Kesehatan di Era Menkes BGS: Transformasi atau Kapitalisasi?

Breaking News
- Advertisement -

 

Oleh: Anton Christanto
Wakil Ketua III Pengurus Perhati-KL Pusat 2022-2025

Kesehatan adalah hak dasar setiap manusia. Itu prinsip yang tak bisa ditawar, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945. Namun, di era Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin (BGS), wajah pelayanan kesehatan di Indonesia tampak berubah. Berbagai gebrakan dan transformasi dilakukan dengan semangat efisiensi, digitalisasi, dan kerja sama sektor swasta. Tapi di balik itu semua, muncul pertanyaan: Apakah pelayanan kesehatan kita sedang diarahkan menjadi mesin profit yang kapitalistik?

Kesehatan Jadi Investasi Ekonomi

Menkes BGS sering mengangkat narasi bahwa kesehatan adalah investasi untuk menciptakan sumber daya manusia yang produktif. Ini terdengar logis di tengah upaya Indonesia memanfaatkan bonus demografi. Sehat berarti produktif, produktif berarti berkontribusi pada ekonomi.

Namun, ketika kesehatan semata-mata dilihat sebagai alat ekonomi, ada kekhawatiran bahwa tujuan mulianya mulai bergeser. Pelayanan kesehatan tidak lagi sepenuhnya berbasis hak dan kemanusiaan, tapi menjadi komoditas yang diperjualbelikan.

Digitalisasi: Kemajuan atau Komersialisasi?

Transformasi digital yang masif dengan peluncuran sistem Satu Sehat seakan menjadi tonggak besar dalam sistem kesehatan Indonesia. Semua data kesehatan terintegrasi, akses lebih mudah, dan pelayanan bisa lebih cepat.

Tapi di balik kemudahan itu, ada risiko besar:
Komersialisasi data kesehatan.
Masuknya investor swasta ke layanan digital kesehatan.
Layanan berbayar yang makin meminggirkan yang tidak mampu.
Jangan sampai digitalisasi justru menjadi pintu masuk kapitalisasi, di mana yang sehat adalah mereka yang mampu membayar aplikasi, gadget, atau layanan premium.

BPJS dan Ketimpangan Layanan

Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS yang sejak awal adalah wujud jaminan kesehatan universal, kini menghadapi tekanan efisiensi biaya. Kenaikan iuran, pembatasan layanan, hingga perhitungan tarif berbasis sistem INA-CBG’s banyak menuai protes.

Masyarakat bawah merasa makin sulit mengakses layanan yang layak. Rumah sakit dan tenaga kesehatan juga mengeluh karena tarif tak sebanding dengan beban kerja dan biaya operasional. Di sisi lain, rumah sakit swasta berkembang pesat, tetapi dengan biaya yang hanya bisa dijangkau kalangan menengah atas.

Pertanyaannya: Apakah kita menuju sistem dua jalur? Satu jalur untuk yang berduit, dan jalur lain untuk yang tak berdaya?

Peran Swasta: Solusi atau Ancaman?

Di era Menkes BGS, peran sektor swasta dalam pelayanan kesehatan semakin besar. Public-Private Partnership (PPP) didorong untuk memenuhi kebutuhan layanan dan fasilitas. Tidak ada yang salah dengan kolaborasi. Tapi tanpa kontrol yang ketat, orientasi profit bisa menyingkirkan prinsip keadilan sosial.

Industri kesehatan tumbuh pesat: rumah sakit elite, asuransi kesehatan swasta, startup health-tech. Tapi di banyak pelosok, masyarakat masih kesulitan mendapatkan puskesmas yang memadai, apalagi dokter spesialis.

Ancaman Ketimpangan Kesehatan

Inilah yang dikhawatirkan:
* Kesehatan yang mahal dan eksklusif.
* Pelayanan publik yang stagnan dan terpinggirkan.
* Ketimpangan kesehatan antara kota besar dan daerah terpencil.
* Tanpa intervensi kuat dari negara, ketimpangan ini akan terus melebar.

Kesehatan untuk Siapa?

Kesehatan adalah hak, bukan komoditas. Negara wajib hadir untuk menjamin semua warga—tanpa kecuali—mendapat layanan kesehatan yang layak dan manusiawi.

Transformasi memang penting. Teknologi, efisiensi, dan kerja sama swasta juga perlu. Tapi nilai dasar kemanusiaan dan keadilan sosial harus tetap menjadi pondasi utama. Jangan sampai pelayanan kesehatan di Indonesia hanya menjadi ladang bisnis segelintir elite, sementara rakyat kecil dibiarkan menunggu antrean panjang dan pengobatan seadanya.

Mari kita kawal bersama:
👉 Kesehatan adalah hak semua, bukan hak segelintir.
👉 Kesehatan untuk kehidupan, bukan sekadar untuk profit.

 

Berita Terkini