Silaturahim Ala Angkringan: Model Adaptif Alumni KAGAMADOK IK THT-BKL FK-KMK UGM untuk Kebersamaan dan Kemandirian

Breaking News
- Advertisement -

 

Oleh : Anton Christanto
Ketua Alumni Kagamadok IK THT-BKL FK-KMK UGM 2025-2030

Mudanews.com OPINI | Ada satu hal yang selalu saya syukuri sebagai lulusan UGM: kita diajarkan bukan hanya ilmu kedokteran, tetapi juga kearifan dalam hidup. Kita ditempa untuk menjadi manusia yang adaptif—mampu membaca zaman, menyesuaikan diri dengan lingkungan, dan tetap berakar pada budaya kita sendiri. Inilah ciri khas lulusan UGM yang membedakan kita dari banyak komunitas lain.

Adaptif itu bukan sekadar “pintar menyesuaikan diri”, melainkan juga mampu membuka hati, berempati, dan menjalin kebersamaan. Maka ketika bicara tentang model reuni atau silaturahim alumni, saya teringat pada satu ikon budaya Yogyakarta yang sederhana, tapi penuh makna: angkringan.

Angkringan sebagai Metafora Kebersamaan

Apa yang kita temukan di angkringan?
Kesederhanaan dan keakraban. Tak ada jarak, semua bisa duduk sejajar, entah profesor, mahasiswa, pedagang, atau seniman.

Cerita yang mengalir. Di meja sederhana itu, orang berbagi kisah, pengalaman, dan tawa—seperti kita dulu di bangku kuliah.

Solidaritas. Siapa pun boleh datang, siapa pun boleh berbagi, siapa pun boleh merasa diterima.

Bayangkan jika alumni KAGAMADOK IK THT-BKL FK-KMK UGM menghidupkan kembali suasana itu dalam silaturahim kita. Reuni bukan sekadar formalitas, melainkan temu kangen ala angkringan: santai, jujur, penuh rasa kekeluargaan.

Dari Syariat ke Hakikat

Hidup ini sebuah perjalanan spiritual. Kita mengenalnya dalam empat tahap: syariat, thariqat, hakikat, dan makrifat.

Syariat: Lulus sebagai dokter THT-BKL dari FKKMK UGM, kita resmi menjadi alumni.

Thariqat: Kita jalani silaturahim, reuni, dan ziarah kubur, sebagai jalan untuk mengenang, mendoakan, dan merawat kebersamaan.

Makrifat: Dari perjalanan itu, kita memperoleh pengalaman batin: persaudaraan, kebersamaan, dan kesadaran akan kefanaan hidup.

Hakikat: Pada akhirnya, kita paham bahwa dunia ini fana. Yang abadi adalah amal, doa, dan persaudaraan yang kita rawat.

Dengan cara ini, reuni bukan sekadar nostalgia. Ia adalah jalan ruhani yang mengingatkan kita pada makna hidup, menguatkan ikatan, dan mendatangkan keberkahan. Rasulullah SAW sendiri mengajarkan, silaturahim bisa memperpanjang usia dan melapangkan rezeki.

Nilai Silaturahim Ala Angkringan

1. Membangun Suasana Akrab: Kita kembali ke akar, melepas atribut formal, duduk bersama dengan hati yang lapang.
2. Mempererat Tali Persaudaraan: Kisah lama dihidupkan kembali, tawa dan air mata bertemu, menjahit kembali jarak yang sempat renggang.
3. Berbagi dan Saling Menopang: Dari ruang sederhana itu, kita bisa saling menguatkan, baik moral maupun materi.
4. Keberkahan: Silaturahim mendatangkan rezeki, menambah usia dalam kebermanfaatan, dan mengurangi beban hati.
5. Solidaritas dan Jaringan:
Kita punya kekuatan besar jika bersatu, bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk bangsa

Etika “NJawani” Alumni UGM

Semua itu kita jalani dengan etika khas UGM yang njawani, yaitu:

Andhap asor: rendah hati dan tidak meninggikan diri.
Ramah: menyapa dengan senyum, menyenangkan orang lain.
Menghargai yang lebih tua: menjaga tata krama dan penuh hormat.
Mengutamakan harmoni daripada ego: rela mengalah demi kebersamaan, menjaga kerukunan di atas kepentingan pribadi.

Nilai-nilai inilah yang menjadikan kebersamaan alumni UGM selalu teduh, damai, dan penuh makna.

Kemandirian Alumni: Dari Donasi ke Loyalitas

Satu hal yang juga penting: setiap kegiatan butuh sumber daya. Selama menjadi pengurus periode 2020–2025, saya belajar bahwa cara terbaik membiayai kegiatan alumni bukan dari iuran wajib—yang justru bisa jadi beban—melainkan dari acara bermakna dan kampanye donasi yang transparan.

Acara: menghadirkan manfaat nyata, kesempatan bertemu, nostalgia, sekaligus nilai tambah bagi profesi.

Donasi: memungkinkan setiap alumni berkontribusi sesuai kemampuan, tanpa paksaan, tapi dengan rasa ikhlas dan kepemilikan.

Transparansi adalah kunci. Alumni ingin tahu ke mana kontribusi mereka mengalir. Jika jelas dan berdampak, loyalitas akan tumbuh.

Silaturahim ala angkringan bukan sekadar gaya. Ia adalah model adaptif yang berakar pada budaya kita, selaras dengan nilai UGM, dan relevan dengan kebutuhan alumni masa kini.

Mari kita rawat kebersamaan ini. Mari kita duduk bersama, sederhana tapi penuh makna. Mari kita hadir bukan hanya untuk “temu kangen”, tetapi juga untuk menemukan kembali makna kebersamaan, rasa memiliki, dan hakikat hidup itu sendiri.

Kita mungkin datang sebagai individu, tapi kita pulang sebagai keluarga.
Dan di situlah letak keberkahan silaturahim alumni KAGAMADOK IK THT-BKL FK-KMK UGM.***

Berita Terkini