Akulturasi Kebudayaan di Indonesia

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Untuk mengidentifikasi yang benar-benar budaya Indonesia pada hari ini sungguh sangatlah sulit. Saya belum pernah menemukan bahwa ada seorang ahli yang mengatakan bahwa salah satu budaya murni dari Indonesia. Sebenarnya, sampai di sini pun kita masih bertanya; apakah ada budaya Indonesia itu? Bukankah Indonesia ini baru ada setelah hasil Kongres Pemuda II tahun 1928? Bukankah sebelumnya Indonesia di kenal sebagai Nusantara, itu pun mungkin hanya beberapa daerah di Jawa, belum tentu kata “Nusantara” di kenal di daerah lainnya sebagaimana wilayah negara kita saat ini. Dan menurut saya yang ada itu adalah budaya lokal dari berbagai macam daerah sebelum Indonesia ini berdiri.

Tapi kita tidak ingin membongkar-bongkar lagi tentang bagaimana ceritera persatuan bangsa dan negara kita setelah berhasil memerdekaan dari tangan penjajah Belanda dan bangsa Eropa lainnya. Kita bersyukur bahwa, atas persatuan tokoh-tokoh bangsa, anak-anak bangsa dan pejuang-pejuan dari berbagai daerah dari Sabang sampai Merauke bersatu-padu, senasib-sepenanggungan dan satu cita-cita untuk merdeka dan berdaulat.

Akulturasi Kebudayaan di Indonesia

Nah, kembali lagi pada pembahasan kebudayaan di Indonesia, baik saat ini budaya lokal yang telah dikatakan budaya Indonesia yang bermacam-macam itu, benarkah asli budaya kita sendiri? Tidakkah ada pengaruh budaya lain atau akulturasi dari orang-orang lain—katakanlah orang asing, baik itu secara berpakaian, bahasa yang digunakan, tempat tinggal, hingga sampai adat kebiasaan orang asing tersebut?

Nampaknya sungguh ego dan tertutup sekali jika kita mengatakan bahwa budaya kita saat ini, sacara mayoritas masih murni. Ribuan tahun sejarah negeri kita ini, yang saat ini kita kenal dengan sebutan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mengalami proses akulturasi budaya dari berbagai daerah-daerah. Baik itu dari orang-orang Arab, Persia, Cina, India, Eropa dan dari daerah lainnya. Hingga sampai jenis tulisan yang kita gunakan saat ini bukanlah budaya kita. Pakaian yang kita pakai saat ini bukanlah budaya kita dahulu, yang pakai celana jeans, celana jingkrak, jilbab, rok mini, gamis, sirwal, pantalon serta berbagai macam fashion lainnya tidaklah asli dari negeri kita. Bahkan budaya berbahasa dan budaya kehidupan kita sehari-hari telah mengalami akulturasi.

Selanjutnya, akulturasi kebudayaan yang beragam di Indonesia tidak bisa lepas dari ajaran agama-agama yang ada di Indonesia ini. Setiap agama dalam kehidupan sehari-hari memiliki ajaran bagaimana budaya yang cocok dengan ajaran agama tertentu. Seperti di Islam, adanya anjuran untuk menutup aurat. Sehingga, bagaimana pun bentuk fashionnya diserahkan pada kreativitas manusia bagaimana menutup aurat. Terkadang, ada juga yang sama dengan anjuran agama Islam dan atau sebaliknya, akan tetapi itu tidaklah dapat dikatakan buruk. Masalah kebudayaan dan teknis-teknis budaya lainnya bukanlah hal yang mutlak. Karena, setiap daerah dan lingkungan memiliki cara dan karakternya sendiri. Seorang filosof terkenal dalam bukunya berjudul Mukaddimah, Ibnu Khaldun, telah banyak membicarakan bahwa lingkungan, udara atau tempat tinggal mempengaruhi bagaimana karakter orang-orang tersebut.

Secara wawasan kesejarahan, yang mayoritas meyakini, jauh sebelum masuknya Islam ke Indonesia, ajaran agama Hindu telah lama masuk ke Indonesia serta membawa bagaimana budaya-budaya mereka di India. Akan tetapi, tidak benar-benar murni diterapkan karena lingkungan dan masyarakatnya berbeda. Tidak sulit hari ini kita menemukan peninggalan-peninggalan kejayaan budaya Hindi di Indonesia dahulu kala. Begitu juga pengaruh agama-agama lainnya terhadap budaya yang hidup dimasyarakat tertentu.

Kemudian, masuknya kebudayaan Eropa atau Barat ke Indonesia setelah mengalami kolonialisasi yang berabad-abad lamanya. Konsep 3G (God, Gospel dan Glory) tentunya tidak asing lagi ditelinga kita. Belanda menguasai Indonesia ini bukan hanya untuk mengambil kekayaan alam Indonesia ini dari Sabang hingga Merauke, akan tetapi mereka juga menanamkan budaya-budaya ke-Eropaannya. Mulai dari gaya berbicara, pakaian, adat kebiasaan, bahasa, konsep pemikirannya yang matrealisme, pendidikan, hukum-hukumnya atau singkatnya menerapkan Westernisasi. Hingga sampai saat ini masih mudah untuk ditemukan dalam kehidupan bangsa kita sehari-hari.

Proses akulturasi budaya asing dengan yang ada di Indonesia, meminjam bahasa Nurcholish Madjid atau yang akrab dipanggil Cak Nur, mengatakan; akulturasi timbal balik antara yang datang dengan budaya lokal, mengalami proses yang sangat lama. Dari akulturasi timbal balik yang berbagaimacam itu mengakibatkan adanya perombakan masyarakat atau pengalihan bentuk (transformasi) sosial menuju ke suatu arah keadaan rakyat Indonesia. Pengalihan bentuk tergantung pada nilai budaya mana yang diikutinya.

Penutup

Akulturasi timbal balik antara budaya-budaya yang datang dari daerah lain dan dari agama dengan budaya lokal kita dahulu hingga sekarang tidak dapat dihalangi. Apalagi jika kita tarik pada zaman kita saat ini. Akulturasi budaya lebih cepat karena pengaruh tekhnologi informasi dan komunikasi yang canggih. Dahulu, akulturasi baru dapat terjadi dengan masyarakat lokal kita dengan bangsa asing datang ke Indonesia membawa budayanya dan masyarakat lokal membawa budaya asing dari luar. Akan tetapi saat ini, masyarakat kita tidak perlu pergi dan tidak perlu menunggu orang asing datang, pengaruh tekhnologi informasi dan komunikasi secara cepat serta lintas teritorial membuat tranformasi sosial semakin singkat dan cepat berubah-ubah.

Terkait mengenai ajaran-ajaran agama pun yang mempengaruhi menjadi suatu kebudayaan akan semakin cepat mengalami transformasi sosial. Sampai di sini, akulturasi timbal baik dari agama dan budaya lokal tidak selamanya buruk dan tidak selamanya ditolak. Akulturasi kebudayaan timbal balik ini lah yang menjadikan ajaran-ajaran agama dan budaya lokal dapat menyatu selama tidak ada nilai-nilai yan dilanggar serta tidak memberikan efek buruk bagi masyarakat lokal kita. Dari mana pun datangnya kebenaran dan kebaikan harus diterima, tidak pandang itu dari Arab, India, Cina, Persia, Yunani, Barat maupun dari negeri-negeri lainnya.

Dan yang terakhir adalah kebudayaan kita saat ini, baik yang telah mengalami akulturasi timbal balik dan atau budaya lokal murni yang masih dipertahankan harus dijadikan sebagai pendongkrak nilai-nilai kemanusiaan sehingga berdampak pada kerukunan umat beragama, bersuku dan bermasyarakat. Saling memahami dan menghargai perbedaan lebih penting daripada memperdebatkannya. Setiap orang berhak untuk menerapkan budaya mana yang ia aktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari selama itu tidak memberi dampak buruk pada tatanan sosial. Penilaiannya harus benar-benar obyektif bukan karena kesukaan semata apalagi karena kepentingan yang buruk. Yang terpenting adalah bagaimana caranya budaya-budaya kita yang beragam di Indonesia ini dapat mewujudkan persatuan dan kesatuan dalam berbangsa serta bernegara, hingga negara kita sampai pada puncak peradabannya. Mudah-mudahan dapat terwujud. Amiin!

Penulis: Ibnu Arsib (Instruktur HMI dan Penggiat Literasi di Sumut).

- Advertisement -

Berita Terkini