Munas Partai Golkar 2019, Harus Ada Calon Alternatif

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Ada beberapa catatan yang menarik dari diskursus tentang sebuah negara demokratis yang modern dalam konteks ini adalah hal yang berkaitan dengan partai politik, khususnya Partai Golkar. Dimana catatan ini diulas dengan begitu apik oleh seorang Doktor politik Daniel Sparringa dalam sebuah kata pengantar buku Akbar Tanjung berjudul ‘The Golkar Way’ (2007), yang beliau beri judul ‘Transisi Demokrasi di Indonesia Menstruktur sebuah Peta Jalan Baru’. Menurut penulis catatan beliau sangat tajam dan aktual sampai saat ini ketika dihadapkan dengan konflik terbuka yang sedang hangat di tubuh partai Golkar.

Daniel mencoba menukik ke dalam pada sebuah peran partai politik, elit, ‘civil society’, negara, massa yang berkaitan langsung dengan kekuasaan, dan keterhubungan itu semakin jelas dalam uraiannya yang ia kemukakan di dalam ke-sepuluh tesis, dipakai untuk menggambarkan kecenderungan utama dalam hal bagaimana aktor-aktor strategis di Indonesia merespon sebuah transisi demokrasi, yang kita lihat secara keseluruhan dalam perjalanan bangsa ini pasca era reformasi. Tanggung jawab elit dan partai politik dinilai gagal dalam membangun kepercayaan publik (public thrust) yang semakin besar tingkat presentasenya, hal ini tentu diakibatkan tidak becusnya para elit partai mengelola kepercayaan masyarakat, praktek korupsi, manipulasi sumber daya politik, pertarungan idealogis yang belum selesai, patronase, kegagalan elit mendorong kontestasi wacana demokrasi, dan masih terjadi cara pandang yang berbeda tentang demokrasi di kalangan kader partai yang berimbas kepada pendidikan politik kepada masyarakat, serta konflik antar elit sesama anggota partai yang kian menganga.

Kegagalan itu yang paling nampak kepermukaan adalah banyaknya partai politik lebih sibuk bertikai, khususnya diinternal mereka masing masing, hal itu hampir terjadi di semua partai politik hal sekitar suksesi kepemimpinan, dualisme kepengurusan, dan sampai berujung kepada adanya sengketa dipengadilan.

Fenomena ini bisa kita dapati, mari kita ‘flashback’ sedikit ke belakang, di era demokrasi terpimpin, kekuatan partai politik memang terkonsolidasikan ke arus bawah masyarakat, namun perpecahan justru terlihat bukan pada kelembagaan politik, malah lebih pada perbedaan ideologi yang begitu kental antara PNI, Masyumi, NU dan PKI. Benturan justru nampak secara diametral antara tokoh politik atau elit partai pada persoalan bagaimana mengkonstuksi massa dalam bingkai ‘flatform’ politik ideologis tadi. Memasuki era pemerintahan Soeharto terjadi penyederhanaan ideologi secara tegas dan hanya ada tiga kekuatan partai politik yang berkontestasi, yaitu PPP dengan kelompok Islam, PDI kelompok nasionalis abangan, dan Golkar kelompok profesioanal kekaryaan.

Karena sistem ideologi dibuat menjadi seragam dalam sebuah asas tunggal pancasila maka perpecahan partai secara internal dapat dilokalisir agar mudah dikendalikan oleh penguasa. Tentu penguasa sedapat mungkin bisa mengontrol orang-orang yang akan maju atau menjadi ketua umum partai, ada friksi namun tidak secara signifikan mencuat, perpecahan partai lahir puncaknya diakhir masa pemerintahan Soeharto, akibat intervensi pemerintah menciptakan yang dualisme kepemimpinan yaitu ( kubu Munas Medan yang dipimpin oleh Soerjadi) dengan kubu Diponogoro 58 yang dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri, dualisme ini mengakibatkan terjadinya penyerbuan kantor DPP PDI yang dikuasai kubu Megawati akibatnya menyulut terjadinya peristiwa 27 Juli 1996 (Kuda Tuli), kemarahan rakyat tersulut, kerusuhan, dan pembakaran sampai menjalar ke daerah provinsi lain.

Memasuki era reformasi seperti membuka keran liberalisasi politik yang menjadi wadah tumpah ruah penyaluran aspirasi dan emosi massa yang meluap sampai ke jalanan, sehingga sempat terbesit dibenak dan bertanya tanya akan kemana kekacauan ini berakhir ?. Para kalangan Pro Demokrasi di tahun 90an optimis dan percaya bahwa persoalan pelik transisi demokrasi ini haruslah segera dikonsolidasikan atau dilembagakan ke dalam elemen-elemen strategis yang mau tidak mau harus menyalurkannya ke dalam wadah institusi yang kita sebut sebagai partai politik, walaupun di kalangan kelompok reformis sendiri terpecah belah dan tidak sepenuhnya siap untuk mengambil posisi terlibat ke dalam partai politik. Transisi demokrasi ini terus dikawal dengan tebentuknya sejumlah partai politik baru, di pemilu 1999 ada 21 partai politik, meningkat menjadi 24 partai politik di pemilu 2004, dan 44 partai politik di tahun 2009. Namun kenyataannya banyak partai justru malah menurut pada analis politik mengalami defisit demokrasi. Semakin tajam dan terbuka konflik di tubuh partai politik. Seperti yang terjadi di PPP, Demokrat, PAN, PKB, PDIP, PKS, Hanura, PBB, dan tidak terkecuali partai Golkar mengalami hal yang sama, sindrom perpecahan itu terjadi secara merata.

Akhir- akhir ini, partai Golkar memerlihatkan kontraksi yang sangat cukup memperihatinkan, dimana suksesi menjelang munas partai antara kubu Airlangga Hartarto versus Bambang Soesatyo semakin menyulut kader di daerah-daerah, saling klaim legitimasi, perang mulut, mosi tidak percaya sampai kepada pemecatan. Hal Ini sudah tidak sehat dalam konteks tanggung jawab publik terhadap amanat reformasi, khususnya kepercayaan publik, ini tentu terkait secara tidak langsung kepada bangunan kepercayaan masyarakat kepada partai politik yang dianggapnya dapat mewadai dan memperjuangkan kepentingan mereka, malahan mereka bertikai secara terbuka ditonton oleh publik dan mungkin ini akan berujung pada implikasi hukum. Perilaku elit terlihat tidak mampu meredam konflik, justru elit terlibat dalam konflik itu sendiri. Para senior dan orang-orang di tubuh partai Golkar yang pernah menikmati dan menjabat sebagai orang penting di republik ini pun ikut membentuk faksionalisasi, sehingga konfliknya melebar kemana mana, menjadi kubu-kubuan, membangun legitimasi kebenaran, kekuatan saling dukung-mendukung berkonflik secara tidak sehat, saling serang-menyerang di antara para loyalis masing-masing.

Munas Partai Golkar yang rencananya hendak dipercepat atau mungkin diperlambat akibat tarik menarik kepentingan itu. Apakah ketegangan itu bisa diharapkan menjadi sebuah perekat dan pemersatu partai atau justru menjadi ajang perebutan kekuasaan tanpa mengindahkan proses demokratisasi ?. Daniel sparringa dalam pengantarnya menyodorkan tesis, yang ke-sepuluh dari sepuluh tesis, yaitu masalah terpokok partai politik di Indonesia berhubungan dengan lima isu utama yang harus dijalankan oleh ketua umum partai atau calon ketua umum partai agar diupayakan terus sampai kepada para pemangku partai politik, menurut saya tak terkecuali Presiden dan jajarannya, agar nilai- nilai demokrasi terus terkonsolidasikan. Ke lima isu itu, (1) ‘organization strength’, (2) ‘political party identity’,(3) ‘political party unity’, (4) ‘internal democracy’, dan (5) ‘electioneering capacity’. Isu ini menurut penulis sangatlah kontekstual dan relevan dengan perpecahan yang telah terjadi di partai Golkar menjelang Munas 2019, yaitu isu yang No.3.

Menurut Daniel, Salah satunya peran upaya, serta tekad bersama ditubuh partai beringin itu agar tidak menjadi bencana defisit demokrasi dibutuhakan ‘political party unity’, yang bersangkut paut dengan kebutuhan untuk memelihara integrasi dan kohesi anggota atau pengurus partai (seperti misalnya kemampuan mencegah perpecahan internal sebagai akibat dari hadirnya perbedaan di dalam tubuh partai) (2007: XXV).

Peran-peran integrasi dan kohesivitas itu menurut penulis bisa melalui komunikasi politik, membangun kebersamaan diantara tokoh senior, dan kesempatan politik untuk mencalonkan dan dicalonkan secara demokrastis tanpa adanya stereotip dan perspektif yang negatif, berdasarkan asas kekeluargaan, saling menjaga dan menghormati hak-hak politik kader atau anggota sehingga apa yang pernah dilakukan oleh tokoh senior Akbar Tanjung mengenai gagasan ‘konvensi’ dapat dijadikan inspirasi dan pelajaran bagaimana entitas sebagai kader atau anggota diberi kesempatan setinggi-tingginya dan hak yang sama dalam membangun partai ke depan agar lebih baik.

Terkait dengan polarisasi dan faksionalisasi akibat adanya kelompok senior yang dituakan di partai tersebut. Penulis meminjam semboyan, kearifan yang mungkin dapat mengurangi tarik-menarik kekuatan aliansi senior yang ada, kekuatan aliansi senior itu harus bermetamorfosa menjadi seorang guru sekaligus pembimbing bagi semua kader yang berkontestasi. Khasanah kearifan itu adalah ‘Tut Wuri Handayani, ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa’, artinya (dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan), (di tengah atau di antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide), dan (di depan, seorang pembimbing harus memberi tauladan atau contoh tindakan yang baik).

Kearifan ini diharapkan mampu mengimbau dan menggerakkan para sesepuh dan senior di partai Golkar yang memiliki pengaruh seperti Jusuf Kalla, Akbar Tanjung, Aburizal Bakrie, Agung Laksono, dan Luhut Binsar Panjaitan, dan stakeholder termasuk pemerintah dalam hal ini Presiden Jokowi untuk ikut mendorong memperbaiki partai Golkar mengingat partai politik adalah fondasi pilar demokrasi, dan partai adalah tempat melahirkan seorang pemimpin besar seperti halnya sudah melahirkan Presiden Jokowi dan Wapres JK, dan partai Golkar sudah menjadi bagian dari sejarah bangsa Indonesia, saatnya para caketum agar bertindak tidak melakukan transaksional sesaat, lebih kepada mengadu gagasan, dan untuk kepentingan pribadi masiang-masing senior harus dimulai dengan cara-cara yang benar dan bermartabat, dimulai dari proses mengawal calon pemimpin partai Golkar ke depan.

Sehingga kontestasi demokrasi berjalan sesuai dengan harapan dan cita-cita bersama, sebab partai politik memiliki posisi tawar yang sangat strategis didalam pembangunan ini. Oleh karena peran dan partisipasi anggota yang punya potensi, kecakapan, integritas serta desikasi terhadap kemajuan partai perlu meramaikan bursa calon ketum partai Golkar mendatang. Tokoh-tokoh muda harus tampil menyemarakkan pesta demokrasi lima tahunan (Munas), forum tertinggi dan terhormat partai Golkar, partisipasi tersebut mampu mencairkan suasana hegemonik individual yang terkesan manipulatif dan anti demokrasi. Airlangga harus menciptakan kompetisi yang sehat dan fair, agar kualitas demokrasi menjadi paripurna. Seperti halnya bursa caketum pada kontestasi sebelumnya antara Setya Novanto versus Ade Komarudin, yang didahului dengan bursa nama-nama yang ikut meramaikan pertarungan perebutan kursi orang nomer satu di partai berlambang beringin itu.

Tentunya dengan kriteria kecakapan memimpin, merangkul semua kader, jam terbang di partai politik, juga pengalaman dipemerintahan. Partai Golkar punya kader yang kapabel untuk ikut berkontestasi dibursa caketum, seperti Agus Gumiwang,Yuddy Chrisnandi, Bamsoet, dan mungkin masih banyak lagi. Yang menurut hemat penulis mereka sangat mungkin bisa mempengaruhi perolehan suara yang sangat signifikan setidaknya ikut andil dalam pertarungan perebutan caketum dan sekaligus ikut menyemai demokratisasi di tubuh golkar. Jangan sampai karena kehendak segelintir orang sehingga merusak tatanan yang sudah dibangun selama ini, ada pepatah ‘menang jadi arang kalah jadi abu’¸ soliditas, kekuatan, dan konsolidasi akan menjadi tidak berarti apa-apa.

Oleh sebab itu, apabila DPP dan jajaran pengurus partai Golkar tidak membuka ruang ke arah kebaikan bersama, dipastikan demokrasi akan dibajak oleh segelintir orang dan kelompok tertentu guna mengamankan kue kekuasaan yang tidak mencerminkan etika dan moral politik, mereka digambarkan sebagai seorang Machiavellian (politik menghalalkan segala cara, dalam hal kehendak untuk berkuasa). Perilaku seperti ini tidak baik sebagai model pengembangan demokratisasi di partai politik. Apabila perilaku tersebut tidak segera dibenahi, dipastikan ke depan partai Golkar akan semakin terpecah belah dan perolehan suaranya akibat konflik internal akan terjun bebas di pemilu 2024, akibat sengketa yang berkepanjangan. Tentu publik tidak menginginkannya. Partai Golkar akan menjadi kontra produktif apabila dihadapan dengan pemerintah dalam hal ini Presiden terpilih Joko Widodo sebagai mitra strategisnya, dan juga jangan biarkan rakyat Indonesia mengambil jalan pikirannya sendiri (hilang kepercayaan publik terhadap partai Golkar) akibat dari perpecahan yang terus menerus menjelang Munas 2019. Padahal kita tahu seharusnya partai Gokar menyajikan kesan yang baik memasuki ulang tahunnya yang ke-55 persis tepat jatuh di hari pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih pada 20 Oktober 2019 mendatang.

Mohammad Radius Anwar
(Peneliti di The Gondangdia Institute)

- Advertisement -

Berita Terkini