Kebakaran Hutan dan Fenomena Korporatokrasi

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Selama beberapa bulan di tahun 2019, Indonesia mengalami kebakaran hutan yang cukup serius. Menurut data dari Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Kementrian Lingkungan Hidup (KLHK), Raffles B. Pandjaitan, selama 2019, sampai september mencapai 857.756 hektar. Angka ini naik sekitar 160% jika dibandingkan dengan bulan Agustus lalu, sekitar 328.724 hektare. Kebakaran hutan yang amat serius terjadi di Riau sejak 1 Januari hingga 9 september 2019 total sebanyak 6. 464 hektare, (Kompas, 9/09/2019).

Kebakaran hutan ini menjadi keresahan dan keburukan bagi masyarakat terutama masyarakat yang tinggal di daerah yang mengalami kebakaran. Pertanyaan paling mendasar dalam hal ini adalah apa penyebab utama kebakaran hutan tersebut?

Tentunya banyak jawaban yang muncul dari pertanyaan di atas. Dan dalam tulisan sederhana ini penulis ingin mengetengahkan jawaban yang tentunya berasal dari analisis dari data-data yang ditemukan. Pertanyaan penuntun dalam konteks ini adalah apakah kebakaran hutan tersebut merupakan bencana alam atau ulah manusia? Menurut BPNB di tahun 2019, total 99 persen kebakaran hutan di Indonesia merupakan akibat dari ulah manusia dan ada 80 persen lahan yang terbakar berubah menjadi lahan perkebunan. Perlu diketahui kebakaran hutan dan lahan paling besar dilakukan oleh korporasi, sebagaimana yang diakui oleh KLHK yang menolak menyebutkan data korporasi pembakaran hutan. Menurut data pemerintah ada 9 perusahaan yang tertangkap membakar hutan dan lahan. Semuanya berafiliasi dengan sawit, (Wahyu Eka Setyawan, 2019).

Keseluruhan data dan informasi di atas mengafirmasi opini yang menyatakan kebakaran hutan disebabkan oleh korporasi dalam menjalankan bisnisnya. Dengan membaca fenomena kebakaran hutan dan eksisnya korporasi di Indonesia bukan tidak mungkin ada motif terselubung yang sedang menimpa bangsa kita.

Fenomena itu adalah munculnya korporatokrasi. Iklim pemerintahan kita sebenarnya bukan digerakan oleh semangat demokrasi, melainkan oleh feodalisme, oligarki, dan korporatokrasi. Hal ini pernah ditegaskan oleh mantan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Busryo Muqoddas, menurutnya konsep demokrasi saat ini sedang bergeser ke format baru yaitu, korporatokrasi.

Dengan demikian, maka Negara lebih banyak diatur oleh kekuatan bisnis dan keadaban yang memunculkan oligarki bisnis. Tentunya hal ini belum menunjukkan penegasan yang pasti dalam realitas. Korporatokrasi menjadi semacam “dongeng” dalam konstelasi politik Indonesia, karena masih banyak orang yang belum menyadarinya. Namun jika kita menilik kembali sejarah Indonesia, demokrasi muncul kemudian dibandingkan korporatokrasi.

Korporatokrasi sudah ada sebelum kita menemukan konsep demokrasi. Ketika kita dijajah oleh Belanda kurang lebih skitar 350 tahun, ada perusahaan dangan VOC yang memulai invansi dan imperialism di Indonesia. VOC bukanlah kekuatan politik melainkan kekuatan dagang yang bernafaskan bisnis untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar. Selama menjajah Indonesia, kekuatan bisnis VOC serentak mengatur kekuatan politik. Dan pada masa pemerintahan Soekarno, melalui UU No. 86 tahun 1958, pemerintah melakukan nasionalisasi seluruh perusahaan asing. Namun ketika Orde Lama jatuh, pemerintah Orde Baru membuka pintu bagi korporasi-korporasi yang berlandaskan liberalisme masuk ke Indonesia. Korporasi mulai memasuki Indonesia pada pemerintahan Soeharto melalui UU No. 1 tahun 1967 mengenai Penanaman Modal Asing (PMA). Dengan itu, Indonesia kembali pada kekuatan bisnis terselubung yang pelan-pelan menjajah secara ekonomi.

Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika saya mengatakan penjajahan yang dialami Indonesia dari dulu sampai sekarang adalah pejajah ekonomi. Hanya dulu transparansi dan realisasinya lebih nyata dan sekarang lebih terselubung dan bersembunyi di balik layar politik. Sehingga tidaklah mengherankan masyarakat kita hanya menganggap masalah politik yang muncul ke permukaan sebagai masalah yang real. Ada sesuatu yang luput dari realitas kita yaitu para elite bisnis, para oligarki bisnis, yang sudah bertahun-tahun bersembunyi sebagai donator bagi para politisi.

Korporatokrasi merupakan hasil perselingkuhan paling haram antara korporasi dan pemerintahan atau birokrasi. Korporasi membutuhkan legalitas yang hanya bisa diberikan pemerintah, sementara pemerintah membutuhkan peran serta koporasi dalam mendanai program-program politik dan pembangunan.

Dengan simbiosis antara pemerintah dan birokrasi maka perusahaan-perusahaan besar dengan mudah mengontrol pemerintahan. Bahkan mereka dengan kekuatannya bisa mengatur sedemikian rupa agar hukum dan UU Negara melindungi kegiatan, sarana, dan alat-alat produksi mereka dalam meraup keuntungan di Indonesia. Para oligarki yang berada di balik panggung politik dengan mudah mengontrol hukum dan legalitas Negara agar melindungi mereka.

Elitisisme seperti ini tidak disadari oleh masyarakat apalagi masyarakat kecil.
Logika bisnis dari korporasi dan aksesnya dengan pemerintah menjadi senjata super yang sama sekali susah untuk dilawan, apalagi oleh masyarakat kecil. Fenomena di atas menyata di Tanah Air kita. Kebakaran hutan di Riau dan hutan di Kalimantan yang telah menjadi perkebunan sawit menjadi bukti bahwa kita sesungguhnya masih dijajah oleh korporatokrasi. Industri pertambangan dan perkebunan sawit bukan bisnis per se melainkan kejahatan korporatokrasi, karena memperkaya orang kaya dan mempermiskin orang miskin, adanya pelanggaran HAM, Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Demokrasi yang kita idealkan hanya sebatas tatanan abstrak dan utopia belaka.

Hal utama yang perlu dilakukan mengahadapi fenomena di atas adalah konsientitasi masyarakat. Masih begitu banyak orang yang belum sadar akan realitas oligarki dan korporatokrasi di Indonesia. Untuk itu wawasan masyarakat perlu dibuka lebar-lebar supaya ada kesadaran nasional akan hal ini. Kampus dan universitas harus berada di garda depan dalam memberikan konsientitasi pada kaum muda dan masyarakat, karena jika mengaharapkan pemerintah maka hal itu menjadi sia-sia. Penegakkan hukum sekalipun tidak bisa dilakukan tanpa adanya penyadaran dalam mental masyarakat. Bahkan pasal dan ayat yang menjerat bagi pembakar hutan sekali pun tidak akan mempan bagi korporasi, karena mereka kebal hukum dan legalitas yang mereka dapat dari pemenrintah dapat “membeli” hukum. Hukum tidak bisa kita andalkan.[]

Penulis: Thyo Pamungkas

- Advertisement -

Berita Terkini