Argumentum Ad Verecundiam

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Jika berbicara otoritas, maka berbicara kekuasaan. Jika berbicara kekuasaan maka berbicara pemerintahan. Jika berbicara pemerintahan maka berbicara negara. Begitulah alur berpikir kita saat ini.

Dalam konteks bernegara ada beberapa orang yang memiliki otoritas hingga kalimatnya menjadi sabda ataupun “firman” untuk diejawantahkan menjadi kenyataan atau menjadi kebijakan. Tetapi ada yang hanya menjadi pembuat isu untuk menutupi isu dalam konteks perpolitikan. Apa itu otoritas?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, otoritas adalah 1) kekuasaan yang sah yang diberikan kepada lembaga dalam masyarakat yang memungkinkan para pejabatnya menjalankan fungsinya; 2) hak untuk bertindak; 3) kekuasaan; wewenang; 5) hak melakukan tindakan atau hak membuat peraturan untuk memerintah orang lain. Jadi otoritas adalah orang yang memiliki wewenang serta kekuasaan menurut jabatannya hingga mampu menimbulkan kebijakan ataupun membentuk sebuah opini di dalam publik.

Inilah yang ingin kita pahami, dalam rekayasa sosial adalah istilah Argumentum ad Verecundiam atau Argumentum Auctoritatis. Artinya ialah berargumen berdasarkan Otoritas.

Nilai penalaran ditentukan oleh keahlian atau kewibawaan orang yang mengemukakannya. Jadi suatu gagasan diterima sebagai gagasan yang benar hanya karena gagasan tersebut dikemukakan oleh seorang yang sudah terkenal karena keahliannya.

Sikap semacam ini mengandaikan bahwa kebenaran bukan sesuatu yang berdiri sendiri (otonom), dan bukan berdasarkan penalaran sebagaimana mestinya, melainkan tergantung dari siapa yang mengatakannya (kewibawaan seseorang).

Lantas apa hubungannya dengan realita yang terjadi khususnya di negeri ini berkaitan dengan konsep Argumentum ad Verecundiam. Pada taraf tatanan kebijakan negeri ini dipenuhi dengan konsep-konsep siapa yang memiliki jabatan maka dia berhak memberikan argumen dan dikarenakan jabatannya maka argumen/pendapatnya haruslah dilaksanakan.

Sikap-sikap otoritarianisme sebenarnya sudah tidak bisa lagi bangkit di negara reformasi saat ini. Karena perjuangan di Tahun 98 tujuan utamanya ialah menghancurkan sikap-sikap otoriter itu sendiri. Tetapi kenyataannya tidak lah demikian. Kita lihat dibanyak kasus, otoritas-otoritas tertinggi di negeri ini “seenaknya” menetapkan siapa yang salah dan siapa yang benar.

Lihatlah, terbelahnya dua kutub dinegeri ini menjadi dua golongan antara Pancasilais dan Anti-Pancasila ini disebabkan oleh otoritas pemerintah yang menciptakan bahwa siapa yang mendukung pemerintah maka dipastikan sebagai Pancasilais sedangkan yang bertentangan akan di anggap anti-Pancasila ataupun Anti-NKRI. Belum lagi isu yang dibangun oleh “pemerintah” tentang radikalisme, serta akan adanya pembubaran FPI. Pemerintah seakan-akan sudah memetakan siapa yang layak dianggap moderat dan radikal, pemerintah dengan otoritasnya, mengatakan kelompok ini radikal kelompok ini akan mendirikan Khilafah dan kelompok ini baik. Bukankah ideologi seorang manusia tak dapat dipenjarakan?

Pemerintah tidak pernah mau membicarakan secara serius mengenai kemerosotan ekonomi, hutang negara, masalah pendidikan, kesehatan, HAM, serta hal-hal lainnya yang lebih substantif. Negeri ini berhenti pada tatanan siapa yang baik menurut penguasa dan siapa yang buruk menurut penguasa. Jadi tidak ada obyektifitas baik dan buruk, semua ditentukan oleh penguasa.

Padahal kekuasaan harusnya digunakan untuk jalur menuju jalan kemaslahatan bukan malah memetakan siapa yang jahat dan baik.

Belum lagi negeri ini memiliki konsep feodalisme yang mengakar. Siapa yang memiliki uang dialah yang berkuasa. Kebijakan akan dikeluarkan berdasarkan seberapa besar dana yang digelontorkan, dan siapa yang memiliki kepentingan.

Inilah Rekayasa sosial, yaitu penciptaan suatu keadaan lingkungan, jika berbicara Argumentum Ad Verecundiam maka ini tergantung siapa yang berkuasa. Hillary Clinton, Mantan Menlu Amerika mengatakan “Tidak ada Opini Publik, yang ada adalah Opini yang dipublikasikan” Inilah yang disebut otoritarianisme dalam membentuk opini masyarakat agar sesuai arah dan tujuan siapa yang berkepentingan.

Inilah realitas di negeri para “ketua”, siapa yang menjadi “ketua” maka adalah “dewa”. Perkataannya bagaikan sabda, perbuatannya bagaikan malaikat yang tak pernah salah. Maka harus rakyat yang salah karena tak ikut aturan pemerintah, bukan pemerintah yang tak adil. Inilah Argumen-argumen para dewa yang berkuasa di negeri ini.

Penulis adalah Januari Riki Efendi

(Mahasiswa Pascasarjana UINSU Jurusan Pemikiran Politik Islam dan Pegiat Literasi)

- Advertisement -

Berita Terkini