Kinerja SWF Danantara Kok Jadi “Sistem Wacana Feodal” yang Menyamar Jadi Investasi Negara?

Breaking News
- Advertisement -

 

Oleh: Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW)

Mudanews,com OPINI – Dunia mengenal SWF sebagai Sovereign Wealth Fund atau dana berdaulat negara untuk masa depan, bukan masa depan direksi. Tapi Indonesia malah menciptakan varian lokal, yakni BPI dan Danantara, yang dalam praktiknya lebih mirip: SWF = “Sogokan Wibawa Fiktif” atau SWF = “Skema Wewenang Fana”.

*Manajerial gaya sultan tapi hasil gaya siluman*

Danantara adalah bayi baru, tapi sejak lahir sudah pegang palu. Baru berusia 4 bulan, belum merilis laporan keuangan satu pun, tapi sudah berani bikin surat yang isinya mengatur tantiem, menghapus windfall profit dan mengintervensi 103 BUMN.

Ini bukan manajerial strategis, ini lebih mirip SWF = “Serikat Wewenang Fulus”

Dengan format surat S-063/DI-BP/VII/2025, mereka bertindak seolah mewakili negara, padahal surat itu bukan berasal dari Kementerian BUMN, melainkan dari institusi internal non-publik yang menyebut diri “Divisi Investasi BPI”.

*Danantara bukan dana masa depan, tapi “Dana Narsistik Taktik Rasa Amanah”*

Jikalau kinerjanya tetap seperti itu maka tidak salah jika akronim DANANTARA pun sepertinya layak dibongkar ulang, DANANTARA = “Dana Nasional Tapi Rasa Arbitrer” atau DANANTARA = “Direksi Ambisius, Negara Tak Ada Rencana Alternatif”.

Alih-alih berinvestasi ke sektor produktif seperti energi, pangan, teknologi, sampai sekarang mereka malah sibuk bagi-bagi kuasa dan menyusun skema bonus. Padahal rakyat butuh hasil, bukan narasi.

*SWF dunia vs SWF kita, bagai langit dan lumpur*

Kalau bicara Sovereign Wealth Fund (SWF), dunia sudah punya pakem yang jelas. Tapi Danantara datang dengan gaya nyeleneh, tapi bukan mengikuti best practice, tapi best keinginan.

Coba kita tilik satu per satu.

Norwegia, lewat NBIM (Norges Bank Investment Management), adalah role model SWF global. Dana yang mereka kelola bersumber dari surplus minyak dan gas. Mereka laporkan ke publik tiap tiga bulan, dengan keterbukaan yang membuat rakyat percaya dan parlemen bisa kontrol. Satu hal yang pasti bahwa NBIM tidak ikut campur dalam bonus direksi BUMN Norwegia, karena itu bukan urusannya.

Singapura juga tak kalah disiplin. Temasek menggunakan cadangan devisa negara, bukan duit dari laba BUMN, apalagi dividen yang seharusnya masuk kas negara. Semua laporan keuangannya bisa dibaca siapa saja. Dan sama seperti Norwegia, Temasek tidak ikut mengatur gaji atau insentif direksi badan usaha.

Malaysia, melalui Khazanah Nasional, sedikit berbeda karena dananya berasal dari alokasi APBN. Tapi tetap saja bahwa laporan mereka diaudit oleh auditor negara (sekelas BPK-nya Malaysia). Dan tak pernah sekalipun Khazanah berani mengatur remunerasi manajemen BUMN karena tahu, bahwa itu urusan pemilik saham, bukan manajer investasi.

Lalu, datanglah Indonesia dengan varian SWF lokal bernama Danantara. Sumber dananya? Bukan cadangan devisa, bukan dana hasil ekspor migas, apalagi APBN, tapi dividen BUMN yang seharusnya disetor ke negara.

Transparansi? Jauh dari harapan, bahkan nama pejabatnya saja tidak semua publik tahu. Dan soal intervensi? Danantara terbukti malah bikin surat yang mengatur tantiem direksi dan komisaris Dana Narsistik Taktik Rasa Amanah!

Apa jadinya jika manajer dana malah mengatur pemilik dana? Apa jadinya jika SWF kita malah jadi lembaga bayangan yang menyusup ke sistem BUMN dan mengatur pola insentif tanpa pengawasan APBN, BPK, atau DPR?

Itulah bedanya SWF di luar negeri yang benar-benar Sovereign, dengan SWF versi lokal yang tampaknya lebih mirip “Skema Wewenang Feodal” yaitu mengatur tanpa legalitas yang kuat, atau “Sogokan Wibawa Fiktif”, demi pencitraan prestasi tanpa hasil investasi.

Kalau Presiden Prabowo Subianto benar-benar ingin mencetak sejarah, maka Danantara harus diarahkan kembali ke jalur yang benar. Jangan sampai publik justru melihatnya sebagai: *Dana Narsistik Tanpa Transparansi Rakyat*.

Waspadalah, SWF bisa jadi peluang emas, tapi juga bisa jadi mesin pencetak “bonus gelap” kalau tak diawasi.

Maka sepertinya akronim baru untuk SWF Indonesia adalah SWF = “Sistem Warisan Feodal” atau SWF = “Sarana Wacana Fulus”

*Manajerial tanpa preseden sama dengan kuasa tanpa legitimasi*

Dalam praktik global, SWF tidak mencampuri struktur gaji perusahaan. Tapi Danantara malah menciptakan surat sakti untuk menata insentif dan tantiem, bahkan dengan frasa ambigu seperti “penghapusan windfall profit”. Kalau begini caranya, manajerial Danantara layak disebut MANAJEMEN = “Mengatur Negara dengan Alasan Jelas-jelas Menyesatkan dan Nepotistik”.

*Rekomendasi IAW: stop SWF-SWF-an abal-abal*

Jika dibiarkan, publik akan menyaksikan transformasi:
1. Dari dana investasi strategis menjadi dana intervensi sistematis,
2. Dari lembaga pengelola aset menjadib lembaga penentu bonus,
3. Dari harapan negara menjadi hantu negara.

*SWF seharusnya Sovereign With Fairness, bukan Sovereign With Friends*

Danantara saat ini bukan alat negara, melainkan alat elite. Maka saat ini, publik harus berani menyebut SWF = “Simulasi Wewenang Fiktif”, BPI = “Bukan Perencana Investasi”, DANANTARA = “Dana Negara Tanpa Akuntabilitas Rakyat”.

Presiden Prabowo harus turun tangan. Jangan sampai mimpi membangun investasi berdaulat justru berubah menjadi “Skandal Warisan Feodalisme”
yang akan mencoreng pemerintahan dan menghancurkan masa depan fiskal Indonesia.

Publik sudah sadar, kini giliran negara bertindak! Karena SWF sejati bukan soal siapa yang pegang kuasa, tapi siapa yang bisa dipercaya menjaga dana rakyat.

Artikulli paraprak

Berita Terkini