𝐌𝐚𝐬𝐚 𝐃𝐞𝐩𝐚𝐧 𝐆𝐞𝐨𝐩𝐨𝐥𝐢𝐭𝐢𝐤 𝐀𝐬𝐢𝐚 𝐓𝐞𝐧𝐠𝐠𝐚𝐫𝐚 𝐏𝐚𝐬𝐜𝐚 𝐊𝐨𝐧𝐟𝐥𝐢𝐤 𝐓𝐡𝐚𝐢𝐥𝐚𝐧𝐝–𝐊𝐚𝐦𝐛𝐨𝐣𝐚 𝐉𝐮𝐥𝐢 𝟐𝟎𝟐𝟓:

Breaking News
- Advertisement -

Antara Retakan Regional dan Perebutan Hegemoni Global

Oleh : Drss. Muhammad Bardansyah. Ch,Cht

Mudanews.com-OPINI |
𝗔𝗯𝘀𝘁𝗿𝗮𝗸

Konflik perbatasan yang kembali pecah antara Thailand dan Kamboja pada Juli 2025 menandai pergeseran penting dalam konstelasi geopolitik Asia Tenggara.

Di balik sengketa teritorial ini, berlangsung intensifikasi kompetisi tiga kekuatan besar, Amerika Serikat, Tiongkok, dan Rusia, yang memanfaatkan celah regional ASEAN demi memperluas pengaruh masing-masing.

Tulisan ini menganalisis dinamika konflik berdasarkan akar historisnya, keterlibatan kekuatan global, serta mengelaborasi masa depan geostrategis Asia Tenggara berdasarkan teori geopolitik dan keamanan internasional.

𝟏. 𝐒𝐞𝐣𝐚𝐫𝐚𝐡 𝐊𝐨𝐧𝐟𝐥𝐢𝐤 𝐓𝐡𝐚𝐢𝐥𝐚𝐧𝐝–𝐊𝐚𝐦𝐛𝐨𝐣𝐚: 𝐀𝐤𝐚𝐫 𝐇𝐢𝐬𝐭𝐨𝐫𝐢𝐬 𝐝𝐚𝐧 𝐏𝐞𝐫𝐩𝐞𝐭𝐮𝐚𝐬𝐢 𝐍𝐚𝐬𝐢𝐨𝐧𝐚𝐥𝐢𝐬𝐦𝐞

𝐀. 𝐖𝐚𝐫𝐢𝐬𝐚𝐧 𝐊𝐨𝐥𝐨𝐧𝐢𝐚𝐥 𝐝𝐚𝐧 𝐀𝐦𝐛𝐢𝐠𝐮𝐢𝐭𝐚𝐬 𝐏𝐞𝐫𝐛𝐚𝐭𝐚𝐬𝐚𝐧

Sengketa wilayah antara Thailand dan Kamboja berakar dari peta kolonial yang disusun secara ambigu oleh pemerintahan kolonial Perancis dan kerajaan Siam dalam Perjanjian 1904 dan 1907.

Kompleks Candi Preah Vihear menjadi simbol dari warisan ambiguitas ini. Meskipun Mahkamah Internasional (ICJ) pada 1962 menyatakan candi tersebut sebagai bagian dari Kamboja, perbedaan penafsiran mengenai wilayah sekitarnya tetap menjadi sumber ketegangan (St. John, 2010).

𝐁. 𝐍𝐚𝐬𝐢𝐨𝐧𝐚𝐥𝐢𝐬𝐦𝐞 𝐒𝐞𝐛𝐚𝐠𝐚𝐢 𝐀𝐥𝐚𝐭 𝐏𝐨𝐥𝐢𝐭𝐢𝐤

Baik elit militer Thailand maupun pemerintahan Kamboja kerap menggunakan isu perbatasan sebagai instrumen mobilisasi politik domestik.

David McCargo (2020) mencatat bahwa militer Thailand sering mengeksploitasi konflik eksternal untuk memperkuat kontrol internal pasca-kudeta.

Sementara itu, Hun Manith, sebagai penerus dinasti politik Hun Sen, memperkuat legitimasinya dengan narasi nasionalisme anti-asing (Strangio, 2024).

𝟐. 𝐊𝐞𝐭𝐞𝐫𝐥𝐢𝐛𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐤𝐮𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐆𝐥𝐨𝐛𝐚𝐥: 𝐏𝐞𝐫𝐦𝐚𝐢𝐧𝐚𝐧 𝐂𝐚𝐭𝐮𝐫 𝐝𝐢 𝐀𝐬𝐢𝐚 𝐓𝐞𝐧𝐠𝐠𝐚𝐫𝐚

𝐀. 𝐀𝐦𝐞𝐫𝐢𝐤𝐚 𝐒𝐞𝐫𝐢𝐤𝐚𝐭: 𝐒𝐭𝐫𝐚𝐭𝐞𝐠𝐢 𝐊𝐞𝐬𝐞𝐢𝐦𝐛𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐤𝐮𝐚𝐭𝐚𝐧.

Amerika Serikat tetap mempertahankan aliansi militer dengan Thailand melalui penjualan senjata dan latihan militer bilateral seperti Cobra Gold.

Di balik dukungan ini, Washington berupaya menghalangi ekspansi strategis Tiongkok di daratan Asia Tenggara. Menurut Michael Green (2023), AS melihat Thailand sebagai linchpin dalam strategi Indo-Pasifik untuk mempertahankan keseimbangan kekuatan di kawasan.

𝐁. 𝐓𝐢𝐨𝐧𝐠𝐤𝐨𝐤: 𝐏𝐫𝐨𝐱𝐲 𝐌𝐞𝐥𝐚𝐥𝐮𝐢 𝐄𝐤𝐨𝐧𝐨𝐦𝐢 𝐝𝐚𝐧 𝐌𝐢𝐥𝐢𝐭𝐞𝐫.

Tiongkok semakin dalam menancapkan pengaruh di Kamboja melalui proyek-proyek Belt and Road Initiative (BRI), termasuk pembangunan pelabuhan dan infrastruktur strategis di Koh Kong dan Phnom Penh–Preah Vihear (Chen, 2024).

Dalam konteks militer, donasi persenjataan seperti drone Wing Loong dan kendaraan lapis baja menunjukkan orientasi Kamboja sebagai “client state” Beijing.

𝐂. 𝐑𝐮𝐬𝐢𝐚: 𝐏𝐞𝐦𝐚𝐢𝐧 𝐒𝐞𝐤𝐮𝐧𝐝𝐞𝐫 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐌𝐨𝐭𝐢𝐟 𝐄𝐧𝐞𝐫𝐠𝐢 𝐝𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐚𝐦𝐚𝐧𝐚𝐧.

Meski tidak seagresif AS atau Tiongkok, Rusia memanfaatkan konflik dengan menawarkan solusi teknologi pertahanan, menjual helikopter Mi-17 ke Thailand dan sistem rudal ke Kamboja (SIPRI, 2024).

Lebih jauh, keterlibatan Gazprom dalam eksplorasi energi di Teluk Thailand menegaskan pendekatan geopolitik berbasis energi Rusia di Asia Tenggara (Smith, 2023).

𝟑. 𝐈𝐦𝐩𝐥𝐢𝐤𝐚𝐬𝐢 𝐒𝐭𝐫𝐚𝐭𝐞𝐠𝐢𝐬: 𝐀𝐒𝐄𝐀𝐍 𝐝𝐢 𝐏𝐞𝐫𝐬𝐢𝐦𝐩𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐉𝐚𝐥𝐚𝐧

𝐀. 𝐏𝐚𝐧𝐝𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐏𝐚𝐫𝐚 𝐏𝐚𝐤𝐚𝐫

– Amitav Acharya (2024):“ASEAN Way gagal sebagai arsitektur perdamaian karena tidak menyediakan mekanisme penyelesaian konflik yang mengikat.”

– Ian Storey (2025): “Kamboja berfungsi sebagai proksi Tiongkok, sedangkan Thailand masih menjadi medan tarik-menarik pengaruh antara AS dan Tiongkok.”

– Thitinan Pongsudhirak (2024): “Konflik ini memperlihatkan tekanan ganda terhadap elit Thailand: loyalitas strategis ke AS, tetapi ketergantungan ekonomi pada Tiongkok.”

𝐁. 𝐏𝐞𝐫𝐬𝐩𝐞𝐤𝐭𝐢𝐟 𝐓𝐞𝐨𝐫𝐢 𝐇𝐮𝐛𝐮𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐈𝐧𝐭𝐞𝐫𝐧𝐚𝐬𝐢𝐨𝐧𝐚𝐥

Konflik ini dapat dijelaskan melalui dua pendekatan utama:

– Neorealisme (Waltz, 1979): Negara-negara ASEAN bertindak dalam sistem anarkis, mencari keamanan melalui aliansi eksternal.

– Teori Keamanan Kompleks (Buzan & Wæver, 2003): Asia Tenggara merupakan regional security complex yang saling terhubung, sehingga konflik bilateral dapat berdampak sistemik.

5.𝐌𝐚𝐬𝐚 𝐃𝐞𝐩𝐚𝐧 𝐆𝐞𝐨𝐩𝐨𝐥𝐢𝐭𝐢𝐤 𝐝𝐚𝐧 𝐆𝐞𝐨𝐬𝐭𝐫𝐚𝐠𝐢𝐬 𝐀𝐬𝐢𝐚 𝐓𝐞𝐧𝐠𝐠𝐚𝐫𝐚 𝐏𝐚𝐬𝐜𝐚 𝐊𝐨𝐧𝐟𝐥𝐢𝐤 𝐉𝐮𝐥𝐢 𝟐𝟎𝟐𝟓

𝐀. 𝐏𝐨𝐥𝐚𝐫𝐢𝐬𝐚𝐬𝐢 𝐑𝐞𝐠𝐢𝐨𝐧𝐚𝐥.

Konflik Thailand–Kamboja mempercepat proses polarisasi internal ASEAN, memisahkan negara-negara “pro-Beijing” (Kamboja, Laos, Myanmar) dan “pro-Washington” (Thailand, Filipina, Vietnam).

Hal ini mengancam solidaritas ASEAN dan memperlemah efektivitas dalam menghadapi isu regional seperti Laut Cina Selatan.

𝐁. 𝐀𝐧𝐜𝐚𝐦𝐚𝐧 𝐅𝐫𝐚𝐠𝐦𝐞𝐧𝐭𝐚𝐬𝐢 𝐀𝐒𝐄𝐀𝐍

Kemungkinan munculnya dua kutub dalam ASEAN—satu condong ke Tiongkok, satu lagi ke Barat—menguat.

Ini mengingatkan pada analisis Donald Weatherbee (2014) bahwa “ASEAN tidak hanya diuji oleh kekuatan luar, tetapi oleh loyalitas anggotanya sendiri.”

𝐂. 𝐏𝐞𝐥𝐮𝐚𝐧𝐠 𝐑𝐞𝐟𝐨𝐫𝐦𝐚𝐬𝐢.

Krisis ini dapat menjadi momentum untuk:

– Membentuk mekanisme resolusi konflik berbasis hukum internasional di bawah ASEAN Charter.

– Meningkatkan transparansi proyek-proyek infrastruktur lintas batas.

– Mengembangkan kerja sama pertahanan multilateral ASEAN yang tidak bergantung pada kekuatan eksternal.

𝐊𝐞𝐬𝐢𝐦𝐩𝐮𝐥𝐚𝐧: 𝐌𝐞𝐧𝐮𝐣𝐮 𝐀𝐒𝐄𝐀𝐍 𝟐.𝟎 𝐚𝐭𝐚𝐮 𝐀𝐒𝐄𝐀𝐍 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐓𝐞𝐫𝐩𝐞𝐜𝐚𝐡?

Konflik Thailand–Kamboja Juli 2025 bukan sekadar sengketa perbatasan, tetapi juga refleksi dari perubahan struktur kekuatan di Asia Tenggara.

Ketegangan ini membuktikan bahwa kohesi ASEAN tidak bisa lagi bergantung pada norma konsensus semata. Jika ASEAN ingin tetap relevan dalam era multipolar ini, reformasi institusional, penegakan netralitas, dan pengurangan ketergantungan pada kekuatan besar adalah keniscayaan.

𝗗𝗮𝗳𝘁𝗮𝗿 𝗣𝘂𝘀𝘁𝗮𝗸𝗮

1. 𝘈𝘤𝘩𝘢𝘳𝘺𝘢, 𝘈. (2011). 𝘊𝘰𝘯𝘴𝘵𝘳𝘶𝘤𝘵𝘪𝘯𝘨 𝘢 𝘚𝘦𝘤𝘶𝘳𝘪𝘵𝘺 𝘊𝘰𝘮𝘮𝘶𝘯𝘪𝘵𝘺 𝘪𝘯 𝘚𝘰𝘶𝘵𝘩𝘦𝘢𝘴𝘵 𝘈𝘴𝘪𝘢: 𝘈𝘚𝘌𝘈𝘕 𝘢𝘯𝘥 𝘵𝘩𝘦 𝘗𝘳𝘰𝘣𝘭𝘦𝘮 𝘰𝘧 𝘙𝘦𝘨𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭 𝘖𝘳𝘥𝘦𝘳. 𝘙𝘰𝘶𝘵𝘭𝘦𝘥𝘨𝘦.

2. 𝘈𝘤𝘩𝘢𝘳𝘺𝘢, 𝘈. (2024). 𝘈𝘚𝘌𝘈𝘕 𝘢𝘯𝘥 𝘵𝘩𝘦 𝘊𝘳𝘪𝘴𝘪𝘴 𝘰𝘧 𝘕𝘰𝘳𝘮𝘢𝘵𝘪𝘷𝘦 𝘊𝘰𝘩𝘦𝘴𝘪𝘰𝘯. 𝘐𝘯𝘵𝘦𝘳𝘯𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭 𝘈𝘧𝘧𝘢𝘪𝘳𝘴 𝘙𝘦𝘷𝘪𝘦𝘸, 32(2), 112-130.

3. 𝘉𝘶𝘻𝘢𝘯, 𝘉., & 𝘞æ𝘷𝘦𝘳, 𝘖. (2003). 𝘙𝘦𝘨𝘪𝘰𝘯𝘴 𝘢𝘯𝘥 𝘗𝘰𝘸𝘦𝘳𝘴: 𝘛𝘩𝘦 𝘚𝘵𝘳𝘶𝘤𝘵𝘶𝘳𝘦 𝘰𝘧 𝘐𝘯𝘵𝘦𝘳𝘯𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭 𝘚𝘦𝘤𝘶𝘳𝘪𝘵𝘺. 𝘊𝘢𝘮𝘣𝘳𝘪𝘥𝘨𝘦 𝘜𝘯𝘪𝘷𝘦𝘳𝘴𝘪𝘵𝘺 𝘗𝘳𝘦𝘴𝘴.

4. 𝘊𝘩𝘦𝘯, 𝘟. (2024). 𝘊𝘩𝘪𝘯𝘢’𝘴 𝘉𝘙𝘐 𝘪𝘯 𝘊𝘢𝘮𝘣𝘰𝘥𝘪𝘢: 𝘚𝘵𝘳𝘢𝘵𝘦𝘨𝘪𝘤 𝘎𝘢𝘪𝘯𝘴 𝘢𝘯𝘥 𝘊𝘩𝘢𝘭𝘭𝘦𝘯𝘨𝘦𝘴. 𝘑𝘰𝘶𝘳𝘯𝘢𝘭 𝘰𝘧 𝘈𝘴𝘪𝘢𝘯 𝘚𝘦𝘤𝘶𝘳𝘪𝘵𝘺, 11(1), 45–67.

5. 𝘎𝘳𝘦𝘦𝘯, 𝘔. 𝘑. (2023). 𝘊𝘰𝘶𝘯𝘵𝘦𝘳𝘪𝘯𝘨 𝘊𝘩𝘪𝘯𝘢 𝘪𝘯 𝘚𝘰𝘶𝘵𝘩𝘦𝘢𝘴𝘵 𝘈𝘴𝘪𝘢: 𝘛𝘩𝘦 𝘜.𝘚. 𝘚𝘵𝘳𝘢𝘵𝘦𝘨𝘺. 𝘉𝘳𝘰𝘰𝘬𝘪𝘯𝘨𝘴 𝘐𝘯𝘴𝘵𝘪𝘵𝘶𝘵𝘪𝘰𝘯 𝘗𝘳𝘦𝘴𝘴.

6. 𝘔𝘤𝘊𝘢𝘳𝘨𝘰, 𝘋. (2020). 𝘛𝘩𝘢𝘪𝘭𝘢𝘯𝘥’𝘴 𝘔𝘪𝘭𝘪𝘵𝘢𝘳𝘺 𝘢𝘯𝘥 𝘐𝘵𝘴 𝘙𝘰𝘭𝘦 𝘪𝘯 𝘗𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘤𝘴. 𝘈𝘴𝘪𝘢𝘯 𝘚𝘶𝘳𝘷𝘦𝘺, 60(3), 1–22.

7. 𝘚𝘐𝘗𝘙𝘐. (2024). 𝘈𝘳𝘮𝘴 𝘛𝘳𝘢𝘯𝘴𝘧𝘦𝘳𝘴 𝘋𝘢𝘵𝘢𝘣𝘢𝘴𝘦. 𝘚𝘵𝘰𝘤𝘬𝘩𝘰𝘭𝘮 𝘐𝘯𝘵𝘦𝘳𝘯𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭 𝘗𝘦𝘢𝘤𝘦 𝘙𝘦𝘴𝘦𝘢𝘳𝘤𝘩 𝘐𝘯𝘴𝘵𝘪𝘵𝘶𝘵𝘦.

8. 𝘚𝘮𝘪𝘵𝘩, 𝘑. (2023). 𝘙𝘶𝘴𝘴𝘪𝘢’𝘴 𝘌𝘯𝘦𝘳𝘨𝘺 𝘋𝘪𝘱𝘭𝘰𝘮𝘢𝘤𝘺 𝘪𝘯 𝘈𝘚𝘌𝘈𝘕. 𝘌𝘯𝘦𝘳𝘨𝘺 𝘗𝘰𝘭𝘪𝘤𝘺 𝘙𝘦𝘷𝘪𝘦𝘸, 15(2), 89–104.

9. 𝘚𝘵. 𝘑𝘰𝘩𝘯, 𝘙. 𝘉. (2010). 𝘛𝘩𝘦 𝘗𝘳𝘦𝘢𝘩 𝘝𝘪𝘩𝘦𝘢𝘳 𝘊𝘰𝘯𝘧𝘭𝘪𝘤𝘵: 𝘈 𝘏𝘪𝘴𝘵𝘰𝘳𝘪𝘤𝘢𝘭 𝘈𝘯𝘢𝘭𝘺𝘴𝘪𝘴. 𝘑𝘰𝘶𝘳𝘯𝘢𝘭 𝘰𝘧 𝘚𝘰𝘶𝘵𝘩𝘦𝘢𝘴𝘵 𝘈𝘴𝘪𝘢𝘯 𝘚𝘵𝘶𝘥𝘪𝘦𝘴, 41(2), 215–230.

10. 𝘚𝘵𝘰𝘳𝘦𝘺, 𝘐. (2025). 𝘎𝘳𝘦𝘢𝘵 𝘗𝘰𝘸𝘦𝘳 𝘙𝘪𝘷𝘢𝘭𝘳𝘺 𝘪𝘯 𝘚𝘰𝘶𝘵𝘩𝘦𝘢𝘴𝘵 𝘈𝘴𝘪𝘢. 𝘐𝘚𝘌𝘈𝘚 𝘗𝘶𝘣𝘭𝘪𝘴𝘩𝘪𝘯𝘨.

11. 𝘚𝘵𝘳𝘢𝘯𝘨𝘪𝘰, 𝘚. (2024). 𝘏𝘶𝘯 𝘔𝘢𝘯𝘪𝘵𝘩 𝘢𝘯𝘥 𝘊𝘢𝘮𝘣𝘰𝘥𝘪𝘢’𝘴 𝘕𝘦𝘸 𝘚𝘵𝘳𝘰𝘯𝘨𝘮𝘢𝘯 𝘗𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘤𝘴. 𝘈𝘴𝘪𝘢-𝘗𝘢𝘤𝘪𝘧𝘪𝘤 𝘗𝘰𝘭𝘪𝘤𝘺 𝘑𝘰𝘶𝘳𝘯𝘢𝘭.

12. 𝘞𝘢𝘭𝘵𝘻, 𝘒. (1979). 𝘛𝘩𝘦𝘰𝘳𝘺 𝘰𝘧 𝘐𝘯𝘵𝘦𝘳𝘯𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭 𝘗𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘤𝘴. 𝘔𝘤𝘎𝘳𝘢𝘸-𝘏𝘪𝘭𝘭.

13. 𝘞𝘦𝘢𝘵𝘩𝘦𝘳𝘣𝘦𝘦, 𝘋. (2014). 𝘐𝘯𝘵𝘦𝘳𝘯𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭 𝘙𝘦𝘭𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘴 𝘪𝘯 𝘚𝘰𝘶𝘵𝘩𝘦𝘢𝘴𝘵 𝘈𝘴𝘪𝘢: 𝘛𝘩𝘦 𝘚𝘵𝘳𝘶𝘨𝘨𝘭𝘦 𝘧𝘰𝘳 𝘈𝘶𝘵𝘰𝘯𝘰𝘮𝘺. 𝘙𝘰𝘸𝘮𝘢𝘯 & 𝘓𝘪𝘵𝘵𝘭𝘦𝘧𝘪𝘦𝘭𝘥.

Penutup Redaksi.
Drs. Muhammad Bardansyah, Ch, Cht adalah seorang pemerhati geopolitik dan geostrategi, sekaligus pengamat kebijakan luar negeri dari perspektif kawasan. Ia aktif menulis dan menyampaikan pandangan strategis terhadap dinamika politik internasional, khususnya di kawasan Asia Tenggara dan Asia-Pasifik.

Analisis ini memberikan kita wawasan penting bahwa ketegangan di kawasan bukan hanya soal perselisihan perbatasan, tetapi juga medan tarik-menarik kepentingan global. Indonesia sebagai poros maritim dunia perlu bersiap mengambil peran strategis agar tidak menjadi sekadar penonton dalam pertarungan kekuatan besar.

Editor: Tim – Mudanews
📄 Berdasarkan naskah opini Drs. Muhammad Bardansyah, Ch, Cht

Berita Terkini