Mudanews.com, MEDAN – Kabut pagi masih menggantung rendah di atas aliran Sungai di kawasan Kabero Garden, Kecamatan Percut Seituan, Deliserdang, Minggu (15/6/2025). Di antara gemuruh air yang mengalir pelan dan bisik dedaunan, langkah-langkah berat dari para pekerja bengkel perusahaan otomotif Deltamas SM Raja, Kota Medan, bergema pelan. Bukan untuk memeriksa mesin, bukan pula untuk menyambut pelanggan. Mereka datang membawa bibit pohon, karung sampah, dan semangat yang jarang terdengar dari dunia otomotif: cinta pada bumi.
Di tengah keramaian industri dan tekanan produksi, Al Amin Rosa, seorang kepala bengkel dari Deltamas SM Raja, Medan memilih untuk melangkah pelan, mundur sejenak dari suara mesin, dan menanam. Baginya, bengkel bukan hanya ruang kerja, tapi juga ruang hidup. Dan seperti halnya ruang hidup, ia perlu dirawat, dibersihkan, dan ditumbuhkan kembali.
“Kami sadar, setiap tetes oli yang tumpah, setiap kaleng cat yang dibuang sembarangan, punya jejak. Tapi jika kami yang tahu itu diam saja, siapa yang bisa memulai?” ujar Amin, sambil memungut sepotong plastik dari semak di tepi sungai.
Mekanik Menanam.
Apa yang dilakukan Amin dan puluhan mekanik lainnya hari itu jauh dari citra lazim pekerja bengkel. Mereka menanam alpukat, mangga, dan rambutan di tepian sungai. Mereka menyusuri air dengan perahu karet, mengangkut sampah plastik dan botol kosong. Sebuah aksi kecil yang barangkali tak masuk dalam laporan perusahaan, namun akan dikenang oleh tanah dan air yang disentuhnya.
Gerakan ini mereka beri nama “Dari Bengkel ke Bumi”—sebuah penanda bahwa tak ada batas antara ruang kerja dan ruang alam. Bahwa di balik seragam kotor dan tangan berlumur gemuk, ada kesadaran ekologis yang bisa tumbuh.
Di Balik Logam dan Asap.
Industri otomotif merupakan salah satu sektor dengan jejak lingkungan yang berat. Limbah oli, part kendaraan bekas, emisi karbon, serta penggunaan air dalam proses pencucian dan pengecatan memberi tekanan signifikan pada ekosistem lokal.
Menurut data World Bank dan UNEP, satu liter oli bekas bisa mencemari lebih dari satu juta liter air. Sementara, bengkel berskala menengah dapat menghabiskan hingga 300 liter air per hari. Di kota-kota besar, tumpukan suku cadang rusak kerap berakhir di pinggir sungai atau tempat pembuangan ilegal.
Namun di Kabero Gardenb, cerita lain sedang ditulis. Tanpa sorotan media besar, tanpa dana korporat, para pekerja memilih untuk bertindak.
“Kami tidak ingin cuma jadi bagian dari masalah. Kami ingin jadi bagian dari solusi, walau kecil,” kata Amin. Suaranya hampir tenggelam dalam suara air dan nyanyian burung.
Hutan Kecil di Hati Pekerja.
Dalam banyak tradisi lokal di Indonesia, menanam pohon bukan hanya tentang hasil buah atau kayu, tetapi tentang doa yang ditanam ke dalam tanah. Di Kabero Garden, setiap lubang yang digali oleh tangan para mekanik juga membawa harapan: agar sungai tetap hidup, agar anak-anak bisa bermain di bawah pohon rindang, agar pekerjaan mereka tak lagi asing dari alam.
Amin tidak membayangkan bengkel yang steril dari limbah, tapi bengkel yang belajar hidup berdampingan dengan alam. Ia bermimpi suatu hari nanti aksi tersebut menjadi taman kecil, tempat burung berteduh, dan udara tak hanya berbau cat dan bensin.
“Saya ingin suatu hari nanti, kalau ada pelanggan datang, dia bisa lihat pohon yang kami tanam. Dan sadar, bahwa kami pun peduli.”
Di Mana Harapan Tumbuh.
Seperti sungai yang terus mengalir, gerakan kecil di kawasan Kabero Garden ini tidak berhenti pada satu hari. Amin berharap bisa mengajak lebih banyak bengkel lain, membentuk jaringan bengkel hijau, dan memperluas aksi dari kota Medan.
Di tengah krisis iklim dan urbanisasi yang merampas ruang hijau, suara dari pekerja lapangan seperti Al Amin Rosa menjadi penting. Mereka bukan aktivis profesional, bukan pejabat, bukan akademisi. Tapi merekalah yang setiap hari bersentuhan langsung dengan jejak ekologis industri.
Dan ketika mereka memilih untuk menanam, alih-alih membuang, harapan pun tumbuh. Di tepi sungai. Di tanah merah. Di hati para mekanik. (Red).