Masyarakat Peduli BPJS, Kritik Kebijakan BPJS Ketenagakerjaan

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Medan – Pandemi Covid-19 berdampak banyaknya perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara massal di Indonesia.

Data Kemnaker April 2020 menunjukkan jumlah pekerja dari 116.370 perusahaan yang terimbas PHK sebesar 2.084.593 orang. Mereka dirumahkan dan kena PHK akibat pandemi Covid-19.

Dipastikan pekerja korban PHK akan berbondong-bondong mangajukan klaim Jaminan Hari Tua (JHT) di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan.

Namun, BPJS Ketenagakerjaan pun membuat kebijakan menerima pengurusan klaim JHT kolektif melalui perusahaan tempat bekerja dari korban PHK tersebut.

Langkah BPJS Ketenagakerjaan menerima pelayanan klaim JHT kolektif melalui perusahaan tempat bekerja korban PHK menuai kritik dari Koordinator Wilayah Sumut Aceh Masyarakat Peduli BPJS (KORWIL MP BPJS) Zainal Arifin Sinambela.

Sebelumnya, pada Jumat 22 Mei 2020 diberitakan Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Agus Susanto mengatakan pengajuan Klaim JHT secara kolektif bisa dilakukan oleh perusahaan yang melakukan PHK massal. Perusahaan tersebut harus mengeluarkan surat kuasa resmi untuk penunjukan perwakilan yang akan berkoordinasi dengan petugas BPJS Ketenagakerjaan.

“Pengurusan klaim JHT kolektif ini dengan kriteria perusahaan kategori menengah dan besar yang melakukan PHK minimal 30 persen dari peserta yang terdaftar,” kata Zainal Sinambela dalam keterangan tertulis, Rabu (3/6/2020).

Sinambela mengatakan pengurusan klaim JHT BPJS secara kolektif untuk pekerja korban PHK massal di eks perusahaan tempat bekerjanya itu dinilai salah urus dan bentuk lepas tanggungjawab direksi BPJS Ketenagakerjaan terhadap amanah peraturan perundang-undangan BPJS. Selain itu juga memperpanjang birokrasi pelayanan dan membebani perusahaan karena menambah pekerjaan yang bukan tugasnya.

“Dalam UU SJSN dan UU BPJS dijelaskan bahwa manfaat adalah faedah jaminan sosial yang menjadi hak peserta dan/ atau anggota keluarganya. Hal tersebut sebagai tanggungjawab langsung antara BPJS Ketenagakerjaan dengan peserta,” sebutnya.

UU No 24 Tahun 2011 Tentang BPJS Pasal 10 poin f menjelaskan tugas BPJS adalah membayarkan manfaat dan/atau membiayai pelayanan kesehatan sesuai dengan ketentuan program Jaminan Sosial. Pasal 13 poin f menyebutkan bahwa kewajiban BPJS adalah memberikan informasi kepada peserta mengenai prosedur untuk mendapatkan hak dan memenuhi kewajibannya.

Pasal 24 ayat 1 fungsi Direksi BPJS itu melaksanakan penyelenggaraan kegiatan operasional BPJS yang menjamin peserta untuk mendapatkan manfaat sesuai dengan haknya.

“Tidak ada kewenangan Direksi BPJS ketenagakerjaan meminta pihak perusahaan untuk mengeluarkan surat kuasa resmi penunjukan perwakilannya berkoordinasi dengan BPJS Ketenagakerjaan dalam pengurusan klaim JHT kolektif. Pengajuan klaim JHT itu hak peserta bukan hak perusahaan. Jadi jika peserta berhalangan dalam pengurusan klaim JHT maka peserta yang berhak mengeluarkan surat kuasa bukan pihak perusahaan,” kata Zainan Sinambela.

“Mestinya perusahaan yang melakukan PHK hanya berkewajiban menerbitkan surat parklaring untuk syarat pencairan JHT BPJS. Korban PHK pun sangat jarang mau berurusan lagi dengan bekas perusahaan tempat bekerjanya,” tambahnya.

Zainal menjelaskan Pasal 6 Ayat 1 Permenaker No 19 tahun 2015 tentang tata cara persyaratan dan pembayaran manfaat JHT menyebutkan bahwa dalam hal peserta terkena PHK manfaat JHT dapat dibayarkan secara tunai dan sekaligus setelah melewati masa tunggu 1 bulan terhitung sejak tanggal PHK. Karena itu sejak perusahaan menerbitkan surat keterangan PHK/parklaring maka itu sudah memenuhi tanggungjawabnya.

“Aneh jika perusahaan dilibatkan dalam pengurusan klaim JHT secara kolektif. Patut diduga akan ada efek praktek percaloan urusan jasa klaim. Lagipula sangat jarang perusahaan yang berani deklarasi PHK massal karena pasti dipantau banyak pihak,” katanya.

Zainal Arifin Sinambela meminta kepada seluruh pemangku kepentingan yakni Presiden RI dan jajarannya, Komisi IX DPR RI, dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) agar menegur keras Direksi BPJS Ketenagakerjaan dalam pelayanan klaim JHT kolektif tersebut.

“Informasinya banyak klaim JHT kolektif tersebut yang sudah dibayarkan BPJS Ketenagakerjaan, ini harus diaudit,” jelas Zainal.

Pengurusan klaim JHT kolektif dinilainya bertentangan dengan UU SJSN dan UU BPJS. Jajaran direksi BPJS Ketenagakerjaan harus bertanggungjawab langsung atas pelayanan dan pembayaran dana manfaat JHT pekerja.

“Kami menolak pengurusan klaim JHT kolektif tersebut. Pembatasan kuota pelayanan klaim JHT juga harus dicabut karena tidak manusiawi dan berkeadilan sosial sebagaimana asas BPJS,” pungkasnya.

- Advertisement -

Berita Terkini