Mama, Aku Mau ASI

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Seorang ibu memangku anaknya yang masih balita. Dari wajah dan penampilannya terlihat masih sangat muda. Walau sudah menggendong anak, tapi cara berpakaiannya dengan celana jeans ketat, kaus ketat, pasti susahlah kalau sewaktu-waktu anaknya minta ASI. Dia juga tidak mengenakan kain gendong, hanya dengan alat gendong praktis yang banyak dijual dipasaran.

Saya amati si dedek yang menurut perkiraan saya masih belum mencapai usia 2 tahun, sesekali tatapan matanya mengarah ke saya, dan sebuah senyuman saya sajikan untuk membalas tatapan mata kecilnya.

Tangannya memegang jajanan yang setau saya itu jajanan orang dewasa yang banyak penyedapnya. Sungguh tak baik untuk dikonsumsi anak seusianya.

Sayang sekali rasanya, jika anak usia balita sudah terpapar oleh jajanan yang mengandung MSg (penyedap makanan).

Saat itu angkutan kota yang membawa kami melaju dengan lambat. Saya lihat si dedek mulai bosan. Si ibu sibuk membujuknya untuk makan jajanannya agar tetap tenang. Tapi sepertinya si dedek sudah tak selera lagi. Mungkin fikiran saya telah mengusiknya, sehingga dia tak mau makan lagi. Sesaat si dedek jadi rewel dan mulai menangis. Seorang ibu tua menyodorkan kompeng. Untuk mencoba menenangkan. Mungkin si ibu ini adalah nenek si dedek. Tapi saya bukan ingin membahas si nenek. Fikiran saya lebih tertarik pada kompeng bayi.

Satu benda lagi yang sangat saya sayangkan. Kompeng itu tak baik untuk bayi. Tapi, para ibu masih saja suka menggunakannya untuk membuat anaknya tenang. Si dedek tak mempan dengan kompeng itu. Dia terus merengek dan menangis. Dalam hati saya berbisik, “ibu, mungkin dia haus, segera beri ASI, pasti tenang.” Tak lama kemudian ibu tua itu menyodorkan botol yang berisi susu. Botol itu begitu panjang dan besar. Tak mungkin habis untuk sekali minum bagi anak seusianya. Terus ntar kalau gak habis, apa akan disimpan dan diminum nanti? Bukankan tak baik jika sudah lebih dari 3 jam? Bisa menyebabkan gangguan pencernaan. Si dedek dijajali susu formula. Kenapa tidak diberi ASI saja? Tangisnya semakin menjadi, si dedek tak mau meminum susu fomula itu. Dia menggeliat digendongan ibunya.

Terenyuh hati saya melihatnya, belum cukup 2 tahun, sudah diracuni dengan makanan dengan penyedap, di beri kompeng, dan susu formula. Si ibu tua membisikkan “beri ASI”. Saya jadi tau, ternyata ASInya ada. Tapi, gimana memberi ASI dengan pakaian seperti itu di dalam bus? Bisa jadi tontonan semua penumpang disini. Dan ibu muda itu menolak untuk memberi ASI.

Si ibu mencoba mengalihkan perhatian dengan mengajaknya bermain. Sejenak anak itu terdiam dan kemudian rewel lagi.

Saya bisa rasakan betapa dahaganya dia. Karena makanan yang mengandung MSg biasanya bikin haus dan ingin minum terus. Dan dia ingin minum ASI, tamun tak diberi.
Saya melihat bentuk diskriminasi pada anak yang dilakukan orang tuanya sendiri.

Sebagai tenaga kesehatan saya tertampar. Kenapa masih ada prilaku seperti ini? Apakah promosi kesehatan yang kami teriakkan ke masyarakat masih kurang menggema, hingga informasi penting seperti ini tidak sampai ke hati ibu-ibu, para orang tua yang masih punya Balita?

Ya, saya katakan sampai ke “hati” bukan telinga. Karena hatilah yang menggerakkan untuk perubahan prilaku. Banyak informasi yang sudah diperdengarkan. Kasus-kasus yang sudah ditontonkan. Tapi, nampaknya belum dapat menyentuh hati untuk berubah prilaku.
Ini sangat penting dan seharusnya menjadi sorotan dalam dunia kesehatan.

Anak-anak Balita saat ini adalah anak masa depan yang akan membangun Indonesia nantinya. Karenanya penting bagi kita mencetak generasi yang tangguh, sehat dan bermutu. Tapi, apa yang saya lihat sekarang??? Diskriminasi itu malah datang dari orang terdekat, yaitu ibunya sendiri. Karena kurang informasi kesehatan, atau karena merasa kesehatan anak tak penting, “yang penting anaknya diam”. Udah, gitu aja? Begitukah?

Mungkin persyaratan pra-nikah harus ditambah. Pasangan yang akan menikah harus lulus uji tentang tatacara asuh dan merawat anak dengan tepat dan sehat.
Yah, mungkin saat ini itu yang dapat dilakukan dibidang kesehatan.

Jadi, yang belum lulus uji, seharusnya tidak di izinkan menikah dulu. Agar tak ada lagi pemandangan seperti yang saya lihat ini.

Pikiran saya menerawang jauh, hingga mereka sampai dan turun dari bus angkutan kota. Saya lihat si dedek dengan wajah lugunya yang sedih.

Dalam hati saya bergumam, “kasihan sekali kamu nak, harus menjadi korban ibu yang belum siap untuk jadi Ibu.”

Tapi, sebagian diri saya meledek saya, “lebih kasihan kamu hanim, sudah lama siap jadi ibu, ilmu sudah banyak, tapi belum juga jadi Ibu. Gimana mau jadi ibu, anak juga belum punya. Gimana mau punya anak, suami juga belum punya. Gimana mau punya suami nikah juga belum. Ha??? Nikah, kekasih juga gak punya. Kamu kan jomblo.” Duuuhh…. jadi baper kan… udah deh meledeknya. Hmhmhm…. Maulida Hanim

Penulis adalah praktisi vibrasi cinta, rutin menulis tentang info seputar tips percintaan dan asmara.

 

- Advertisement -

Berita Terkini