Mengembalikan Jati Diri Anak Bangsa

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM

Judul : Kita Telah Mati

Penulis : Dadang Darmawan Pasaribu

Penerbit : Swarnadwipa

Tebal : xii + 334 halaman

ISBN : 978-602-61070-6-0

Anak Bangsa Negeri ini semakin hari semakin tercerabut jati dirinya. Buah manis ratusan tahun para pejuang untuk merebut kemerdekaan Negeri ini mulai hilang begitu cepat dengan berbagai pendapat apa penyebabnya. Para pemikir, peneliti, pemerhati atau pengamat, akademisi, politisi, budayawan, dan sederetan orang-orang terus mengkaji apa sebab ini terjadi. Alhasil, berbagai macam pandangan atau pun pendapat dari sudut yang berbeda berlahiran.

Negeri ini, mari kita sebut; Indonesia tercinta, yang di dalamnya begitu kaya suku, adat istiadat, bahasa dan agama atau pun kepercayaan, dengan mudahnya tercabik-cabik sehingga dua atau tiga tahun belakangan ini seolah-olah berada di depan pintu kehancuran, di puncak gunung kehancuran. Letusan kegaduhan terjadi di mana-mana. Perkara tetek bengek isu-isu yang tidak bermanfaat mencari virus pertikaian. Jika virus in terus menyebar, kekayaan sumber daya manusia ini pun semakin hari semakin nihil kreasi untuk membangun Negeri yang kita cintai ini.

Negeri ini, yang kita sebut; Indonesia tercinta, di dalam buminya terkandung sumber daya alam yang kaya raya. Entah kenapa bangsanya sendiri secara mayoritas tidak dapat menikmatinya, malah segelintir orang dengan segala perangkat yang dimilikunya nyaman penuh kenikmatan. Entah apa sebab, kembali lagi silang pendapat terjadi di mana-mana. Sesama Anak Bangsa terus menaruh curiga. Anak Bangsa ini terus gaduh, sedang sumber daya alam Negeri ini lama-lama tinggal sampah.

Anak-anak Bangsa secara mayoritas begitu disibukkan dengan hal-hal nisbi. Saling beradu kekuatan nisbi, berpacu mengejar sesuatu yang nisbi, dan saling sikut menyikut mencapai kekuasaan dari desa hingga pusat. Kita bukan sibuk untuk merawat agar generasi bangsa ke depan dapat hidup dengan jaminan hidup bahagia. Ada pun yang peduli, itu hanya sedikit, dan yang sedikit itu pun terbagi lagi, ada yang bertahan pada idealisme dan sebagian lagi melacurkan diri karena terpengaruh oleh hal-hal nisbi. Keserakahan menjadi penyakit yang belum ditemukan obatnya. “Dokter” yang dapat menyembuhkan penyakit ini pun mulai dihabisi, kecuali “Dokter” yang menambah dosis penyakit keserakahan.

Anak Bangsa saat ini begitu latah mengikuti hal-hal baru yang datang entah dari negeri mana. Nilai-nilai luhur bangsa Indonesia ini dengan begitu mudahnya dibuang ke tong sampah. Nilai-nilai kemanusiaan pun terasa gersang dan wadah-wadah yang dikatakan peduli pada manusia hanya utopia saja. Nilai-nilai kebinatangan lebih mendominasi. Yang kuat memakan yang lemah. Bukit semakin ditimbun dan sumur semakin digali.

Sengaja atau tidak sengaja, sadar atau tidak sadar, Anak Bangsa ini mencabut jati dirinya, jiwanya, ideologi bangsanya, dan nilai-nilai luhur Bangsa Indonesia sehingga kita pun mati. Walau tidak secara fisik, tapi secara ruh kehidupannya sebagai manusia yang fitrah telah wafat. Ideologi bangsa kita tergadai oleh ketamakan. Etika-etika, nilai moril, persaudraan dan sebangsanya seolah-olah menjadi barang yang sudah usang. Sudah banyak yang melupakan kalimat; a nation without faith can not stand, dari Proklamator Kemerdekaan Indonesia, Bung Karno.

Hal di atas, adalah potret singkat yang dapat saya gali dari sebuah buku Kita Telah Mati. Buku yang ditulis oleh seorang yang tidak asing lagi di mata dan telinga para akademisi, politisi, aktivis NGO, tokoh-tokoh agama, budayawan, pengamat sosial politik, aktivis mahasiswa, aktivis buruh hingga buruh sekalipun, dan segenap masyarakat di Sumatera Utara, mungkin sebagiannya tingkat Nasional, yaitu Dadang Darmawan Pasaribu.

Buku ini adalah karya brilian yang menyoroti kondisi Negeri ini dalam rentan waktu tahun 2017-2018, dan masih sangat relevan hingga saat ini. Buku ini adalah kumpulan tulisan Dadang yang pernah dimuat di salah satu Media Daring yang ada di Sumut.

Kedermawanannya berbagi ilmu pengetahuan, menjadikan ia bagai sumur atau mata air ilmu pengetahuan bagi segenap orang yang berkomunikasi dengannya. Terbukti, lewat tulisannya pada buku ini, yang mengandung ajakan reflektif, ditulis dengan nada satir dan mudah dipahami.

Secara struktur isi, dalam buku ini memuat lima topik utama dengan sub pembahasan masing-masing. Setiap topik dan atau sub pembahasan mengandung mutiara tersendiri. Bagian pertama tentang Berkuasa Tanpa Keteladanan. Dari bagian pertama ini, kita akan mendapatkan mutiara-mutiara yang indah, perenungan yang dalam, sehingga dapat menggugah diri kita menjadi manusia atau Anak Bangsa Negeri ini dengan penuh keteladan. Dan bagi para yang sedang berkuasa, akan sadar sehingga dapat merubah dirinya menjadi teladan semua orang.

Bagian kedua tentang Berpolitik Tanpa Nilai. Dari bagian ini, kita akan menemukan betapa ributnya intrik-intrik perpolitik di Negeri kita ini dalam kurun waktu 2017, terkhususnya di DKI Jakarta. Pada bagian kedua ini juga, Dadang mengajak kita memikirkan dan juga merenungkan kondisi politik kita saat ini, terkait beredarnya penyakit polarisasi politik yang perlahan-lahan memecah persatuan dan kesatuan Anak Bangsa.

Bagian ketiga tentang Berbangsa Tanpa Jiwa. Pada bagian ketiga ini, Dadang mengajak atau membawa kita untuk memikirkan kembali tentang kondisi bangsa kita, terkhususnya kondisi saat ini. Ia memberikan jawaban sebagai bentuk solusi dari kematian bangsa ini dengan kembali pada nilai-nilai luhur bangsa kita sendiri. Dadang dengan kesungguhannya berusaha mengajak kita semua agar berbangsa dengan ruh sejati bangsa ini, yaitu Pancasila. Ruh yang dapat mempersatukan kita semua dan ini lah jati diri dan jiwa kita sebagai Anak Bangsa.

Selanjutnya, pada bagian keempat adalah tentang Bertuhan Tanpa Tuhan. Pada bagian ini tidak kalah penting untuk direnungkan secara diri pribadi atau secara bersama-sama. Dalam kondisi masyarakat kita saat ini, yang terus diadu domba dengan jualan isu-isu agama, Dadang lewat buku ini membuka mata pikiran dan mata hati kita agar tetap pada agama tanpa terpecah belah sesama Anak Bangsa. Pada bagian ini juga, kita akan tahu bagaimana terjadinya polarisasi agama dengan ketersinggungan dunia politik.

Dan bagian terakhir, kelima, adalah tentang Kita Telah Mati. Bagian akhir ini adalah kesimpulan dari buku ini yang kemudian dijadikan sebagai judul buku yang sangat bermanfaat bagi seluruh Anak Bangsa. Pada bagian ini kita akan tahu bahwa bagaimana kematian yang sesungguhnya itu. Bukan hanya sekedar tidak bernafas atau tidak bernyawa lagi yang dikatakan mati. Dadang menyadarkan dan juga menjelaskan, dengan tidak ada ideologi, nilai-nilai kemanusiaan, dan jati diri kita sebagai Anak Bangsa, itu artinya kita telah mati.

Sebagai Anak Bangsa yang beragam suku, adat istiadat, bahasa dan agama atau kepercayaan, Pancasila adalah jati diri kita yang harus kita kembalikan pada diri kita tanpa menyampingkan kepercayaan yang kita anut masing-masing. Buku ini pun membantu kita mengembalikan jati diri Anak Bangsa yang kita sebut; Bangsa Indonesia.[]

Oleh: Ibnu Arsib

*Resensator adalah Penggiat Literasi di Kota Medan

- Advertisement -

Berita Terkini