Istana dan Esensi Alat Kampanye “ala” Penguasa

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Gibran Rakabuming anak kandung Presiden Jokowidodo sudah di dapuk oleh Partainya PDIP menjadi Calon Walikota Solo untuk Pilkada yang akan dilakukan tahun ini. Tinggal menunggu menantunya di Kota Medan yaitu Bobby Nasution.

Pilkada kali ini menjadi Pilkada yang sama sekali tidak menyenangkan, dikarenakan proyek dinasti begitu “telanjang” dipertontonkan oleh Presiden sebagai pimpinan tertinggi negeri ini.

Kita ingat bahwa kemarin, Gibran sendiri yang menyatakan menolak Politik Dinasti karena hanya akan menyengsarakan Rakyat dan juga dia mengatakan tidak tertarik dengan Politik Dinasti. Tapi kini kenyataan berkata lain.

Apakah demokrasi yang digaungkan untuk menolak Monarki kini sudah menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan Monarki? Ada esensi yang menyakitkan dalam politik dinasti. Politik dinasti bisa saja terjadi ketika seorang pemimpin itu tidak dapat memimpin lagi alias di dalam proyek demokrasi sudah menjabat dua periode. Maka sang pemimpin akan mengusahakan anak atau kerabat dekatnya untuk ikut dalam kontestasi politik tentunya dibantu dengan kekuatan politik yang masih dipunyai.

Lalu, benarkah saat ini Presiden sedang memainkam Politik dinasti? Tidak bisa dibilang tidak, jika melihat Track record dari anak kandung dan menantunya, sama sekali tak punya jejak karir politik. Gibran hanya pengusaha dan masih sangat “belia” dalam dunia politik, bahkan belum pernah terdengar track record dalam memimpin pimpinan secara politik, sama seperti menantunya Bobby Nasution yang akan bermain di Pilkada Kota Medan, juga tak terdengar track Record karir politiknya. Jika tidak dikatakan merek berdua hanya membawa nama ayah dan mertua untuk menaikkan elektabilitasnya ditengah-tengah masyarakat. Selebihnya tidak ada yang dibanggakan.

Istana kini menjadi Rumah Kampanye bagi anak dan menantunya. Mungkin tidak secara langsung, tapi secara tidak langsung elemen istana akan ikut membantu kemenangan dari dinasti politik ini. Bahkan secara suka atau tidak suka.

Ada yang lucu, ditengah-tengah kemerosotan kepercayaan rakyat terhadap kepemimpinan Presiden, Presiden malah berusaha untuk membiarkan jika tidak dikatakan sengaja dibiarkan untuk ikut dalam kontestasi Pilkada. Tidak ada yang salah pada siapapun yang ikut dalam kontestasi politik.

Jika hanya mengandalkan nama ayah atau mertua, tanpa pernah memiliki pengalaman dalam memimpin tentunya ini akan membuka peluang bagi kepala daerah lainnya untuk melakukan hal yang sama. Dan akan menciptakan para pemimpin yang “impoten” dalam memimpin.

Sekali lagi negeri ini butuh pahlawan dan negarawan dalam memimpin. Negeri sudah terlalu babak belur dalam kebijakan yang tidak pro rakyat, jangan lagi ditambah hancur dengan membuat dinasti politik.

Politik di negeri ini memang politik demokrasi, tapi demokrasi sendiri seperti yang saya katakan diatas adalah alat untuk menolak berbagai macam dinasti dan monarki. Jika masih digunakan, tentunya ada hati rakyat yang tersakiti, karena tentunya masih ada yang lebih layak memimpin daripada sekedar pemimpin hasil demokrasi, atau pasti ada yang tersakiti dikarenakan kalah dengan legitimasi Pak Presiden dan Istana, padahal dari segi pengalaman dan track record lebih layak untuk dicalonkan. Salam

Penulis : Januari Riki Efendi, S.Sos
Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana jurusan Pemikiran Politik Islam UINSU dan Pegiat Literasi.

- Advertisement -

Berita Terkini