Etika Menyampaikan Kritik

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Realitas Bangsa Indonesia ini plural. Suku bangsanya banyak, tentu dengan etika sosialnya masing-masing. Etika sosial orang Papua, berbeda dengan etika sosial orang Jawa, atau etika sosial orang Bugis, berbeda dengan etika sosial orang Batak, etika sosial orang Dayak berbeda dengan etika sosial orang Madura, etika sosial orang Minang berbeda dengan etika sosial orang Sunda, misalnya demikian.

Dalam hal pluralitas sebagai akibat dari pendidikan, rentangnya lebih luas lagi. Etika sosial mereka yang sudah Professor, tentu paling ideal, lalu mereka yang Doktor, yang sarjana, yang tamatan SMA, yang tamatan SMP, SD hingga yang tidak sekolah tentu berbeda-beda.

Dalam hal lingkungan pergaulan, tentu juga berbeda-beda. Mereka yang hidup di lingkungan militer, akan berbeda etika sosialnya dengan mereka yang hidup di lingkungan sipil.

Yang hidup di perkotaan akan berbeda dengan yang hidup di pedalaman, pedesaan. Di pantai dengan yang di pegunungan juga berbeda-beda. Yang besar di lingkungan pesanteren dengan yang besar di lingkungan pasar tentu berbeda beda cara mereka mengekspressikan etika sosial, dan seterusnya.

Sebab itu, pluralitas ini mesti disikapi dengan arif dan bijaksana. Tidak dapat diterima jika ada upaya menyeragamkan cara bertindak dan beprilaku yang tanpa memperhatikan keberagaman, kebhinekaan sistem dalam sistem sosial kita.

Cara menyampaikan kritik, sudah barang tentu juga akan berbeda-beda. Ada yang menyampaikan kritik dengan santun, berbudi pekerti, karena mereka telah terdidik, ada yang sebaliknya karena memang belum terdidik. Ada yang menggunakan bahasa yang enak didengar, sastrawi.

Tapi ada yang bikin panas kuping, bisa jadi karena kosa kata yang mereka kuasai atau sehari-hari mereka gunakan hanya seperti itu. Ada pula yang dalam menyampaikan kritik, secara berkelompok, ada yang sendiri-sendiri.

Ada yang tidak anarkhis, ada yang anarkhis, mungkin karena rasa yang mereka derita berbeda. Mereka yang merasa menderita sangat dalam, dengan mereka yang sesungguhnya tidak merasakan derita, akan meluapkan ekspressi penderitaan yang dialaminya berbeda-beda.

Jadi, wahai para pembesar negeri, pahamilah aneka keragaman masyarakat yang kalian pimpin. Jangan anggap mereka semua telah Doktor, telah jadi Professor. Sadarlah dengan kebhinekaan. Dan bersikaplah dewasa serta bijaksana.

Oleh : Hasanuddin, MSi
Ketua Umum PB HMI 2003-2005

- Advertisement -

Berita Terkini