Mudanews.com Jakarta — Ekonomi Indonesia dinilai memiliki peluang tumbuh hingga delapan persen per tahun, asalkan pemerintah berani mengubah paradigma pembangunan yang selama ini bertumpu pada birokrasi administratif menuju orientasi produktivitas.
Pandangan tersebut disampaikan pengamat ketenagakerjaan, Aznil Tan, dalam kajian terbarunya di Kompas berjudul “Menata Ulang Mesin Pertumbuhan Ekonomi Berkaca pada Vietnam”.
Menurut Aznil, pertumbuhan tinggi tidak akan tercapai hanya dengan semangat politik atau penambahan program baru.
“Sebesar apa pun tekad yang disampaikan presiden, tanpa perubahan cara berpikir dan cara bekerja, semua hanya akan menjadi mimpi di siang bolong,” ujarnya.
Ia menilai kegagalan presiden-presiden sebelumnya dalam mendorong lompatan pertumbuhan ekonomi disebabkan oleh paradigma pembangunan yang tidak berubah.
“Pemerintah berganti, tetapi logika pembangunan tetap sama: sibuk mengatur, bukan menumbuhkan,” kata Aznil.
Menurutnya, pembangunan selama ini diukur dari jumlah program, laporan, dan serapan anggaran—bukan dari nilai ekonomi yang benar-benar dihasilkan masyarakat. Situasi itu membuat energi nasional habis dalam rutinitas administratif dan menghambat produktivitas rakyat.
Aznil menegaskan bahwa Presiden Prabowo tidak dapat lagi mengandalkan cara pandang lama jika ingin mengejar pertumbuhan delapan persen.
“Sistem yang sama tidak akan menghasilkan hasil yang berbeda,” ujarnya, seraya menekankan perlunya pergeseran orientasi dari pengelolaan prosedur menuju penciptaan nilai ekonomi nyata.
Dalam kajiannya, Aznil menyoroti Vietnam yang berhasil bertransformasi dari salah satu negara termiskin pada 1980-an menjadi salah satu ekonomi paling dinamis di Asia Tenggara. Ia menyebut keberhasilan Vietnam bukan bersandar pada anggaran besar, tetapi keberanian merombak sistem yang tidak efektif dan mengarahkan energi negara pada produktivitas rakyat.
“Vietnam berani mengakui bahwa masalahnya bukan rakyat yang malas, tetapi sistem yang tidak berjalan. Itu titik balik yang mengubah sejarah mereka,” tegasnya.
Aznil menilai Indonesia sebenarnya memiliki modal demografi dan sumber daya jauh lebih besar daripada Vietnam. Namun dua penyumbat utama pertumbuhan masih menjadi hambatan besar: korupsi struktural dan birokrasi yang tidak produktif.
“Selama regulasi berlapis, prosedur dipersulit, dan kebijakan lebih sibuk mengatur daripada menghasilkan, pertumbuhan ekonomi akan terus tertahan di lima persen,” ujarnya.
Untuk mendorong pertumbuhan delapan persen, Aznil menggarisbawahi pentingnya memperkuat tiga pilar masyarakat produktif: ketahanan pekerjaan, ketahanan industri, dan ekspansi pekerja global.
Ia menegaskan bahwa 96,4 persen penduduk Indonesia merupakan masyarakat pekerja, sehingga penciptaan dan akses terhadap pekerjaan layak harus menjadi prioritas utama.
“Cara pandang tentang ketenagakerjaan harus dirombak total. Di sinilah letak krusial mengapa Indonesia tidak pernah keluar dari kutukan middle income trap,” kata Aznil Tan.
Menurutnya, pertumbuhan delapan persen baru dapat dicapai jika pemerintah berani membongkar pola pembangunan lama dan menata ulang sistem secara menyeluruh.
“Indonesia tidak kekurangan ide besar ataupun sumber daya. Yang kurang adalah keberanian membangun sistem yang benar-benar memerdekakan produktivitas rakyat,” pungkasnya.**(Red)
