Indonesia Butuh Pejabat Beretika Ketimbang Sekadar Berlindung ‘Tidak Melanggar Hukum’

Breaking News

- Advertisement -

 

Oleh: Agung Wibawanto

Dulu saat kuliah hukum politik, saya sempat berdebat dengan seorang dosen tentang perlu tidaknya seorang pejabat mundur ketika berperkara hukum.

Pejabat negara diduga melakukan pelanggaran namun belum menjadi tersangka, alih-alih putusan bersalah yang inkrah dari hakim. Apakah ia harus mundur, atau diberhentikan setelah turun vonis yang menyatakan dia bersalah?

Saya mengatakan bahwa hukum terikat pada asas praduga tak bersalah. Seseorang tidak dapat dikatakan bersalah sebelum dinyatakan bersalah oleh pengadilan.

Namun dosen saya mengingatkan bahwa hukum dibuat di atas pondasi yang bernama etika. Hukum dibutuhkan atau berfungsi jika norma etik tidak berjalan. Saya dibuat bingung memisahkan terminologi hukum dan etik.

Karena bagi saya norma (etik) adalah aturan yang tidak berwujud dan hanya ada di dalam hati dan pikiran manusia. Etika berbeda dengan hukum yang bersifat jelas dan langsung. Obyeknya jelas juga subyeknya jelas serta sanksinya jelas.

Sedangkan etik bagi saya mengawang-awang. Pikir saya waktu itu, norma etik seperti itu percuma saja karena tidak mungkin ada orang yang mau mematuhi norma.

Dalam kehidupan atau pergaulan sehari-hari, kita sering mendapat pelajaran soal etika, banyak sekali. Diantaranya, hormat kepada yang lebih tua, menjenguk jika ada yang sakit, menolong jika ada yang kesusahan, berkunjung saat lebaran dan sebagainya.

Dalam Islam, ini semacam sunnah, tapi sunnah yang diwajibkan. Bahkan bagi sebagian kalangan utama menempatkan nya lebih tinggi dari yang wajib.

Dasarnya adalah, jika yang tidak wajib saja tidak bisa kamu lakukan, bagaimana mungkin mau melaksanakan yang wajib? Seorang muslim akan percuma ibadah setiap hari lima waktu namun pergaulannya tidak baik dengan sesama.

Itu, dulu, pernah disampaikan guru ngaji saya. Jadi, belajarlah lakukan yang sunnah dulu, barulah kamu bisa melaksanakan yang wajib. Bukan berarti sunnah lebih utama dari wajib.

Hal ini untuk mengukur sampai sejauh mana seseorang itu mencapai pada sifat taqwa dan iman? Iman dan taqwa tidak sekadar menjalankan ibadah sholat lima waktu, tapi juga segala adab dalam pergaulan sehari-hari sesuai yang tuntunan Nabi Muhammad SAW.

Jika norma (yang hukumnya sunnah tadi) dapat diterapkan dan menjadi landasan ataupun pondasi hati pikiran kita, maka insyallah kita akan mematuhi segala yang wajib (hukum positif).

Seorang sahabat nabi pernah mengatakan atau curhat kepada Muhammad SAW, “Ya Muahmmad, saya seorang ahli ibadah. Sholat wajib tidak pernah terlewat sekalipun. Begitupun dengan puasa.

Tapi mengapa hidup saya tidak penuh berkah dari Allah SWT?” Nabi menjelaskan, Adam diturunkan ke bumi bukan hanya untuk menyembah kepada Allah SWT, melainkan juga mengabarkan berita baik dan saling menyayangi dengan sesama.

“Jika hanya beribadah menyembah Allah, Dia Yang Maha Kuasa tidak perlu mengirim Adam ke bumi. Allah bisa saja membiarkan Adam dan Hawa tetap berada di sorga,” cerita ustadz saya.

Jadi kembali kepada etika dan hukum, kini saya menyadari betapa etika itu jauh lebih penting daripada kita sekadar mematuhi hukum dan tidak melanggar hukum. Etika itu adalah kesadaran hukum. Etika adalah penjaga dan pengawal kita terhindar dari perkara hukum.

Ini memang sulit diterjemahkan apalagi dipraktikkan. Dengan begitu banyak orang yang mengabaikan. Jika saya tidak mengunjungi tetangga yang sakit memangnya kenapa?

Apa ada hukumnya saya harus atau wajib menjenguk? Apa saya mendapat sanksi hukum atasnya? Karena etika tidak memiliki sanksi yang bersifat langsung dan jelas, menyebabkan banyak orang memandang remeh.

Jika kita kerap abaikan etika, maka kita memiliki kecenderungan mudah melanggar hukum. Sebaliknya jika etika kita kuat, maka kita tidak mudah goyah untuk melanggar hukum. Itu disebut pula dengan integritas.

Jujur pada diri sendiri dan penuh tanggungjawab. Kisah mundur memang tengah viral. Tidak hanya dalam dunia politik bahkan juga di dunia olahraga, khususnya sepak bola. Ada perdebatan soal etika dan hukum di pemerintahan Jokowi.

Sebaiknya menteri mundur atau tidak saat berkampanye pilpres? UU nya menyatakan boleh tidak perlu mundur, sebaliknya etika politik mengatur soal konflik kepentingan dan kecenderungan abuse of power jika pejabat tidak mundur saat berkampanye.

Mahfud MD sebagai cawapres berniat mundur agar tidak bermasalah nantinya. Sri Mulyani mengajak dan himbau tetap menjaga netralitas tidak memihak, meski Sri Mulyani tidak menjadi peserta pemilu.

Hal ini berbeda dengan menteri lain seperti Prabowo, Airlangga Hartarto, Zulhas, Bahlil dan Budi Arie, yang tidak mundur tapi juga memihak (tidak netral) karena dianggap tidak melanggar hukum.

Sementara Jurgen Klopp dan Xavi Hernandez jauh beradab, karena merasa tidak mampu mengangkat tim lagi, mereka memilih mundur di akhir musim nanti. Begitupun Boris Johnson dan Mario Draghi berani memilih mundur sebagai PM Inggris dan PM Italia.

Berita Terkini