Tolak Penulisan Ulang Sejarah Indonesia Yang Bertujuan Mencuci Dosa Rezim Dan Mencari-cari Legitimasi Kekuasaan

Breaking News

- Advertisement -

Mudanews.com Jakarta – Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) hari ini melakukan audiensi dengan Komisi X DPR RI untuk menyampaikan penolakan terhadap proyek ambisius “penulisan sejarah resmi” Indonesia yang saat ini dijalankan oleh Kementerian Kebudayaan.

Aliansi tersebut, yang anggotanya terdiri dari sejarawan, aktivis hak asasi manusia serta tokoh-tokoh dari berbagai disiplin ilmu, menilai program yang digagas oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon tersebut akan menjadi alat legitimasi kekuasaan.

Adapun tokoh-tokoh yang menadatangani penolakan penulisan sejarah resmi pemerintah yang di gagas oleh kementerian kebudayaan sebagai berikut : 1.Marzuki Darusman 2.Hamid Basyaib 3.Andi Widjajanto 4.Rizal Mustary 5.Sandra Moniaga 6.Ruby Kholifah 7.Ika Ardiana 8.Makmur Keliat 9.DR Hariyadi (Unair) 10. Yunarto Wijaya 11. Valentina Sri Wijiyati (warga RI) 12. Feri Amsari 13. Bivitri Susanti (STHI Jentera) 14.Wahyu Susilo (Sejarawan cum Aktivis HAM/Migrant CARE) 15. Setri Yasra 16.Luthfi Ashari.

Penulisan sejarah resmi lewat tangan pemerintah bukan hanya tidak lazim dalam sistem demokrasi, kebijakan tersebut juga berpotensi menghilangkan fakta-fakta sejarah masa lalu khususnya pelanggaran HAM yang melibatkan Presiden Prabowo Subianto dan juga pelanggaran HAM berat lainnya yang dilakukan oleh rezim Orde Baru Soeharto.
“Yang paling berbahaya adalah program ini bisa digunakan untuk mencuci dosa rezim baik yang berjalan saat ini maupun yang terjadi selama masa Orba dimana pelanggaran HAM berat masif terjadi,” kata Ketua AKSI Marzuki Darusman setelah melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi X Senin 19 Mei 2025 di Jakarta.

Penulisan sejarah resmi oleh negara seperti ini hanya lazim terjadi di negara otoriter. Proyek politik pemerintah Indonesia ini mirip dengan langkah Adolf Hitler yang saat itu berupaya menuliskan kembali sejarah Perang Dunia I.

Dalam era demokrasi, contoh teranyar manipulasi sejarah oleh negara terjadi di Korea Selatan. Pada tahun 2015 Presiden Park Geun-hye, yang merupakan anak dari diktator Park Chung-hee, berupaya untuk menulis ulang buku sejarah. Namun, gerakan penolakan yang masif dari masyarakat berhasil menggagalkan upaya manipulasi sejarah tersebut.
“Ini yang sedang kami lakukan di Indonesia, menolak erosi demokrasi lewat penggelapan sejarah yang sedang dilakukan oleh pemerintah. Hanya rezim berkarakter otoriter yang mencoba menuliskan ulang sejarah dengan label ‘sejarah resmi’,” tambah Marzuki.

Bukan monumen Tunggal
Proyek ambisius penulisan ‘sejarah resmi’ Indonesia oleh Kementerian Kebudayaan ini juga tidak memenuhi kaidah sebagai suatu produksi ilmu pengetahuan sejarah. Proyek ini hanya menghasilkan penggelapan sejarah bangsa.

Penyebarluasannya akan berdampak luas bagi kesalahan berpikir generasi muda dan akan merugikan kelanjutan kehidupan berbangsa dan bernegara ke depan,” kata sejarawan Asvi Warman Adam.
“Sejarah bukanlah monumen tunggal yang bisa dipahat oleh satu kekuasaan, dihasilkan dari suatu proyek politik, yang diragukan akuntabilitas dan kredibilitas metodenya,” kata Asvi yang juga merupakan anggota AKSI.

Lebih baik pemerintahan fokus untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang jumlahnya ada 12 agar tercipta sejarah baru yang menjadi rujukan publik.
“Proses pembentukan sejarah lewat kebijakan negara melawan impunitas dengan menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM lebih baik ketimbang melakukan penggelapan sejarah lewat proyek politik penulisan ulang sejarah,” tambah Asvi.

Teks multitafsir
Sejarah dunia dan sejarah Indonesia telah menunjukkan bahwa sejarah adalah teks yang multitafsir, tidak tunggal apalagi dimonopoli oleh negara.
Bunyi sejarah seperti apa akan sangat tergantung pada siapa yang membuat, menafsir, dan untuk kepentingan apa, kata Kepala Lab45 Jaleswari Pramodhawardani yang juga merupakan anggota AKSI.

“Hanya di negara otoriter yang pemerintahnya merasa mendapat mandat dari seluruh bangsa untuk merekonstruksi sejarah sesuai dengan kepentingan kekuasaannya, melalui suatu proyek birokratis,” kata Jaleswari.
Sejarah seharusnya merupakan teks akademik yang lahir dari sekumpulan narasi ideografis tentang berbagai peristiwa, orang, gagasan pemikiran, hukum, dan berbagai produk kebudayaan seperti sains, teknologi, dan kesenian.
Narasi sejarah dirumuskan, direfleksi melalui penafsiran, dengan tujuan mulia, sebagai bahan ilmu pengetahuan, dan penyampaian pesan pembelajaran bagi generasi yang datang silih berganti.

“Penulisan ulang sejarah ini rentan terhadap tujuan dan tafsir politik untuk kekuasaan dan jika disebarluaskan sebagai suatu ideologi tunggal bertujuan mencuci otak masyarakat untuk mendukung kekuasaan,” tambah Jaleswari.

Sejarah Resmi
Penggunaan istilah ‘resmi’ dalam terminologi ‘sejarah resmi’ merupakan suatu anakronisme yang menandai kemunduran intelektual dalam suatu negara demokrasi.
Dalam alam demokrasi tidak ada ‘kebenaran’ sejarah yang dimonopoli oleh negara kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid yang juga merupakan anggota AKSI.“Sejarah adalah milik publik termasuk para korban pelanggaran HAM. Mereka berhak untuk mencari, menafsirkan dan memaknainya secara merdeka tanpa campur tangan negara,” kata Usman.

Label ‘sejarah resmi’ hanya akan melahirkan ideologi dogmatisme dan menutup pintu bagi interpretasi yang beragam dan dinamis di masyarakat.
Penulisan ulang sejarah oleh negara merupakan upaya rekonstruksi dengan tujuan kultus individu dan glorifikasi masa lalu yang berlebihan. Kebijakan semacam ini berpotensi menghilangkan peristiwa dan ketokohan yang tidak cocok dengan kepentingan kekuasaan.
“Tindakan semacam ini adalah manipulasi sejarah. Betapapun gelapnya sejarah, ia harus tetap ditulis meski berdampak terhadap tragedi kemanusiaan dan mengungkapkan kesalahan kebijakan negara di masa lalu,” tambah Usman.

Pengungkapan sejarah, bukan penulisan ulang sejarah, bertujuan agar generasi muda dapat belajar dan tidak mengulangi masa gelap bangsa yang terjadi di masa lalu.
Indonesia harus belajar dari peradaban negara-negara lain yang membangun memorialisasi sejarah kelamnya, mengajarkan generasi mudanya untuk tidak mengulangi kesalahan generasi sebelumnya, dan berani mengakui kesalahan: “mea culpa…mea culpa”, demi kemajuan di masa depan.

Memaksakan satu tafsir tunggal adalah tindakan totaliter yang mengingkari pluralitas pengalaman dan ingatan kolektif bangsa ini.
“Ini adalah upaya reduksi yang berbahaya, yang berpotensi mengebiri kebebasan berpikir dan mengumpulkan daya kritis generasi mendatang. Penulisan ulang sejarah dan melabelinya sejarah ‘resmi’ adalah kebijakan otoriter yang dilakukan negara untuk melegitimasi kekuasaan. Program ini harus segera dihentikan,” tutup Usman.***(Red)

Berita Terkini