Mudanews — Opini | Kita selalu diajarkan sejak kecil bahwa masjid adalah tempat paling aman untuk kembali ketika hidup terasa berat. Masjid bukan sekadar rumah ibadah, tetapi juga ruang bernaung bagi siapa saja yang sedang letih — baik letih hati, pikiran, atau sekadar tubuh yang butuh istirahat.
Namun peristiwa tragis yang terjadi di halaman Masjid Agung Sibolga pada 5 November 2025 membuat kita perlu berhenti sejenak. Seorang nelayan muda yang hanya ingin beristirahat, justru berakhir kehilangan nyawanya.
Polres Sibolga telah merilis lima orang terduga pelaku dalam kasus ini.
Proses hukum sedang berjalan — dan biarlah ia berjalan.
Yang ingin kita bicarakan bukan perkara siapa bersalah, melainkan luka sosial yang muncul dari peristiwa tersebut.
Bahwa masjid, yang seharusnya menjadi rumah pulang bagi siapa saja, kini mulai dipagari syarat, batas, dan kecurigaan. Ada rasa takut untuk terlihat “tidak sesuai” standar tertentu. Ada jarak yang tumbuh, pelan namun pasti, antara rumah ibadah dan umatnya sendiri.
Padahal Rasulullah SAW pernah bersabda:
“Barangsiapa yang tidak menyayangi, maka ia tidak akan disayangi.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Masjid seharusnya menjadi tempat di mana yang lemah dipeluk, bukan diusir. Tempat yang letih diterima, bukan dipaksa pergi.
Karena tidak semua orang datang ke masjid dalam keadaan sempurna — seringkali justru dalam kondisi paling rapuh.
Kita pun melihat realitas pahit bahwa kelompok seperti nelayan, buruh, dan pekerja harian berada dalam posisi rentan.
Mereka bekerja keras menantang ombak, tapi ketika ingin sekadar meletakkan kelelahan, kadang tidak ada ruang yang benar-benar memeluk mereka.
Di titik seperti inilah seharusnya masyarakat mengambil peran sebagai penyangga.
Bukan penambah beban.
Bukan penoreh luka baru.
Tragedi ini mengingatkan kita bahwa agama bukan hanya soal tata cara, tetapi rasa kemanusiaan. Jika rasa itu hilang, maka rumah ibadah akan terlihat megah namun kosong jiwanya.
Al-Qur’an mengingatkan kita:
“Barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah ia telah memelihara kehidupan seluruh manusia.”
(QS. Al-Ma’idah: 32)
Ayat ini tidak sedang bicara tentang teori moral.
Ia sedang berbicara tentang tindakan sehari-hari — termasuk bagaimana kita memperlakukan sesama, terutama yang sedang berada dalam keadaan paling rentan.
Semoga setelah proses hukum berjalan, ada sesuatu yang tumbuh:
Bukan saling menyalahkan, tetapi kesadaran untuk merawat kembali rumah yang seharusnya menjadi tempat pulang bagi semua orang, siapa pun dia, dari mana pun dia datang.
Karena suatu hari nanti, bisa saja kita, atau anak-anak kita, menjadi orang yang datang ke masjid dalam keadaan yang sama:
Letih.
Sendirian.
Butuh tempat untuk bernafas.
Dan ketika hari itu tiba — semoga pintu masjid masih terbuka.
[Tim Red]
Catatan: Polres Sibolga telah merilis lima terduga pelaku dalam peristiwa ini. Proses hukum masih berjalan

