Lebih Sebulan Proses Hukum AKBP Oloan Siahaan Tak Disorot, Impunitas Makin Nyata?

Breaking News
- Advertisement -

Mudanews.com – MEDAN | Sudah lebih dari sebulan sejak kasus penembakan polisi terhadap warga sipil di kawasan Jalan Tol Balmera, pada Minggu (4/5/2025) yang menewaskan seorang remaja bernama, Muhammad Suhada (15) dan melukai satu lainnya, B (17). Namun hingga kini, publik masih belum mendapat kejelasan atas penegakan hukum terhadap Kapolres Pelabuhan Belawan AKBP Oloan Siahaan, sosok yang melakukan penembakan.

Kasus ini kemudian menuai sorotan dari sejumlah pegiata Hak Asasi Manusia (HAM) hingga beberap lembaga sipil. Peristiwa itu disebut sebuah alarm bahaya mengenai dugaan pelanggaran HAM serius, bahkan sebagai bentuk extra judicial killing (pembunuhan di luar hukum).

Berdasarkan investigasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sumatera Utara, insiden kejadian tersbut, bermula ketika sekelompok remaja, termasuk korban, sedang menunggu kelompok lawan dalam sebuah tawuran yang kerap terjadi di kota-kota besar. Namun situasi berubah mencekam ketika sebuah mobil dinas polisi melaju dan kemudian berbalik arah menuju mereka.

Baca juga: KontraS Sumut Ungkap Kejanggalan Penembakan Remaja oleh AKBP Oloan Siahaan

Alih-alih membubarkan massa sesuai prosedur, AKBP Oloan Siahaan diduga langsung mengarahkan tembakan ke arah kerumunan remaja. Tanpa tembakan peringatan. Tanpa upaya dialog.

Dalam peristiwa itu, korban tertembak di perut dan proyektil menembus ususnya. Teman korban, B, juga mengalami luka tembak di tangan. Mereka bukan menyerang pihak Oloan dengan senjata tajam seperti yang dinarasikan dalam pernyataan polisi. Mereka melakukannya dengan melempar batu.

“Diperkirakan 5 hingga 6 tembakan dilepaskan. S sendiri tertembak saat berusaha menyelamatkan diri,” ujar Adinda Zahra, Koordinator Operasional KontraS Sumut, saat dikonfirmasi Kamis (12/6/2025).

Baca juga: Jejak Tembakan di Pelabuhan Belawan

Dalam kondisi terluka parah, Suhada berjalan sejauh lebih dari 700 meter sebelum akhirnya dilarikan ke Rumah Sakit Delima. Namun nyawanya tak tertolong.

Dugaan Manipulasi Narasi dan Upaya Pembungkaman.

Tak berhenti di sana, KontraS juga menemukan indikasi upaya pengaburan fakta. Pasca-kematian Suhada, pihak kepolisian mendatangi ibunda korban, Nurhayati, membawa serta sebuah surat pernyataan. Isinya menarasikan bahwa Suhada adalah pelaku penyerangan terhadap mobil dinas Oloan. Surat itu ditolak mentah-mentah oleh sang ibu.

“Narasi dalam surat itu tidak sesuai dengan apa yang dikatakan anak saya sebelum meninggal,” tutur Dinda menirukan Nurhayati.

Menurut pengakuan Suhada di detik-detik terakhirnya, ia tak melakukan serangan berlebihan. Ia justru ditembak saat mencoba menyelamatkan diri.

Diamnya Penegakan Hukum dan Ancaman Impunitas.

Pasca kejadian, AKBP Oloan hanya dikenai penempatan khusus (patsus) di Mabes Polri. Belum ada proses hukum terbuka. Belum ada transparansi kepada publik. Belum ada kejelasan mengenai kelanjutan kasus.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan menyebut bahwa penonaktifan dan patsus bukanlah bentuk pertanggungjawaban hukum.

“Tindakan ini seharusnya diproses secara etik dan pidana. Apalagi korbannya adalah anak-anak,” kata Direktur LBH Medan Irvan Saputra dihubungi terpisah.

Padahal, Indonesia telah meratifikasi berbagai instrumen internasional seperti Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Deklarasi Universal HAM (DUHAM). Selain itu, hukum nasional seperti UU No. 39/1999 tentang HAM, UU No. 35/2014 tentang Perlindungan Anak, hingga Perkapolri No. 1 Tahun 2009 mengenai penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian, semuanya mengatur tegas pembatasan penggunaan kekuatan mematikan.

Hak hidup adalah hak asasi yang paling dasar. Dan ketika pelindung hukum justru menjadi pelaku pelanggaran, maka negara tak bisa tinggal diam.

“Diam berarti membenarkan. Diam berarti membuka jalan pada impunitas,” ucap Irvan.

Kompolnas pun telah mengindikasikan bahwa terdapat kesalahan penilaian ancaman dan penggunaan senjata api oleh AKBP Oloan. Maka, pertanyaannya kini adalah: sampai kapan negara terus membiarkan kasus ini mengendap?. (Red)

Berita Terkini