Hutan yang Ditebang, Hukum yang Dilanggar: Wajah Muram KSDA Langkat Timur Laut di Tanjung Pura

Breaking News

- Advertisement -

 

MUDANEWS.COM, LANGKAT — Dahulu, kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading Langkat Timur Laut (SMKG LTL) dikenal sebagai rumah bagi beragam satwa liar seperti bangau bluwok, elang laut, dan lutung hitam.

Kini, suara burung dan desir hutan mangrove telah tergantikan oleh suara egrek panen dan kendaraan pengangkut sawit. Bau tandan buah segar (TBS) kelapa sawit menyelimuti lahan yang seharusnya menjadi zona konservasi.

Di balik hijaunya hamparan sawit, tersembunyi kisah kelam tentang perambahan, pembiaran, dan pembungkaman hukum.

Lebih dari 120 hektare lahan konservasi di Desa Tapak Kuda, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat telah berubah fungsi sejak awal 2000-an. Kelompok tani fiktif disebut menjadi kedok perambahan sistematis yang dikendalikan oleh pemodal kuat, Alexander Halim alias Akuang.

“Dulu kami ke laut lewat hutan bakau itu. Sekarang? Semua sudah jadi kebun sawit,” kata Muhammad Ramlan, mantan nelayan tradisional dan mantan Kepala Desa Tapak Kuda, Jumat (6/6/2025).

Meski sudah disita negara pada 14 Oktober 2022 berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 39/Sit/Pid.Sus-TPK/2022, lahan tersebut hingga kini tetap dipanen. Hasil investigasi pada 4 Juni 2025 menunjukkan panen TBS masih berjalan dengan pengawalan oknum aparat berpakaian preman. Papan sitaan dari Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu) hanya menjadi hiasan.

Pengelolaan lahan kini disebut berada di bawah nama Koperasi Serba Usaha Sinar Tani Makmur (STM) yang dipimpin oleh Rajali alias Agam, orang dekat Akuang.

“Ini pelecehan terhadap hukum. Bagaimana mungkin barang sitaan negara masih bisa dimanfaatkan oleh pihak yang disidang?” kata Ramlan, kini menjadi aktivis Forum Hijau Sumut.

Dibalik Modus Perambahan: Dari Panglong Arang ke Mafia Tanah

Menurut penelusuran, sejak 1980-an kawasan tersebut digunakan sebagai panglong arang “Batang Brohol”. Masuk era 1990-an, terjadi peningkatan aktivitas ilegal lewat perambahan oleh kelompok tani fiktif.

Sejumlah nama kepala desa diduga terlibat, seperti Ismail (mantan Kades Tapak Kuda 2003–2009), Jami’an (Kades Pematang Cengal), dan Lukmanul Hakim (Plt Kades Pantai Cermin). Mereka disebut memindahkan tapal batas hutan mangrove ke wilayah administrasi desa, memberi legitimasi palsu kepada penggarap.

Akuang disebut sebagai aktor utama melalui Koperasi STM yang kini dijadikan kedok kegiatan ekonomi di lahan konservasi. Kasus ini kini tengah disidangkan di Pengadilan Tipikor Medan.

Ia didakwa dalam perkara No. 138/Pid.Sus-TPK/2024/PN Mdn, sementara Imran, S.Pd, Kepala Desa Tapak Kuda, menjadi terdakwa dalam perkara No. 139/Pid.Sus-TPK/2024/PN Mdn karena diduga memberi legalitas administratif.

Negara Dirugikan, Rakyat Ditinggalkan

Dalam persidangan terungkap, hasil panen sawit dari kebun seluas 210 hektare disetor langsung ke Akuang melalui Rajali. Kerugian negara akibat alih fungsi kawasan konservasi ini diperkirakan mencapai Rp787,17 miliar.

Meski begitu, Akuang belum ditahan. Kuasa hukumnya, Fauzi Nasution, menyebut penahanan ditolak karena alasan usia lanjut.

Imran sendiri mengaku hanya menjalankan tugas administratif. “Saya baru jadi Kepala Desa tahun 2013. Saat itu Akuang hanya minta dibuatkan resi koperasi. Saya heran, kok bisa jadi terdakwa?” ujarnya, Rabu (4/6/2025).

Namun warga menilai, Imran mungkin hanya pion kecil dalam permainan besar yang dikendalikan oleh jaringan mafia tanah dan ekonomi.

Penegakan Hukum yang Tumpul

Muhammad Ramlan mengecam lemahnya sikap aparat. “Sudah jelas itu kawasan hutan negara. Kami minta hutan dikembalikan seperti semula, dan mafia tanah ditindak tegas,” katanya.

Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Stabat, melalui Kasi II Boby, mengaku telah meminta agar aktivitas dihentikan, namun operasi tetap berlanjut secara diam-diam. Kasipenkum Kejatisu, Andre Wanda Ginting, menyatakan proses hukum masih berjalan dan kini bergantung pada putusan hakim.

Namun pembiaran yang berlangsung lebih dari dua tahun pasca-sitaan menunjukkan lemahnya komitmen negara dalam menjaga kawasan konservasi.

Kerusakan yang Tak Terbalaskan

Alih fungsi hutan membuat abrasi makin parah, populasi satwa menurun drastis, dan masyarakat pesisir kehilangan akses laut akibat sedimentasi dari kebun sawit.

“Dulu anak-anak kami lihat bangau bluwok di belakang rumah. Sekarang yang ada cuma truk sawit,” keluh warga di Desa Pantai Cermin.

Kasus Akuang bukan sekadar perkara hukum, tapi ujian moral bagi negara dalam melindungi hutan. Ketika kawasan suaka margasatwa bisa dikuasai dan dieksploitasi secara terang-terangan, publik patut bertanya: siapa sebenarnya yang dilindungi hukum hutan atau para cukong?

(Laporan: Muharam)

Berita Terkini