MUDANEWS.COM, Medan – Indonesia merupakan Negara Hukum yang memberi petunjuk kepada warganya dalam bertingkah laku untuk menciptakan ketertiban, keamanan, keadilan maupun kesejahteraan bagi warganya sehingga diharapkan tidak adanya terjadi perbuatan yang melanggar norma,baik norma agama maupun norma hukum nasional yang ada dalam masyarakat.
Tindak pidana pencurian merupakan perbuatan yang malanggar norma, agama manapun tidak memperbolehkan penganutnya untuk melakukan kejahatan pencurian yang dapat merugikan seseorang atau masyarakat. Hukum positif yang berlaku di Indonesia juga melarang seseorang untuk mengambil barang milik orang lain dengan maksud untuk memiliki barang itu seperti yang diatur dalam Bab XXII Buku II KUHP.
Kejahatan ini merupakan tindakan kejahatan yang merugikan, yang difokuskan kepada harta benda dan umumnya terjadi di dalam masyarakat, oleh karena itu didalam Nash (Al-Qur;an dan Sunnah) memberikan penjelasan bahwa pencurian itu dilarang Allah SWT.
alam hukum Islam, mengambil harta seseorang tidak dibenarkan, seseorang tidak boleh melakukan tindakan semena-mena atau sewenang-wenang mengambil barang/ harta yang bukan miliknya dengan pertimbangan apapun.
Permasalahannya adalah masyarakat awam tidak faham mengenai tindak pidana pencurian dalam hukum Islam, bahkan mereka menggangap bahwa hukum Islam itu kejam, tak berkemanusiaan dan mengerikan. Berbeda dengan hukum barat, mereka beranggapan bahwa sudah sempurna dan lebih sesuai dengan hukum barat yang memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Padahal di dalam Kitab Undang-Undang Hukum pidana (KUHP) dan juga hukum Islam keduanya memberikan ketegasan dan melarang keras tindakan kejahatan pencurian tersebut. Larangan yang ada didalam KUHP dan Hukum Islam memgenai kejahatan terhadap harta seperti pencurian tujuannya adalah sama-sama untuk melindungi harta dikalangan umat. Lantas, sebenarnya bagaimana perbandingan dari keduanya?
Bertitik tolak dari hal diatas yang menjadi perbandingan dari tindak pidana pencurian dalam hukum Islam maupun KUHP memang berbeda. Hal ini terlihat jelas dari perbedaan defenisi, unsur-unsur, jenis-jenis, dan bentuk ancaman pidana yang dijatuhkan.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, arti dari kata “curi” adalah mengambil suatu kepunyaan orang lain tanpa diketahui oleh pemilik barang secara tidak sah dan dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. “Pencuri” berarti orang yang mencari barang. “Curian” berarti barang yang telah dicuri. Sedangkan arti “pencurian” perbuatan, proses atau cara curi barang.
Menurut R.soesilo dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, tindak pidana pencurian adalah perbuatan mengambil berupa barang yang seluruhnya kepemilikan orang lain dan pengambilan itu dilakukan dengan maksud untuk memiliki barang itu dengan melawan hak, terdapat dalam pasal 362 KUHP. Tindak pidana pencurian termasuk kejahatan terhadap harta benda. Adanya larangan dalam KUHP mengenai kejahatan pencurian telah dimuat dalam KUHP Buku Kedua Bab XXII mengenai kejahatan terhadap harta dari pasal 362 KUHP sampai Pasal 367 KUHP yang digolongkan kedalam beberapa macam, yakni pencurian ringan (pasal 364 KUHP), Pencurian dalam kalangan keluarga (Pasal 367 KUHP), pencurian biasa (Pasal 362KUHP), pencurian dan pemberatan (Pasal 363 KUHP). Setiap macam dari tindak pidana tersebut mempunyai ancaman pidana yang berbeda-beda, sesuai cara, waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.
Adapun bentuk ancaman pidana yang diatur dalam pasal 10 KUHP terbagi dua bagian, yakni pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok mencakup beberapa bagian yakni pidana mati,pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, sedangkan pidana tambahan berisi pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim.
Seiring dengan perkembangan zaman, kejahatan pencurian semakin merajalela,hal ini dapat dilihat dari banyaknya kasus yang terjadi. Sebagaimana yang dikutip dari Tribun-Medan.com, Tekab Unit Ranmor Sat Reskim Polrestabes Medan menangkap seorang pelaku pencurian motor yang berulang kali berbuat ulah di wilayah Kabupaten Deliserdang dan Kota Medan. Pelaku bernama Ilham (39), bertempat tinggal di Jalan Pasar III Datuk Kabu Kecamatan Percut Sei Tuan. Tersangka mencuri 2 unit sepeda motor yakni Yamaha N-max dan Kawasaki Ninja. Akibat perbuatannya, Dikenakan ancaman hukuman dalam pasal yaitu diatas 5 tahun penjara.
Hasil data Kepolisian RI atau Polri kasus pencurian kendaraan bermotor roda dua bertambah 98,25 persen dari 114 kasus menjadi 226 kasus. Dari data ini menunjukkan bahwa penanggulangan masalah pencurian belum tegas mengurangi kejahatan pencurian di Indonesia. Maka dari itu dibutuhkan suatu system untuk memberantas kejahatan pencurian. Peneliti dari masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) FH UI Dio Ashar Wicaksana berkomentar bahwa salah satu ancaman hukuman pidana penjara bagi pelaku kejahatan pencurian tidak memberikan efek jera, menurutnya hal ini terjadi karena nilai pidana tidak sebanding dengan barang yang dicuri, sehingga hukuman pidana penjara tidak dapat mengikis maraknya angka kejahatan yang terjadi.
Hukum Islam menganggap bahwa pencurian merupakan kejahatan yang berbahaya, sehingga pelaku kejahatan pencurian mendapat ancaman hukuman yang tegas tujuannya agar tidak meresahkan masyarakat. Menurut Dr. Mardani dalam buku hukum pidana Islam, secara etimologis pencurian berasal dari kata sariqah, yang maknanya mengambil harta kepunyaan orang lain secara tersembunyi. Secara terminologis Formulasi pencurian menurut Ibnu Rusyd adalah mengambil harta milik orang lain secara sembunyi tanpa dipercayakan kepadanya terlebih dahulu. Terminologi ini hampir sama dengan Abdul Qadir Audah, berpendapat bahwa pencurian adalah mengambil harta orang lain secara diam-diam atau dengan cara sembunyi-sembunyi. Maksud dari mengambil harta secara diam-diam artinya tanpa diketahui oleh pemilik barang dan disimpan di suatu tempat. Tetapi, jika diambil secara terang-terangan, tidak dapat dikategorikan pencurian melainkan perampokan (Al-Hirabah).
Tindak pidana pencurian termasuk salah satu tindak pidana hudud. Pencurian dalam syariat Islam dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu pencurian yang dapat dijatuhkan hukuman had dan hukuman ta’zir. Seseorang yang mencuri dapat dikenai hukuman ta’zir apabila terdapat syubhat (ketidakjelasan) dalam barang yang dicuri, contohnya pencurian yang dilakukan oleh orang tua terhadap harta anaknya. Dalam kasus semacam ini, orang tua memiliki hak terhadap harta anaknya, sehingga terdapat syubhat dalam hak milik. Hal ini didasarkan kepada hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Maliki bahwa Rasulullah saw. Bersabda: “Engkau dan hartamu milik ayahmu’.
Dalam hukum pidana Islam pencurian merupakan perbuatan pidana yang dijatuhkan hukuman potong tangan (had), sebagaimana Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surah Al-Maidah ayat 38, yang artinya: Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksna. (Q.S. Al-Maidah:38). Dan diperkuat oleh hadist yang diriwayatkan oleh Aisyah, yang artinya: Potonglah tangan pada pencuri yang nilainya seperempat dinar, apabila kurang jangan dipotong”.
Merujuk pada teks Al-Quran dan hadist diatas, memberikan penjelasan bahwa pelaku tindak pidana pencurian diancam hukuman had. Hal ini telah disepakati oleh Imam Mahzab. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat mengenai kriteria yang dikenakan hukuman had. Dalam hukum pidana Islam, menjatuhkan vonis hukuman kepada pelaku yakni jika sudah memenuhi kriteria pencurian, yaitu mengambil harta yang pengambilannya secara sembunyi-sembunyi, barang tersebut berupa harta, artinya barang tersebut barang yang bergerak dan dianggap mempunyai nilai menurut syara’ bukan barang yang diharamkan oleh syara’ seperti khamar, babi, anjing, bangkai dan seterusnya, karena benda tersebut menurut Islam tidak ada harganya, sebab mencuri benda yang diharamkan oleh syara’ tidak mendapat sanksi. Untuk dapat dikenakan hukuman had maka barang yang dicuri harus mencapai nisab. Tidak dapat dikategorikan pencurian apabila mengambil harta dijalan, karena harta yang dicuri harus tersimpan di tempat simpanannya.
Jumhur Ulama berpendapat bahwa hukuman had dapat dijalankan dengan syarat benda yang diambil senisab, yaitu seperempat dinar atau tiga dirham. Abdul Qadir Audah berkomentar bahwa ancaman bagi pencuri dengan cara potong tangan dan kaki, sesuai dengan ayat Al-Maidah:38 mengandung arti bahwa kata “tangan” termasuk juga “kaki”, maka seseorang yang melakukan pencurian untuk pertama kalinya akan dipotong tangan kanannya, dan apabila pencurian diulangi, maka kaki kirinya yang dipotong.
Melansir Sind8news.com, sebuah pengadilan Arab saudi di Kota Bisha Selatan Bisha memberikan sanski potong tangan terhadap dua pelaku pencurian beberapa ekor domba dari peternak lokal, kedua terdakwa mendapat hukuman potong tangan, yaitu hanya sebatas pergelangan tangan saja tidak seluruh tangan. Hukuman potong tangan yang diterapkan di Arab Saudi bagi pencuri memberikan contoh agar tidak lagi mengulangi perbuatan. Sehingga ancaman hukuman ini memberikan efek jera sekaligus efek takut bagi pelaku kejahatan pencurian.
Jika dibandingkan antara keduanya, hukum pidana Islam jelas lebih unggul dari KUHP, ancaman hukuman yang diterapkan dalam hukum pidana Islam efektif untuk mengurangi kejahatan pencurian. Mengingat kasus pencurian di Indonesia semakin kompleks dengan berbagai macam modus dari pelaku, hal ini jika tidak diseimbangkan dengan ancaman hukuman yang tegas, maka akan meresahkan masyarakat. Namun sebaliknya, Negara yang menerapkan hukum pidana Islam seperti Saudi Arabia akan lebih aman dan masyarakatnyapun lebih giat dalam mencari rezeki yang halal.
Penulis : Nadira Febrianti (Jurusan Hukum Pidana Islam (Jinayah)