Mengukur Kualitas Demokrasi

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Pertanyaan awal yang sepertinya penting untuk dijawab sebelum berbicara lebih dalam tentang ukuran kualitas demokrasi adalah apakah demokrasi itu barang jadi, diturunkan dari langit dan secara sempurna bisa diterapkan oleh negara bangsa ?, Georg Sorensen (1993) mengatakan bahwa demokrasi itu bukanlah barang jadi dan bersifat statis, namun sebaliknya ia merupakan bingkai dinamis dari produk pikiran manusia.

Oleh karenanya, gerak demokrasi kata Tadjuddin Noer Effendi (2014) bisa maju kedepan, bisa juga membeku (frozen democracies), layu, membonsai mengalami situasi yang dalam dunia kesehatan disebut sebagai stunting (satu situasi dimana anak mengalami gagal tumbuh, tinggi badan dibawah minus, perkembangan otak yang tidak maksimal, kemampuan mental lemah yang diakibatkan karena kekurangan asupan gizi), atau dapat juga mengalami kemunduran, tersesat kedalam siklus otoritarianisme.

Wajar saja jika dalam banyak catatan sejarah tertulis dengan jelas bahwa banyak negara yang sesungguhnya sudah bertransformasi dari otoritarian, menuju demokrasi namun kembali berbelok arah menjadi otoritarian. Larry Daimond tulisannya Facing Up to the Democratic Recession (2015) mengatakan bahwa sejak tahun 2006 dunia mengalami penurunan performa demokrasi dan resesi ini tidak hanya melanda negara-negara di Asia dan Afrika tetapi juga terjadi Eropa Barat, yang ditandai dengan menurunnya tingkat kebebasan politik masyarakat dan berkembangnya politik berbasis rasial.

Tesis Soresen dan Larry Daimond ini memberikan pesan bahwa tidak ada jaminan bagi satu negara bangsa akan terus berada dalam kondisi demokrasi yang stabil dan mapan, hidup dan matinya demokrasi di suatu negara bangsa sangat bergantung komitmen para pihak untuk menjaga dan mengawal gerak dan irama demokrasi.

Mengukur Kualitas Demokrasi
Ilustrasi

Demokrasi itu lanjut Sorensen (1993) adalah anti tesis dari monarki despotis yang menganggap kekuasaan didapatkan dari restu ilahi, paling tidak ada dua komponen besar yang ingin dibangun demokrasi: Pertama kekuasaan tidak lagi dianggap sebagai hak supranatural, melainkan wujud dari kedaulatan rakyat, klaim ini melahirkan mekanisme perwakilan yang dapat menjamin bahwa yang memegang kekuasaan mendapat dukungan dari rakyat. Kedua usaha yang maksimal untuk “membatasi”kekuasaan negara atas masyarakat sipil dan membangun struktur yang dapat mengamankan mandat rakyat atas kekuasaan. Dalam bingkai demokrasi yang hendak dibangun bukanlah “kekuasaan untuk kekuasaan” tetapi kekuasaan untuk mampu memberikan perlindungan pada pemegang kedaulatan (rakyat), serta memastikan pengampu kekuasaan akan merumuskan, menjalankan kebijakan yang sesuai dengan kepentingan rakyat secara keseluruhan.

Perlindungan atas rakyat adalah bentuk pengakuan negara atas hak suara yang bersifat universal “satu orang satu suara dan satu nilai”, dan sekaligus kesadaran bahwa dalam demokrasi kekuasaan bisa ditumbangkan.

Dua komponen ini menurut Larry Daimond dalam the spirit of democracy (2008) secara teori melahirkan dua kutub besar dalam memandang demokrasi, satu berpandangan sederhana dan satu lagi lebih komprehensif (Thin and thick conception), yang berpandangan sederhana menyatakan bahwa demokrasi adalah metode politik, sebuah mekanisme memilih pemimpin atau sebuah model penataan kelembagaan yang memungkinkan individu atau kelompok memperoleh kekuasaan dengan cara berkompetisi untuk mendapatkan dukungan mayoritas pemilih (electoral democratic), sedangkan yang berpandangan lebih luas dan komprehensif menyatakan bahwa demokrasi tidak hanya dapat diukur dari ada atau tidaknya mekanisme pemilihan pemimpin saja, tetapi juga diukur dari ketersediaan ruang bagi partisipasi rakyat untuk mengawasi agenda politik kekuasaan, serta akses yang luas terhadap sumber-sumber ekonomi dan kesejahteraan.

Pada salah satu bagian tulisanya Larry Daimond (2008) membuat pertanyaan yang kemudian beliau jawab sendiri : apakah bisa disebut demokrasi jika di dalam satu negara bangsa tidak ada kebebasan mengemukakan pendapat, berserikat dan berkumpul, memilih dan menjalankan agama berdasarkan kepercayaan, untuk hidup dan memilih tempat tinggal, terdapat diskriminasi yang bersifat rasial, tidak ada penegakan hukum dan persamaan didepan hukum, sekalipun di negara tersebut terdapat pemilihan umum yang dijalankan secara reguler, bebas dan adil ?.

Beliau kemudian menjawab bahwa hadirnya pemilu yang bebas dan adil, tanpa dibarengi dengan pengakuan, penghargaan, pemenuhan perlindungan terhadap hak asasi manusia baik sipil politik maupun ekonomi sosial dan budaya, belumlah cukup untuk menyebut negara tersebut sebagai negeri yang demokrasi.

Pandangan ini cukup beralasan, sebab dalam kenyataannya demokrasi electoral kadang-kadang dapat hidup berdampingan dengan pelanggaran serius hak asasi manusia ; perbatasan kebebasan yang signifikan pada berbagai lini kehidupan, diskriminasi pada kelompok minoritas, penegakan hukum yang lemah, berkompromi dengan peradilan yang sesat, korupsi yang merajalela, pemerintah yang tidak responsif, serta menyebarluasnya kejahatan dan kekerasan. Dengan agak menyindir larry Daimond (2008) mengatakan bahwa demokrasi electoral memang membantu membuat nilai-nilai kebebasan, kesetaraan, transparansi, penegakan hukum atau dalam demensi yang agak lebih luas kita sebut nilai-nilai hak asasi manusia sepertinya mudah untuk dicapai, akan tetapi tidak diciptakan struktur kelembagaan yang jelas bagaimana memastikan terwujudnya nilai-nilai tersebut.

Nilai-nilai kebebasan, kesetaraan, transparansi, penegakan hukum, pemberantasan korupsi, persamaan didepan hukum, anti diskriminasi rasial, peradilan yang bebas dan adil pada akhirnya hanya menjadi coretan diatas kertas, menjadi hiasan dinding-dinding kantor-kantorlembaga negara, atau menjadi ornamen perkotaan dalam bentuk spanduk besar yang memukau, tanpa kepastian akan terwujud dalam kehidupan nyata bernegara.

Demokrasi palsu (pseudodemocracy) kata Larry Daimond, atau negara zona abu-abu (gray zone countries) kata Thomas Carothersadalah terminologi yang paling tepat untuk memberikan gambaran terhadap situasi diatas.

Ukuran Kualitas Demokrasi

Mengukur Kualitas Demokrasi
Ilustrasi

Baik Goerg Sorensen (1993) maupun Larry Daimond (2008, 2015) kiranya bersepakat bahwa pemilu adalah instrument penting dalam demokrasi, tetapi itu saja tidaklah cukup untuk mengukur kualitas demokrasi, dengan meminjam pandangan Robert A Dhal dan David Held Sorensen menawarkan tiga ukuran kualitas demokrasi yakni : Kebebasan, partisipasi, dan kompetisi.

Pertama kebebasan, kebebasan yang dimaksud beliau bukan hanya terpaku pada kebebasan memilih pada saat pemilu, tetapi dalam arti yang luas yakni bebas untuk berpendapat, berserikat dan berkumpul, bebas untuk menjalankan agama menurut kepercayaan, bebas dari penyiksaan dan perbudakan dan lain-lain.

Kedua partisipasi, ukuran partisipasi menurut Sorensen juga tidak berdimensi tunggal yakni hanya menyangkut partisipasi politik, sebab hak politik formal dan kebebasan akan kurang berarti jika warga negara tidak memiliki hak-hak yang sama secara substansial. Tanpa ada kesejahteraan dan jaminan negara untuk mencegah terjadinya kemiskinan material dan kesenjangan ekonomi yang tajam, maka tidaklah mungkin bagi kaum miskin untuk menikmati hak-hak politiknya secara utuh.

Hanya dengan mengurangi kemiskinan, persamaan hak-hak formal dapat ditransfer menjadi persamaan hak substansial. Ruang partisipasi mestinya dikembangkan kedalam bidang sosial dan ekonomi, dan demokrasi mestinya bergerak dari demokrasi politik menuju demokrasi ekonomi, demokrasi sosial dan otonomi demokrasi.

Ketiga Kompetisi, kompetisi diukur dari tersedianya ruang bagi kelompok oposisi untuk secara sehat bertarung memperebutkan kekuasaan pemerintahan. Prasyarat lahirnya kompetisi yang sehat kata Daniel Mark Tushnet adalah (2018) ketika penguasa menahan diri untuk tidak main kasar konstitusional, yang dengan kekuasaannya memanfaatkan hukum untuk memberangus oposisi secara permanen.

Penulis : Herdensi Adnin SSos MSP
Ketua KPU Sumatera Utara

 

- Advertisement -

Berita Terkini