Mudanews.com, Langkat – Sidang lanjutan perkara dugaan korupsi dan penguasaan lahan di kawasan Suaka Margasatwa Mangrove Langkat dengan dua terdakwa, Alexander Halim alias Akuang dan Imran, S.Pd. I, kembali mengalami penundaan oleh Pengadilan Negeri (PN) Medan.
Ini merupakan kali ketiga dalam sepekan persidangan urung digelar setelah sebelumnya ditunda pada Senin, 2 Juni dan Kamis, 5 Juni 2025.
Ketua Majelis Hakim, M. Nazir, S.H., M.H., yang memimpin sidang di ruang Aula Cakra 1 Utama PN Medan, menyampaikan teguran keras kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) karena belum siap dengan tuntutannya. JPU yang diketuai oleh Junaidi, S.H., dalam sidang kali ini hanya diwakili oleh Adlina, S.H.
“Ini jangan diundur-undur, ini sudah ketiga kalinya diundurkan. Jangan sampai nanti terekspose media seolah ada unsur yang bagaimana,” tegas Hakim Nazir, didampingi hakim anggota Zufida Hanum, S.H., M.H., dan Poster Sitorus, S.H., M.H.
Saat diminta penjelasan, jaksa Adlina menjawab singkat, “Belum ada, Yang Mulia. Belum turun dari Kejagung.”
Menanggapi hal tersebut, Hakim Nazir yang juga menjabat sebagai Hakim Madya Muda berpangkat Pembina Tingkat I (IV/b), memutuskan untuk menunda sidang hingga Kamis, 19 Juni 2025.
Kasus Besar: Ilegalitas Penguasaan Lahan Konservasi Mangrove
Pada sidang sebelumnya, Senin, 24 Februari 2025, sejumlah saksi dihadirkan, termasuk saksi ahli di bidang lingkungan, Prof. Dr. Ir. Basuki Wasis, M.Si., dan Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr., serta saksi fakta dr. David Luther Lubis, SpOG (K).
Dalam kesaksiannya, dr. David mengungkap bahwa terdakwa Alexander Halim adalah mertuanya dan menjabat sebagai komisaris di CV Anugerah Agro Abadi, sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit. Namun, ia mengaku tidak mengetahui bahwa lahan yang dikelola berada dalam kawasan hutan lindung.
Prof. Basuki menjelaskan bahwa hasil analisis laboratorium menunjukkan adanya kerusakan lingkungan berat akibat alih fungsi lahan. Prof. Bambang Hero menambahkan bahwa telah terjadi penebangan hutan mangrove di kawasan yang seharusnya dilindungi.
Kerugian lingkungan akibat perusakan tersebut diperkirakan mencapai Rp 787,17 miliar, dengan rincian sebagai berikut:
Kerugian ekologis: Rp 436,63 miliar
Kerugian ekonomi lingkungan: Rp 339,15 miliar
Biaya pemulihan lingkungan: Rp 9,26 miliar
Biaya revegetasi: Rp 2,11 miliar
Seluruh kerugian tersebut menjadi beban negara melalui APBN.
Ancaman Lingkungan dan Potensi Kerugian Negara
Konversi kawasan lindung ini tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga merusak lingkungan secara signifikan. Suaka margasatwa yang semestinya menjadi pelindung ekosistem pesisir kini rusak berat. Dampak jangka panjang terhadap keberlanjutan lingkungan dan kehidupan masyarakat sekitar pun sangat mengkhawatirkan.
Dua Terdakwa, Satu Kepentingan
Alexander Halim alias Akuang alias Lim Sia Cheng
Nomor perkara: 138/Pid.Sus-TPK/2024/PN Mdn
Seorang pengusaha yang diduga menjadi aktor utama konversi kawasan lindung menjadi perkebunan sawit.
Imran S.Pdi
Nomor perkara: 139/Pid.Sus-TPK/2024/PN Mdn
Kepala Desa aktif Tapak Kuda yang diduga menyalahgunakan kewenangannya untuk mendukung alih fungsi lahan.
Modus Operandi dan Dugaan Suap
Kejaksaan menduga bahwa kedua terdakwa memalsukan dokumen, memanipulasi status lahan, dan bahkan menyuap oknum pejabat untuk memperlancar proses konversi lahan. Namun, hingga kini tuntutan resmi dari Kejaksaan Agung belum juga disampaikan ke PN Medan.
Publik berharap agar proses hukum berjalan secara adil dan transparan. Penundaan yang berulang dinilai dapat merusak kredibilitas institusi peradilan dan menimbulkan kesan adanya perlakuan istimewa terhadap terdakwa.
(Muharam)