Budaya Dualisme Organisasi

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Saat saya memakai diksi ‘dualisme’ dalam tulisan ini, maksudnya bukan pada pemahaman ‘dualisme’ dalam diskursus filsafat yang menyatakan adanya dua substansi, yaitu jiwa dan raga.

Akan tetapi, maksud dari dualisme ini disini adalah dalam konteks sosial-politik, sebuah kata praksis yang saya gunakan untuk menggambarkan sebuah fenomena sosial-politik.

Sebuah fenomena yang sebenarnya bukan hal baru lagi di telinga kita, yaitu perpecahan (dualisme) kepengurusan dalam sebuah Organisasi Sosial Politik (Orsospol), Organisasi Masyarakat (Ormas), dan Organisasi Kepemudaan (OKP), Organisasi Mahasiswa (Ormawa), dan tidak sedikit kita menemukan dualisme kepengurusan sebuah lembaga lainnya, seperti yang berbentuk Yayasan, Non-Governmental Organization (NGO) atau dalam bahasa kita sehari-hari disebut Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan sejenisnya.

Tanpa menyebut nama organisasi-organisasi tersebut secara khusus, kita sering menemukan perpecahan yang terjadi dalam sebuah organisasi. Seperti yang saya tulis di atas tadi, fenomena itu bukan lagi hal yang baru di negeri kita.

Akan tetapi, belakangan hari ini, saat kita benar-benar dalam hipnotisasi demokrasi, budaya dualisme organisasi begitu mudah kita temukan.

Budaya dualisme organisasi begitu mudah kita dapati yang menurut saya organisasi itu bukan lagi organisasi kecil. Bahkan organisasi itu adalah organisasi yang sudah lama berdiri, sudah mencicipi asam garam, bahkan sudah teruji oleh sejarah.

Akan tetapi, akhir-akhir ini tidak dapat melawan sebuah gejolak buruk sehingga terjadi perpecahan antara pengurus atau kader-kadernya.

Langkah-langkah perpecahannya pun bemacam-macam, serta faktor-faktor perpecahannya pun begitu juga.
Kiranya tidak perlu saya menyebutkan organisasi-organisasi yang mengalami dualisme saat ini secara spesifik.

Setiap kita pasti dengan mudah dapat membuat daftarnya. Yang terpenting saat ini adalah mencari sebab-musabab mengapa akhir-akhir ini banyak sekali yang mengalami dualisme.

Apa penyebab itu semua?
Setiap kita pasti mengantongi jawaban masing-masing, apa lagi pengurus-pengurus atau kader-kader sebuah organisasi yang mengalami dualisme tersebut, pastinya memeliki jawaban versinya sendiri, dan menganggap versinya berada dalam pihak yang benar.

Saya akan coba memandang dari dua segi atau sudut pandang untuk membedah mengapa dualisme terjadi, sehingga saya katakan tadi sebagai sebuah budaya mayoritas organisasi di Indonesia pernah mengalaminya. Tidak menutup kemungkinan dualisme ini terjadi di negara-negara lain juga.

Segi yang pertama adalah dari internal organisasi itu sendiri, yaitu terjadinya sebuah penyimpangan yang dilakukan oleh pengurus-pengurus atau kader-kader itu sendiri.

Maksud penyimpangannya adalah tidak lagi mematuhi aturan main organisasi, tidak lagi amanah, dan juga karena adanya perebutan kekuasaan di tampuk kepemimpinan.

Alhasil terjadi gerakan dari dalam untuk merebut kekuasaan dengan jalur menyusun kepengurusan yang lain, tetapi masih dalam satu organisasi. Ada juga yang tidak siap menerima kekalahan dalam rapat resmi yang sebenarnya.

Selain itu adanya sebuah “kepentingan” yang tidak terakomodir, dan hal ini paling sering terjadi yang mengakibatkan perpecahan kepengurusan. Penyebab ini terjadi bisa karena situasi kontestasi politik praktis yang sedang menghangat, bisa juga karena hasrat ingin berkuasa.

Dan masih banyak hal-hal lain yang menjadi faktor internal, seperti tidak memahami aturan main organisasi, sehingga cenderung ingin berkehendak sendiri dan kehendak kelompok, segala cara pun akan dihalalkan.

Kemudian, kita bisa melihat dari segi eksternalnya. Maksudnya di sini adalah adanya sebuah pengaruh yang muncul dari luar kepengurusan atau kader-kader organisasi itu sendiri.

Katakanlah sejak awal sudah memasukkan sebuah “titipan” atau merekrut seseorang yang akan menghancurkan organisasi tersebut dari internal. Bukan hanya menjadikan dualisme, spekulasi saya adalah untuk membubarkannya.

Misalnya niatan menghancurkan sebuah organisasi yang sangat tidak mungkin untuk dualisme, tapi dengan perlahan-lahan merusak dan mempengaruhi kader-kader di dalamnya, dualisme otomatis pun terjadi.

Untuk membubarkan organisasi itu mungkin sangat mustahil mengingat organisasi tersebut sudah terlatih, caranya melemahkan dari sistemnya sendiri, seperti menumbuhkan bibit tumor.

Maksud saya dalam faktor kedua ini adalah adanya penyusup yang masuk ke dalam suatu organisasi tersebut. Tugasnya tentunya merusak, melemahkan, menghancurkan bahkan target besar agar bubar. Dengan segala cara ia akan lakukan.

Siapakah mereka itu tentunya adalah sekelompok orang yang bisa mengendalikan sistem di dalamnya.
Faktor kedua ini bisa terjadi disebabkan penjaringan menjadi pengurus dan atau kader tidak lagi selektif, sehingga berbagai macam “isi kepala” yang masuk di dalamnya.

Selain itu disebabkan idealisme organisasi sudah dihiraukan sehingga memudahkan “orang asing” masuk mempengaruhi, bisa dengan bujuk rayuan mendapatkan jabatan-kekuasaan, dan bisa juga dengan segumpal uang atau harta. Akhirnya idealisme organisasi tergadaikan. Hal ini terkhusunya kepada organisasi mahasiswa, dan pemuda.

Jika budaya orgnisasi di negara kita begini-begini terus, itu artinya diksi-diksi persatuan, merajut, membangun, merawat, dan semacamnya itu hanya omong kosong belaka dinaikkan sebagai tema-tema diskusi, dialog, dan rapat besar sebuah organisasi.

Nah, sebagai upaya refleksi perbaikan, mari kita kembali pada tujuan dasar sebuah organisasi didirikan di negeri kita ini. Saya pikir tentunya tidak ada tujuan sebuah organisasi-organisasi yang kita sebutkan tadi bersifat untuk kejahatan. Jika ada organisasi kejahatan, tentunya itu adalah organisasi terlarang.

Sedangkan yang kita maksud bukanlah organisasi terlarang. Maksudnya terlarang bukan karena tak mendapatkan ijin dari pemerintah, tapi pada hakekatnya sudah memang pada kejahatan. Artinya, semua bentuk organisasi yang bertujuan pada kejahatan, itu adalah organisasi terlarang.

Tujuan dasar yang kita maksudkan adalah tentunya demi persatuan dan pembangunan bangsa serta negara. Baik persatuan yang bersifat batas territorial, suku, agama, golongan dan pembangunan kemanusiaan.

Jika tujuan-tujuan baik organisasi tersebut kita junjung tinggi, pasti kita tidak akan membudayakan dualisme. Tidak akan terpengaruh oleh bujuk-rayu dari seorang atau sekelompok orang yang mengambil “kepentingan” di organisasi kita.

Artinya, merawat persaudaraan sangat penting dalam sebuah organisasi.
Dan jika tidak ingin membudayakan dualisme ini, daripada terjadinya budaya dualisme, lebih baik membentuk sebuah organisasi baru dengan tujuan-tujuan yang baik pula.

Singkatnya begini, apalah yang didapat dari gaduh. Yang menang jadi wabah, yang kalah jadi sampah!

Oleh: Ibnu Arsib
Penulis adalah penggiat literasi dan pemerhati keadaan.

 

- Advertisement -

Berita Terkini