Lafran Pane Betah Dengan Buku

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Dalam sejarah turunnya Al-Qur’an ke muka bumi ini di awali dengan surah Al-Alaq. Ketika itu, di Gua Hirah, malaikat Jibril as. menyampaikan wahyu (Al-Qur’an) kepada Muhammad bin Abdullah. Malaikat Jibril memeluk Muhammad bin Abdullah seraya menyebutkan “Iqra’” (bacalah), sampai tiga kali. Kemudian Muhammad bin Abdullah menjawab “Ana la Iqra” (Saya tidak bisa membaca) atau ada yang mengisahkan dengan mengatakan waktu itu Muhammad bin Abdullah bertanya pada Jibril, kira-kira dalam terjemahan bahasa Indonesia berbunyi, “Apa yang harus saya baca?”. Surah ini pun menjadi awal kenabian Muhammad Saw. hingga diangkat pula sebagai Rasulullah Saw. yang terakhir. Tiada lagi Nabi dan Rasul Allah.

Kisah ini memberikan informasi sejarah dan pelajaran yang sangat berharga bagi setiap manusia, khususnya umat Islam, tentunya bagi kader-kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), bahwa membaca adalah pekerjaan penting yang tidak boleh ditinggalkan. Firman itu (Iqra’) menjadi semangat bagi kita dalam menyelami luasnya ilmu pengetahuan yang diciptakan Allah Swt. Apa yang harus dibaca? Para ahli ilmu bersepakat bahwa yang harus dibaca itu dapat secara tertulis maupun tidak tertulis.

Dalam dunia keilmuan, Perguruan Tinggi (PT) dan dunia kemahasiswaan, semangat belajar dan budaya membaca menjadi hal yang sangat penting dan menjadi penentu tingginya kualitas keilmuan yang di dapatnya. Seperti yang disebutkan firman Allah Swt. sedikit sekali ilmu yang diberikan kepada manusia. Maka untuk itu membaca adalah salah satu cara memperbanyak ilmu pengetahuan manusia.

Demikianlah yang terus dicontohkan oleh para ahli-ahli ilmu pengetahuan sepanjang sejarah. Tidak ada ilmuan yang tidak suka membaca buku. Ini jugalah bagian daripada awal kejayaan umat Islam, seperti sejarah peradaban Islam menginformasikannya kepada kita.

Begitu pulalah dengan Lafran Pane, mencontohkan kepada kita sebagai kader HMI. Lafran Pane mengikuti para pendahulu-pendahulunya yang aktif dalam dunia keilmuan. Sebagaimana yang dikutip oleh Hariqo Wibawa Satria dari buku yang ditulis oleh Ridwan Saidi dengan judul Mahasiswa dan Lingkaran Politik. Ia mengungkapkan bahwa, semangat belajar Lafran Pane sangat tinggi. Lafran Pane betah berlama-lama membaca buku. Belajarnya tidak pernah lebih dari jam 9 malam, kecuali akan maju pada ujian doktoralnya. Lafran Pane belajar hingga pukul 10 malam. Membaca buku adalah kerjaan rutin Lafran Pane.

Bukti rutinnya Lafran Pane membaca buku terlihatlah keluasan wawasannya dan kedalaman pemikirannya. Baik dalam wawasan-pemikiran keislaman, keindonesiaan dan kemahasiswaan. Hal ini dapat kita buktikan dengan karya-karya tulisnya dengan berbagai judul. Seperti, Keadaan dan Kemungkinan Kebudayaan Islam di Indonesia; Wewenang MPR; Kedudukan Dekrit Presiden; Kedudukan Luar Biasa Presiden; Kedudupan KNIP; Tujuan Negara; Memurnikan Pelaksanaan UUD 1945; Perubahan Konstitusional dan Menggugat Eksistensi HMI.

Selain dari karya-karya tulisnya, kedalaman dan luasnya ilmu pengetahuannya, dapat pula dibuktikan dengan pengabdian yang ia lakukan sebagai dosen di berbagai PT di Yogyakarta, dan ia telah diangkat menjadi Profesor atau Guru Besar Hukum Tata Negara di Indonesia.

Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul mengungkapkan bahwa, disemua jenjang sekolah yang ditempuh Lafran Pane. Dari semenjak Pesantren sampai Perguruan Tinggi, Lafran adalah murid yang cerdas dan sukses dalam dunia belajar walaupun banyak hambatan dari rintangan seperti orangtuanya sering pindah tempat pekerjaan karena sebagai pegawai negeri. Di kampus, Lafran terkenal sebagai seorang yang cerdas dan dapat menyelesaikan studinya dan mahasiswa yang lulus pertama memperoleh gelar sarjana dalam ilmu politik. Pada tahun 1966, Lafran Pane meraih gelar Guru Besar atau Profesor, sebagaimana yang kita jelaskan di atas. (Kahmi Centre, 2015:72).

Semangatnya membaca buku yang ia contohkan menjadi inspirasi dan motivasi bagi kader-kader HMI pada masa itu. Tradisi yang ia lakukan itupun menjadi suatu budaya wajib di organisasi yang ia dirikan bersama empat belas mahasiswa Islam lainnya, yaitu organisasi HMI. Lewat budaya membaca ini maka melahirkan kader-kader HMI kemudian menjadi alumi HMI yang berkualitas dan berpengaruh di segela lini atau aspek masyarakat Indonesia. Tidak perlu lagi kita sebutkan namanya satu persatu. Tentunya kita mengetahui sederetan nama-nama tokoh-tokoh di Indonesia ini yang lahir dari rahimnya HMI.

Nah, bagaimanakah dengan kader-kader HMI saat ini? Adakah kader-kader HMI masih menerapkan budaya membaca? Apakah kader-kader HMI Saat ini betah dan rutin membaca buku? Atau juga membawa buku ke mana-mana hanya sekedar gaya saja, agar dikatakan kaum intelektual?

Mengapa kita tidak mencontoh Lafran Pane dan menjadikannya sebagai teladan atau uswah dalam ber-HMI. Jikalah kita lakukan survei, apakah kader-kader HMI saat ini betah dan rutin membaca buku? Tentu kita mendapatkan hasil yang sangat mengecewakan. Budaya kader-kader HMI saat ini secara mayoritas tidak lagi membaca buku. Kader-kader kita terlena dan terpengaruh hal-hal negatif dari kemajuan dan juga kecanggihan teknologi informasi. Mayoritas kader-kader kita lebih banyak dan rutin bermain game online daripada memanfaatkan kemajuan teknologi untuk kepentingan pemenuhan ilmu pengetahuan.

Saya sering menanyakan kepada kader-kader HMI, baik kader-kader HMI di HMI Cabang Medan maupun di luar HMI Cabang Medan, berapa buku yang telah mereka khatam-kan dalam satu bulan? Sering saya tanyakan berapa jumlah koleksi buku yang mereka miliki selain buku-buku kuliah? Atau berapa buku yang sudah mereka baca selama bermahasiswa dan selama ber-HMI? pertanyaan-pertanyaan ini saya ajukan ketika ada Test Interview Latihan Kader I (Basic Training), Latihan Kader II (Intermediate Training) dan pembekalan teman-teman kader HMI Cabang Medan yang akan mengekuti Latihan Kader II (LK II) di HMI Cabang lain. Dan pertanyaan-pertanyaan itu juga saya ajukan kepada teman-teman kader HMI di luar HMI Cabang Medan lewat chattingan di media sosial.

Sungguh sangat jauh perbandingannya dengan Lafran Pane dan beberapa pendahulu-pendahulu kader HMI saat ini. Jawab mereka sangat miris sekali. Jumlah buku yang mereka habiskan (baca) perbulan tidak sampai dua atau tiga buku. Bahkan ada yang menjawab, tidak ada satupun buku yang dia khatam-kan dalam sebulan. Jumlah buku yang mereka miliki pun tidak lebih dari seratus buku, padahal biaya untuk membeli paket data Smart Phone, sanggup mengeluarkan Rp. 150.000 sampai Rp. 200.000/bulan, bahkan lebih. Kader-kader HMI masa kini lebih betah menggenggam Smart Phone-nya dan tahan berjam-jam hanya chattingan dan bermain game online. Sangat sedikit sekali untuk meningkatkan keilmuannya, memperluas wawasan dan mengetahui informasi.

Jika budaya atau tradisi negatif ini, dan mirisnya membaca buku, apalagi berdiskusi dan menulis, dapat dipastikan tingkat intelektualitas kader-kader HMI masa kini akan terus terdegradasi. Budaya buruk yang kita sebutkan di atas tadi, seperti lebih tahan bermain game online, chattingan yang berlebihan dan penyalahgunaan teknologi informasi lainnya, harus dihanguskan. Kita sebagai kader HMI, tidak ada alasan lain untuk tidak mengikuti jejak Lafran Pane yang sangat tinggi semangat belajarnya dan sangat betah membaca buku.[]

Penulis: Ibnu Arsib (Instruktur HMI, Pemerhati Kaum Muda, dan Penggiat Literasi).

- Advertisement -

Berita Terkini