 2003-2005, mengalami konflik internal. PB HMI mengalami dua kali perpecahan sehingga menimbulkan dualisme kepengurusan. Akbar Tandjung menegaskan bahwa, bagaimana HMI akan mampu dipandang khalayak sebagai organisasi berwibawa dan kuat jika tradisi perpecahan terus menguat? Ia pun menegaskan, bagaimana pun HMI harus tetap eksis dan kuat, sehingga diharapkan mampu memberikan kemaslahatan bagi ummat dan bangsa. Oleh karenanya, tradisi perpecahan di tubuh HMI harus dihentikan.

Harapan Ketua Umum PB HMI Periode 1971-1974 itu hanya bertahan dua periode. Satu dekade terakhir, PB HMI mengalami dualisme kembali, yaitu pada periode 2010-2013 dan periode 2018-2020. Virus dualisme PB HMI itu pun tidak benar-benar dimusnahkan. Ia ibarat virus, awalnya sebagai pandemi, tapi di HMI saat ini sudah menjadi endemi.

Wacana Membubarkan HMI
Soal wacana pembubaran HMI, sudah sering kita bicarakan di lain kesempatan. Tapi tentu masih penting kita sampaikan bahwa hal ini bukanlah sesuatu yang baru. Setidaknya ada tiga kali yang menyatakan bahwa HMI harus dibubarkan, tentu dengan alasan penyebab masing-masing.

Pertama, isu pembubaran itu datang dari eksternal, yaitu dari PKI dan antek-anteknya. Keinginan PKI ingin membubarkan HMI disebabkan karena HMI dapat mengganggu mereka untuk merebut tampuk kekuasaan Republik Indonesia, terlebih-lebihnya soal pertarungan ideologi. PKI tidak pernah menyukai gerakan-gerakan HMI, baik dari segi intelektualitas, penyebaran pemikiran (ideologi) dan sikap kenegaraan HMI.

Kedua, pada tahun 2002, salah satu pentolan tokoh HMI, Nurcholish Madjid (Cak Nur) menyarankan supaya HMI dibubarkan. Alasan Cak Nur HMI perlu dibubarkan tentu berbeda dengan PKI. Alasannya karena ia begitu kasihan dengan kondisi HMI saat itu. Ia melihat HMI mengalami degradasi atau penurunan yang amat sangat, hingga sampai HMI sudah bahan hujatan. Dari pada HMI bahan hujatan, dan praktek kader-kader HMI tidak lagi mencirikan sebagaimana mestinya HMI, maka lebih HMI dibubarkan agar tidak menambahi dosa ke depannya. Saran pembubaran itu langsung ia sampaikan pada sebuah kegiatan forum seminar, kemudian diterbitkan oleh surat kabar Media Indonesia, 14 Juni 2002, halaman 28, kolom 4-6.

Ketiga, kali ini wacana membubarkan HMI datang dari seorang kader HMI yang mempublikasikannya lewat sebuah buku. Awalnya memang dari sebuah artikel yang diterbitkan secara digital, tapi sepertinya itu perlu disebarkan secara cetak agar lebih nyata dan abadi. Penulisnya adalah adalah kader HMI bernama Zulfata. Wacana ketiga ini lah yang menjadi pokok utama tulisan bergenre resensi ini.

“Bubarkan HMI?”
Ide membubarkan HMI oleh Zulfata tidak seprontal PKI dan tidak seserius Cak Nur. Zulfata masih memiliki harapan dengan menuliskan harapannya supaya HMI yang ia pandang saat ini merubah menjadi baik kembali. Gambaran Agussalim Sitompul dan Cak Nur di awal tahun 2000-an tidak berubah, malah lebih parah lagi menurut Zulfata. Kondisi internal HMI saat ini menurut Zulfata seperti dalam film Das Exsperiment. Bahkan ia menegaskan bahwa, “HMI sudah berada di fase Das Exsperiment. Harus segera dibubarkan sebelum banyak manusia teraniaya di sana (hal: 29).

Zulfata juga memandang HMI saat ini telah melumpuhkan akal sehat, menjadi orderan kekuasaan menguasai kebijakan lintah darat, diskusi dan pergerakan kerakyatan berubah drastis menjadi pergerakan gertak sambal. Lebih lanjut ia memandang bahwa HMI saat ini telah menjadi ladang adu domba, lempar batu sembunyi tangan, maling teriak maling. Pada intinya kaderisasi di HMI saat ini sudah seperti film yang ia analogikan. (Hal: 29)

Soal memandang subjek HMI, ia memandang bahwa HMI saat ini sudah tidak lagi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), tidak lagi Harapan Masyarakat Indonesia (HMI) seperti yang diucapkan Jenderal Soedirman. Akan tetapi, varian HMI sudah beragam saat ini; ada Haluan Manusia Iblis (HMI). “Di HMI terdapat senior iblis, kanda iblis hingga dinda iblis. Sederet relasi emosional keiblisan ini terus beraktivitas. Bagi mereka, berperilaku seperti iblis adalah juru selamat. Memberikan jalan pintas dalam berkarir. Tak peduli soal kapasitas, yang penting bersikap layak iblis sudah menjadi realitas (hal: 23).”

Secara aktivitasnya, saat ini sangat sedikit yang benar-benar ber-HMI, akan tetapi lebih banyak ber-HMI-HMI-an. Apa yang dimaksud dengan HMI-HMI-an? Zulfata menerangkan; “Secara sederhana, HMI-HMI-an adalah kebalikan dari HMI, jika HMI memiliki visi keislaman dan keindonesiaan, maka HMI-HMI-an adalah segala aktivitas perjuangan yang mengatasnamakan dirinya HMI atau seolah-olah ingin memperjuangkan visi keislaman, namun pada akhirnya topeng ke-HMI-an tersebut dijadikan sebagai penutup kemunafikan perjuangan (hal: 33).”

Singkatnya, Zulfata melihat HMI saat ini jauh dari keidealan sebagaimana seharusnya HMI, atau bagaimana seharusnya HMI itu dapat maju, berperadaban, memiliki daya penting yang tinggi pada visi-misi HMI, serta memberikan kebermanfaatan pada ummat dan bangsa.

Sehingga, menurut saya, Zulfata tidak ingin benar-benar membubarkan HMI. Narasi membubarkan HMI masih ia beri tanda tanya (?) pada judul buku tersebut. Menurut saya diksi membubarkan HMI harus kita beri tanda petik (“), sebab dan saya yakin HMI yang perlu dibubarkan itu adalah varian Haluan Mahasiswa Iblis (HMI), varian Himpunan Merusak Indonesia (HMI), varian Himpunan Menghancurkan Islam (HMI), ada varian Haluan Merusak Indonesia (HMI) dan ada varian Haluan Menjilat Investor (HMI), serta mereka yang HMI-HMI-an. Sedangkan yang perlu dipertahankan itu; Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)-Lafran Pane, Harapan Masyarakat Indonesia (HMI)-Jenderal Soedirman, Hulu Membenahi Indonesia (HMI)-Zulfata (hal: 57), Harus Mencermati Indonesia (HMI)-Zulfata (hal: 63), dan sederet HMI yang memiliki makna kesejatian HMI. Oh iya, HMI jangan sampai di fase Das Exsperiment.

Untung saja Zulfata tidak memasukkan varian Himpunan Mencari Istri (HMI) dan varian Himpunan Mencari Imam (HMI). Bisa-bisa banyak kader (Anggota dan Alumni) yang “menggebukinya”. Hahahha…

Kita lanjut, Zulfata menyarankan bahwa, HMI saat ini harus mengevaluasi sejauh mana kemahiran praksis kemunafikan yang telah dikemas dalam bungkusan-bungkusan keislaman dan keindonesiaan (hal: 94). Kader HMI jangan pernah merasa puas diri atas apa yang telah dicapai kejayaan HMI selama ini. Sebab HMI itu bersifat kaderisasi, ia membutuhkan proses berkelanjutan (sustainable), perawatan akal nurani, pembelajaran, tidak hanya mampu melihat ke belakang, tetapi juga mampu menciptakan Islam-Indonesia yang benar-benar menjadi negara yang disegani oleh negara-negara lain (hal: 102).

Soal harapan perjuangan politik HMI, Zulfata menegaskan bahwa HMI harus mengedepankan politik ketauhidan, sehingga ia sebut sebagai politik ketauhidan HMI (hal: 11). Menurutnya, saat politik ketauhidan HMI menjadi pendulum, maka tidak ada kekuatan silaturahmi yang membenihi tumbuh suburnya kekuatan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di manapun kader HMI berada. Politik ketauhidan HMI ini senantiasa menjadikan perjuangan HMI sebagai panggilan ilahiah dalam memperjuangkan hak-hak rakyat sebagai warga negara dan terus menerus memperjuangkan hak-hak ummat sebagai ciptaan Allah Swt. (Hal: 116).

Kemudian harapannya identitas HMI benar-benar kembali, seperti munculnya varian HMI yang bernama Himpunan Mengembalikan Identitas (HMI). Dalam hal ini, Zulfata menegaskan HMI harus menegaskan sifat dan sikap kejujuran; HMI yang Jujur (hal: 119). Sepertinya perlu kita tambahi satu varian lagi; Himpunan Mahasiswa Ideal (HMI). Oh boleh juga; Himpunan Menantua Ideal (HMI), hehehe…

Pada bagian akhir, Sekretaris Umum (Sekum) Badan Koordinasi (Badko) HMI Aceh Periode 2018-2020 itu meninggalkan pesan yang tegas untuk diaplikasikan. Ia mengatakan; “Kader HMI harus terus digiring untuk jujur mengatakan kepada praksis yang bathil, dan jujur mengatakan salah pada diri sendiri jika terbukti salah, termasuk harus jujur bagaimana perannya dalam upaya penyelamatan bangsa dan negara dari berbagai strategi yang mengancamnya. Jika tidak ingin sadar terkait itu, mari kita bubarkan HMI.”

Obat Bagi Kader HMI
Membaca buku Zulfata ini; Bubarkan HMI?, semacam mengkonsumsi obat (bukan obat terlarang), rasanya pahit, bahkan sangat pahit. Tapi, sebenarnya ini dapat menjadi obat bagi kader HMI, khususnya bagi HMI secara keseluruhan saat ini.

Buku yang kritis ini benar-benar “menelanjangi” apa yang menjadi kebobrokan HMI saat ini, buku ini kita rasakan lebih kekinian dibandingkan buku Agussalim, akan tetapi masih ada kesamaan pembahasan di dalamnya, tentu dengan argumentasi dan pilihan diksi yang berbeda.

Saya sering mengucapkan kepada teman yang sudah dapat “memeluk” buku ini, bahwa buku ini sangat frontal, bahkan terasa kasar saat membacanya. Akan tetapi, membaca buku ini tidak bisa dengan perasaan demikian. Banyak diksi yang harus kita pahami dari luar teks. Kita tidak boleh hanya fokus pada yang tertulis (tekstual), tapi kita harus melihatnya secara kontekstual, bahkan harus merenungkan apa sebab yang Zulfata tuliskan.

Benar apa yang dikatakan oleh Ketua Umum PB HMI Periode 1976-1978, Chumaidi Syarief Romas, dalam kata pengantar pada buku tersebut. Ia mengatakan bahwa buku Zulfata ini berisi pemikiran kritis yang tajam. Pemikiran kritis dari seorang kader yang telah menjalani kehidupan pribadi dan lahir dari semangat perjuangan yang teguh namun melihat sosok HMI saat ini yang busuk dan buruk, tentunya HMI saat ini maksudnya adalah HMI yang dipertontonkan oleh PB HMI produk Kongres Surabaya tahun 2021 (hal: vii).

Kemudian dari Pembicara NDP HMI (NDPers) MHR. Shikka Songge menanggapi bahwa, hadirnya Zulfata dengan simulasi-simulasi simbolik tentang HMI dalam “Bubarkan HMI?” harus dipandang sebagai suatu hal yang positif, sebagai cara pandang yang korektif di internal HMI. Fenomena yang disampaikan oleh penulis buku (Zulfata) bukan sesuatu yang tidak ada, pasti ada. Kalau pun tidak ada, tidak mungkin HMI waktu Kongres terakhir dapat intervensi oleh kekuasaan (hal: xxi).

Sehingga, saya senada dengan apa yang disebutkan oleh Zulfata dalam pengantarnya bahwa, buku ini dapat merangsang (stimulus) pikiran pembaca untuk memahami kalimat perusak kalimat. Banyak kata yang digunakan memiliki banyak makna ganda, multitafsir, jika dibaca dengan perasaan, kemungkinan akan menyayat hati kader-kader (hal: xxv).

Nah, seperti yang saya sebutkan di atas, kita tidak boleh baper (bawa perasaan) saat membaca buku ini, jika hati kita tidak ingin tersayat kemudian tidak terima fenomena HMI yang dijelaskan Zulfata. Padahal, banyak terbuktikan oleh realitas HMI saat ini, atau beberapa bulan dan tahun yang lalu. Seperti apa yang dijelaskan oleh Zulfata pada Bagian I: Kontroversial HMI pada sub pembahasan “Kongres dan Pasar Gelap”. Serta dibeberapa bagian lagi. Buku ini terdiri dari tiga bagian. Pembaca dapat melihat sendiri di dalam buku tersebut. Tidak ada yang tidak menarik untuk dibaca, semuanya sangat menarik dan menggugah nalar kita.

Walau terasa pahit, tapi ini dapat mengobati penyakit-penyakit akut HMI saat ini. Menjadi obat HMI di masa yang akan datang. Sebagaimana doa harapan Zulfata, dengan lahirnya buku “Bubarkan HMI?” ini dapat memicu kader HMI untuk survive dalam ekosistem seleksi alam, agar tidak menjadi kader varian HMI-HMI-an, agar kader sadar tanggung jawabnya sebagai kader ummat dan kader bangsa.

Apa yang menjadi kekurangan buku ini? Kekurangannya adalah kurang tebal dan terlalu singkat untuk dibaca. Kemudian tentu ada typo, tapi tidak sampai tiga persen.

Kenikmatan dari buku ini adalah dapat menjadi bahan pembicaraan yang serius dan hangat bersama teman ngopi, karena bisa membuat tempat duduk menjadi panas dengan narasi-narasi yang dibangun Zulfata. Bahasanya mudah dipahami, walaupun ada diksi yang harus dimaknai dengan ganda serta mengandung multitafsir. Sehingga, bagi pembaca memiliki ruang dialog dan ruang permenungan di dalamnya.

Berfose sambil ngopi, ngudut dan membaca buku “Bubarkan HMI?” dapat menghasilkan foto yang keren, dibanding foto kita selama ini memegang buku-buku ke-HMI-an. Hehehe…

Selamat menikmati…!!!

Judul: Bubarkan HMI?
Penulis: Zulfata
Penerbit: PT. Bambu Kuning Utama
Tahun terbit: Desember 2021
ISBN: 978-623-7957-15-7

Peresensi: Ibnu Arsib (Pegiat Literasi).

Berita Terkini