Heboh Dugaan Plagiat di USU, Sanksi Ini Menunggu Plagiator

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Medan – Heboh praktik plagiasi yang dilakukan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sumatera Utara (FISIP USU) Muryanto Amin yang juga Rektor USU terpilih periode 2021-2026 menjadi perbincangan hangat sejak awal Desember 2020.

Muryanto Amin pun telah dijatuhi hukuman penundaan kenaikan pangkat dan golongan selama 1 tahun akibat melakukan praktik plagiasi jurnal atau artikel yang dipublikasi pada jurnal Man in India pada 2017 lalu.

Selain hukuman penundaan kenaikan pangkat, Muryanto juga dihukum mengembalikan insentif yang telah diterimanya ke kas USU atas terbitnya artikel berjudul:  A New Patronage Networks of Pemuda Pancasila in Governor Election of North Sumatra, yang dipublikasikan pada jurnal Man in India, yang terbit pada September 2017, untuk syarat kenaikan pangkat dari lektor kepala menjadi guru besar.

Lalu apa sebenarnya self plagiarism atau auto plagiasi seperti yang dituduhkan kepada Muryanto Amin itu ? Ketua Majelis Nasional Perhimpunan Pergerakan 98 yang juga jurnalis senior Tempo Sahat Simatupang mengemukakan pandapatnya.

Menurutnya, self plagiarism sering terjadi pada sebuah penelitian akademis atau penerbitan jurnal yang menggunakan data penelitian lama tanpa memberikan catatan atau sitasi agar tercipta sebuah hasil yang baru.

Meskipun self plagiarism merupakan tindakan yang masih menuai pro dan kontra, menggunakan hasil penelitian sendiri tanpa memberikan sitasi atau catatan, menurut Sahat merupakan sebuah tindakan yang melanggar kode etik karena telah menipu pembaca dengan memberikan karya lama yang seolah-olah menjadi baru dan asli atau original. “Apalagi diterbitkan secara berulang kali dibeberapa jurnal yang berbeda,” kata Sahat, Senin (18/1/2021).

Sahat mengaku pernah dilibatkan beberapa dosen peneliti untuk menerbitkan jurnal dengan memberi masukan agar terhindar dari self-plagiarism karena bisa dianggap melanggar kode etik.

“Karena ketika karya tulis kita telah dikirim ke pihak lain atau ke penerbit dan ada kesepakatan peralihan hak cipta, maka tindakan menuliskannya kembali sebagian atau seluruhnya dalam karya tulis yang baru merupakan tindakan yang dilarang dan menipu pembaca,” ujar Sahat.

Dalam kasus auto plagiasi yang  diduga dilakukan dosen Muriyanto Amin seperti kehebohan beberapa pekan terakhir ini, sambung Sahat, apakah auto plagiasi itu dilakukan secara berulang kali oleh Muryanto Amin.

“Jika dilakukan secara sengaja dan berulang kali maka itu sebuah tindakan yang melanggar kode etik dan cap plagiator akan melekat selamanya. Namun jika dia melakukan itu karena ketidaktahuan aturan hak cipta dan konsekwensi melakukan auto plagiasi atau duplikasi, maka dia harus meminta maaf secara terbuka. Jangan malu mengakui khilaf,” tutur Sahat.

Self plagiarism, ujar Sahat sering terjadi di dunia akademik. Pelakunya mulai dari mahasiswa hingga dosen untuk tujuan mengejar kenaikan pangkat melalui penerbitan jurnal maupun penelitian.

“Menerbitkan hasil penelitian yang sama dalam beberapa jurnal yang berbeda adalah bentuk self plagiarism dan menipu pembaca karena seolah menyajikan data dan fakta baru padahal tidak,” ujar Sahat.

Untuk terhindar dari self plagiarism, sambung Sahat diawali dari niat si penulis. Setelah bahan tulisan yang akan dipublikasi selesai harus melakukan – check and recheck bahkan triple check seperti kerja jurnalis – agar terhindar dari tuduhan self plagiarism. Lebih elok lagi, saran Sahat, dengan melibatkan ahli perpustakaan karena acapkali bahan jurnal diambil dari skripsi, tesis maupun disertasi pribadi.

“Tujuannya mengecek seberapa identik kesamaan yang dimiliki dari hasil karya tulis yang lama dengan karya tulis yang baru. Jika bahan yang dipublikasi untuk jurnal baru memiliki kemiripan di bawah 10 persen dengan jurnal lama atau skripsi, tesis maupun disertasi pribadi , maka masih dibawah tolerasi,” tutur Sahat.

Namun jika lebih dari 10 persen bahkan hingga 90 an persen, sambung Sahat, maka bisa dikategorikan melakukan praktik plagiasi. “Dalam kasus jurnal yang diterbitkan oleh Muryanto Amin berulang kali apakah bahan yang dipublikasi untuk jurnal baru masih dibawah batas toleransi atau tidak. Saya rasa tujuan tim penelusuran dibentuk Rektor USU untuk menguji itu,” ujar Sahat.

Jika bahan yang dipublikasi untuk jurnal baru data nya diatas 10 persen sama dengan jurnal lama maka, ujar Sahat, akan menghadapi tuduhan pelanggaran terhadap etika akademik dan pelanggaran hak cipta.

“Kalau tuduhan pelanggaran etika tidak ada sanksi hukum formal pengadilan, tapi pelanggaran hak cipta bisa dipidana. Jadi surat Rektor USU Nomor 82 tanggal 14 Januari 2021 tentang penetapan sanksi pelanggaran norma, etika akademik sangat bagus agar tidak terulang di lingkungan kampus mana pun,” ujar Sahat.

Lingkungan kampus, sambung Sahat, harus menjaga kejujuran dan etika keilmuan karena kampus benteng terakhir menciptakan orang – orang jujur. “Budaya curiga dan langsung menyerang orang yang bertujuan baik bukan karakter pemilik ilmu pengetahuan,” ujar aktivis 98 ini. (tim)

- Advertisement -

Berita Terkini