Barak Induk (Bukan) Anak Tiri Yang Terisolasi

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Barak Induk merupakan sebuah pemukiman yang dihuni para pengungsi korban konflik Aceh. Penduduk setempat pada umumnya adalah suku Jawa yang lahir dan dibesarkan di Aceh. Sebelumnya mereka memiliki pekerjaan atau profesi yang cukup produktif untuk menjamin perekonomian dan memenuhi kebutuhan hidupnya di Aceh, namun semua musnah karena terjadinya peristiwa konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tahun 1999. Berbagai teror mereka dapatkan, perampokan, penganiayaan, juga pembunuhan, hingga akhirnya pengusiran paksa yang membuat mereka mau tidak mau harus keluar dari Aceh.

Setelah keluar dari Aceh, warga yang bingung harus kemana dan bagaimana untuk melanjutkan hidupnya itu mendapat informasi bahwa terdapat sebuah lahan tidur yang berbatasan langsung dengan perkebunan kelapa sawit di wilayah Sei Lepan, Langkat, Sumatera Utara.

Benar saja, ketika mereka melihat langsung kawasan itu tampak terlantar dengan hamparan ilalang dan tumbuh-tumbuhan perdu yang cukup luas, serta berbagai tunggul kayu besar. Sebelumnya mereka mencari informasi ke warga sekitar terlebih dulu mengenai status kepemilikan lahan tersebut, dari informasi yang mereka terima, warga sekitar mengatakan bahwa lahan tersebut merupakan lahan milik negara. Mengetahui hal itu, mereka berinisiatif membuat surat pemberitahuan ke 33 instansi pemerintahanan terkait hingga pusat, namun tak pernah ada jawaban.

Pada tahun 2000, Polisi Hutan dan petugas Balai Besar-Taman Nasional Gunung Leuser (BB-TNGL) mengklaim bahwa Barak Induk merupakan kawasan hutan yang di lindungi oleh PBB konvensi UNESCO-MAB Biosphere Reserve-Word Heritage.

Namun, pihak BB-TNGL tidak pernah membuktikan perbatasan hutan secara pasti, hal ini membuat pernyataan yang dipaparkan sebelumnya tampak tak rasional, didukung lagi dengan bukti fisik adanya perkebunan sawit yang sudah beroperasi puluhan tahun di sekitar lokasi Barak Induk dan tidak terdapat pohon hutan di lahan tersebut saat pertama kali warga memasuki wilayah ini. Mulanya mereka hanya membuat sebuah base camp untuk menampung 7 Kepala Keluarga dan barak tersebut hingga saat ini dikenal dengan nama Barak Induk. Seiring berjalannya waktu, Barak Induk kini telah dihuni oleh lebih dari 600 jiwa, yang memenuhi kebutuhan hidupnya dari hasil bercocok tanam.

Demi terorganisirnya masyrakat setempat, warga sepakat untuk membentuk sebuah organisasi yang diberi nama Petani Indonesia Pengungsi Aceh (PIPA) pada tanggal 23 Mei 2000. PIPA sendiri memiliki missi untuk memberdayakan dan meningkatkan perekonomian rakyat dengan memanfaatkan sumber daya alam serta membuka berbagai usaha, membangun sarana dan prasarana pendidikan, dan menggalakkan tanaman apotek hidup untuk mengatasi masalah kesehatan.

Saat ini secara administrasi, Barak Induk telah diakomodir sebagai warga penduduk Desa Harapan Maju, Kecamatan Sei Lepan, Kabupaten Langkat. Dengan kata lain, status dan keberadaan warga Barak Induk telah diakui, namun mirisnya para politisi justru memanfaatkan suara warga saat pemilu tanpa sungguh-sungguh mengabulkan janjinya untuk memenuhi hak-hak warga setempat.

Pihak BB-TNGL melalui proses dialog pernah menawarkan relokasi pada warga Barak Induk, namun warga menolaknya karena tidak ada anggaran ataupun jaminan kehidupan yang disiapkan pemerintah untuk merelokasi warga. Gagalnya pendekatan dialog tersebut membuat pihak BB-TNGL melakukan tindakan represif yang puncaknya terjadi pada 13 Juni 2013.

Penggusuran dilakukan berdasarkan Surat Keputusan Bupati Langkat melalui operasi terpadu pengawasan hutan dan praktek illegal logging yang terdiri dari TNI, Polri, dan Polhut dengan menggunakan senjata lengkap. Bentrok fisik tak bisa terhindari bahkan hingga melukai warga, peristiwa berdarah itu menandakan keseriusan BB-TNGL melakukan pengusiran paksa warga dari kawasan yang diklaim sebagai Kawasan Ekosistem Leuser, sedangkan banyak pihak bahkan DPRD Sumut sendiri mengatakan bahwa Barak Induk tidak masuk kawasan TNGL dan tidak dibenarkan adanya penangkapan maupun penggusuran.

Tidak hanya masalah lahan yang harus dihadapi warga Barak Induk, tapi juga pendidikan. Awalnya anak-anak pengungsi harus menempuh jarak 7-10 km dengan berjalan kaki untuk sampai ke sekolah, ditambah lagi olok-olokan dari teman-teman sekolah yang menyebut mereka ‘Anak Hutan’ semakin menyurutkan minat untuk mengenyam pendidikan.

Melihat kondisi ini, sekitar tahun 2002 warga mulai membangun sekolah, masjid, dan posko kesehatan secara swadaya. Namun, akibat masalah izin kepemilikan lahan, sekolah-sekolah di Barak Induk harus menginduk ke sekolah lain yang telah terdaftar secara legal. Namun lagi-lagi sekolah masa pandemi saat ini yang mengharuskan segala sesuatu dilakukan secara daring juga menjadi dilema untuk proses belajar mengajar di Barak Induk karena akses internet yang sangat sulit diperoleh.

Energi listrik yang menjadi kebutuhan primer masyarakat saat ini justru belum terfasilitasi oleh negara untuk kawasan Barak Induk. Mengutip dari Yayasan Pusaka Indonesia tahun 2016, warga telah berulang kali mengajukan usulan ke pihak PLN, namun BB-TNGL melarang kawasan Barak Induk dibangun jaringan PLN.

Jika dilihat dari kuantitas dan perekonomian warga, rasanya sangat tidak mungkin pihak PLN menolak masuk kawasan ini. Sekitar tahun 2013, pihak PLN memasang instalasi ke rumah-rumah warga, diduga ini hanya skenario untuk meredam kericuhan warga karena sampai sekarang pun tak ada tanda-tanda positif akan masuknya PLN ke Barak Induk. Untuk memenuhi pasokan listrik, hingga kini warga Barak Induk hanya menggunakan generator milik swadaya. Saat ini ada sekitar 10 unit mesin generator yang harus dioperasikan setiap harinya, dengan waktu aktif mulai pukul 18.00 – 23.00/00.00 WIB.

Sejarah mencatat telah terjadi begitu banyak konflik antara warga setempat dengan oknum pemerintahan, yang di dalamnya juga terdapat intervensi dari pihak-pihak dibalik layar dengan berbagai kepentingan tersembunyi. Warga sangat berharap akan perhatian dari pemerintah terhadap pemenuhan hak-hak masyarakat setempat, baik dalam pengadaan fasilitas umum maupun keadilan hukum.

Barak Induk merupakan salah satu daerah mandiri yang di anak tirikan di negeri sendiri. Dalam artian, masih banyak daerah-daerah terisolir lainnya yang luput dari perhatian pemerintah bahkan tidak terekspos media. Jangan sampai perhatian pemeritah semakin asing pada rakyatnya sendiri.

Dwi Sartika, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, Institut Agama Islam Negeri Langsa, KPM 2021, DPL : Junaidi, M.Pd.I

- Advertisement -

Berita Terkini