Opoini oleh: Drs. Muhammad Bardansyah Ch, Cht
Mudanews.com-Opini | Tulisan ini saya buat seminggu sebelum pertandingan Indonesia vs Australia pada 20 Maret 2025. Sebagai pencinta Timnas sekaligus warga negara Indonesia, tentu saya berharap Indonesia setidaknya bisa mencuri poin. Namun, yang membedakan saya dari sebagian besar pendukung fanatik adalah sikap saya yang lebih realistis (setidaknya menurut saya sendiri).
Realistis dalam konteks ini berarti memahami bahwa meskipun Indonesia memiliki kedalaman skuad, tim baru bisa berkumpul efektif hanya dua hari sebelum pertandingan, dengan pelatih yang semuanya baru. Kondisi ini jelas membutuhkan usaha ekstra.
Hasilnya, Timnas kalah. Namun, dari segi permainan, saya tidak terlalu kecewa. Timnas menunjukkan performa menjanjikan dan hanya membutuhkan waktu untuk berkembang. Semoga melawan Bahrain dan China nanti, Timnas bisa meraih kemenangan.
Namun, kali ini saya tidak ingin membahas permainan Timnas. Yang membuat saya “gregetan” adalah perilaku netizen di media sosial. Setelah menonton beberapa tayangan YouTube dari kanal-kanal yang membahas Timnas, saya melihat fenomena yang menarik untuk dianalisis dari sisi psikologis.
Overconfidence dan Hubungannya dengan Tingkat Pendidikan
Rasa percaya diri berlebihan (overconfidence bias) sering dikaitkan dengan Efek Dunning-Kruger, di mana individu dengan kompetensi rendah cenderung melebih-lebihkan kemampuan diri atau situasi (Kruger & Dunning, 1999). Dalam konteks netizen Indonesia, fenomena ini terlihat dari komentar bombastis mengenai Timnas tanpa dukungan data objektif. Misalnya, klaim “Timnas Indonesia terhebat di Asia” meskipun ranking FIFA menunjukkan sebaliknya.
Tingkat pendidikan dapat berpengaruh dalam hal ini. Penelitian menunjukkan bahwa individu dengan pemahaman kritis terbatas—sering dikaitkan dengan literasi rendah—lebih rentan mengabaikan analisis berbasis data (Pennycook & Rand, 2019). Kesenjangan pendidikan di Indonesia (Haryanto & Suryadarma, 2017) berkontribusi terhadap maraknya narasi hiperbolis di media sosial, karena kurangnya kemampuan mengevaluasi informasi secara objektif.
Sikap Ekstrem: Memuji hingga Menghina
Perilaku yang cepat berubah dari pujian menjadi hinaan saat ekspektasi tidak terpenuhi dapat dijelaskan melalui teori disonansi kognitif (Festinger, 1957). Netizen yang awalnya membanggakan Timnas membangun ekspektasi tidak realistis. Ketika realitas tak sesuai, mereka mengubah sikap secara drastis untuk mengurangi ketidaknyamanan psikologis.
Perilaku ini juga dipengaruhi oleh budaya kepentingan identitas kelompok (Tajfel & Turner, 1979). Dukungan terhadap Timnas bukan sekadar apresiasi olahraga, melainkan juga upaya membangun superioritas nasional. Ketika tim gagal, netizen cenderung mencari “kambing hitam”—baik itu pelatih, pemain, atau bahkan bangsa lain—sebagai mekanisme mempertahankan harga diri kolektif.
Narasi Provokatif dan Kebiasaan Menghina Bangsa Lain
Kecenderungan menghina bangsa lain—misalnya dalam komentar merendahkan Timnas Malaysia atau Thailand—mencerminkan bias in-group vs. out-group. Menurut Social Identity Theory, individu cenderung memuji kelompok sendiri sambil merendahkan kelompok luar untuk meningkatkan harga diri (Tajfel, 1979).
Di media sosial, fenomena ini sering dimanfaatkan untuk menciptakan konten sensasional yang memicu keterlibatan (engagement), seperti meme atau hoaks yang menjelekkan negara saingan. Contohnya, postingan viral yang membandingkan “kehebatan” Timnas Indonesia dengan “kegagalan” negara ASEAN lain, meskipun data statistik tidak mendukung klaim tersebut.
Media Sosial sebagai Amplifikasi Kontraproduktif
Platform seperti Twitter dan TikTok memperkuat sikap overconfidence dan provokasi melalui algoritma yang mendorong konten emosional (Sunstein, 2017). Postingan semacam “#GarudaDiDadaku Juara Piala Dunia” sering viral meskipun tidak berbasis realitas, karena memanfaatkan euforia nasionalisme.
Masyarakat dengan literasi digital rendah cenderung menerima narasi ini tanpa verifikasi, sehingga tercipta echo chamber yang memperkuat bias dan misinformasi (Guess et al., 2018).
Studi Kasus: Netizen Indonesia dan Timnas Indonesia
Pada Piala Asia 2023, netizen ramai memuji Egy Maulana Vikri sebagai “Messi-nya Asia”. Namun, setelah Timnas kalah dari Jepang (1-3), komentar berubah menjadi hinaan: “Egy payah, mending pensiun!”
Padahal, jika melihat peringkat FIFA (Indonesia 146 vs. Jepang 17), kekalahan itu sudah diprediksi. Fenomena ini menunjukkan rendahnya pemahaman terhadap olahraga berbasis data dan kecenderungan masyarakat untuk mencari validasi instan di media sosial.
Teori Pengalihan Isu (Distraction Theory) dan “Wag the Dog”
Konsep Wag the Dog (film tahun 1997) menggambarkan bagaimana isu tertentu—misalnya olahraga—sengaja diangkat untuk menutupi skandal politik atau krisis domestik (Rich, 1997).
Di Brasil (Piala Dunia 2014) dan Rusia (Piala Dunia 2018), pemerintah memanfaatkan momentum olahraga untuk meningkatkan popularitas di tengah protes masyarakat (Grix & Brannagan, 2016). Di Indonesia, isu seperti kenaikan harga BBM atau RUU kontroversial sering kali tertutupi oleh viralitas konten Timnas.
Astroturfing dan Manipulasi Opini di Media Sosial
Astroturfing merujuk pada upaya sistematis untuk menciptakan ilusi konsensus publik melalui akun bot atau buzzer (Lukito, 2021).
Di Filipina, rezim Duterte menggunakan buzzer untuk membanjiri media sosial dengan konten pro-pemerintah dan menenggelamkan kritik (Ong & Cabañes, 2018). Jika pola serupa terjadi di Indonesia, viralnya konten Timnas bisa menjadi bagian dari strategi pengalihan isu yang lebih besar.
Peran Algoritma dan Kapitalisme Perhatian
Platform media sosial dirancang untuk memprioritaskan konten yang memicu emosi tinggi (Marwick & Lewis, 2017). Akibatnya, masyarakat terjebak dalam siklus euforia dan kemarahan yang menguntungkan pihak tertentu:
Pemerintah: Mengalihkan perhatian publik dari kegagalan kebijakan.
Pemilik platform: Meraup keuntungan dari iklan dan traffic.
Aktor politik: Membangun citra sebagai “pahlawan nasionalis”.
Kesimpulan: Realisme dalam Mendukung Timnas
Akhirnya, tentu kita semua berharap Timnas bisa lolos ke Piala Dunia, baik langsung maupun melalui kualifikasi. Namun, penting untuk tetap realistis dan tidak berlebihan dalam berkomentar.
Ekspektasi yang terlalu tinggi justru dapat menjadi beban bagi skuad Timnas. Selain itu, kita harus membiasakan diri untuk mengandalkan informasi berbasis data agar tidak mudah terperangkap dalam narasi manipulatif.**(RED)
Daftar Referensi
Dunning, D., & Kruger, J. (1999). Unskilled and unaware of it: How difficulties in recognizing one’s own incompetence lead to inflated self-assessments. Journal of Personality and Social Psychology, 77(6), 1121–1134.
Festinger, L. (1957). A theory of cognitive dissonance. Stanford University Press.
Guess, A. M., Nyhan, B., & Reifler, J. (2018). Selective exposure to misinformation: Evidence from the consumption of fake news during the 2016 U.S. presidential campaign. European Research Council, 9(3), 1-15.
Haryanto, B., & Suryadarma, D. (2017). The effects of school quality on student outcomes in Indonesia. Education Economics, 25(6), 589-602.
Pennycook, G., & Rand, D. G. (2019). Fighting misinformation on social media using crowdsourced judgments of news source quality. Proceedings of the National Academy of Sciences, 116(7), 2521–2526.
Sunstein, C. R. (2017). #Republic: Divided democracy in the age of social media. Princeton University Press.
Tajfel, H., & Turner, J. C. (1979). An integrative theory of intergroup conflict. In W. G. Austin & S. Worchel (Eds.), The social psychology of intergroup relations (pp. 33–47). Brooks/Cole.
Chomsky, N., & Herman, E. S. (1988). Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media. Pantheon Books.
Grix, J., & Brannagan, P. M. (2016). Of mechanisms and myths: Conceptualising states’ “soft power” strategies through sports mega-events. Diplomacy & Statecraft, 27(2), 251–272.
Lukito, Y. (2021). Astroturfing, disinformation, and democratization in Indonesia. Journal of East Asian Studies, 21(3), 451–472.
Marwick, A., & Lewis, R. (2017). Media manipulation and disinformation online. Data & Society Research Institute.
Ong, J. C., & Cabañes, J. V. (2018). Architects of networked disinformation: Behind the scenes of troll accounts and fake news production in the Philippines. Newton Tech4Dev Network.
Rich, F. (1997). Journal: Wag the Dog. The New York Times.