Catatan Senja Dari Panti Marhaen Semarang

Breaking News
- Advertisement -

 

Mudanews.com OPINI – Di senja itu, mendung menggantung di langit kota Semarang. Memasuki gedung utama Panti Marhaen aroma dupa menyebar lembut di barengi harumnya mawar, melati, kenanga, kanthil yang dirangkai dalam jembangan menjadi rangkaian bunga setaman dan macan kerah

Menurut ibu Titien salah satu panitia, ada perbedaan makna  antara bunga setaman dan macan kerah. Bunga setaman dirangkai sebagai pembersih sedangkan bunga macan kerah bertujuan untuk menghilangkan  sengkala  ( hambatan, kejahatan).

Air/ tirta suci diambil dari beberapa tempat di Jateng sebanyak 7 sumber yakni, Dlepih, Wonogiri, Demak, Purwodadi, Ungaran, Salatiga dan Pengging, Boyolali. Sebagaimana kita ketahui air merupakan simbol kehidupan  bagi keberlangsungan makhluk hidup di  jagad raya.

Dalam prosesi selanjutnya yang dipimpin oleh Ki Semar  bapak  Tarno, bapak Soemanto selaku Ketua DPRD Jateng  diselimuti oleh kain putih simbolisasi dari acara ruwatan agar semua kotoran yang melekat atau dalam istilah Jawa disebut dengan  sukerta dapat lenyap oleh kekuatan air suci bermantera

Acara ruwatan tersebut dilangsungkan di halaman samping dan belakang.yang luas ditutup oleh tenda berwarna merah putih dengan seperangkat gamelan lengkap dengan deretan tokoh wayang kulit yang ditancapkan di batang pohon pisang

Dengan dalang kondhang Ki Purboasmara , malam itu di pilih lakon yang heroik yaitu Gatotkaca Pinilih. Suasana  sakral dan  syahdu , dalam acara tersebut juga disemarakkan oleh para pesinden berkebaya meriah cerah yang bersimpuh dengan anggun . Tersembul diantara.bunga bunga dan dedaunan sebagai dekorasinya.

Dalam balutan kebaya merah dilengkapi sanggul bersunggar, hadirin terpesona oleh  kecantikan budaya Jawa yang adi luhung . Paduan dupa dan batang hio menebar wangi keseluruh tenda disapu angin lembut,suasana sakral terbangun ,di selingi cipratan air  suci yang menyegarkan nurani.

Pagelaran wayang kulit  di mulai dengan tokoh sentral ksatria sakti trah Pandawa, bernama Raden Gatotkaca , raja muda Pringgondani. Putra Sang Bima dan Dewi Arimbi , yang semula seorang raseksi jelek rupa tetapi berkat doa Dewi Kunti Dewi Arimbi berubah menjadi putri yang sangat cantik jelita

Mengapa dipilih Gatotkaca  sebagai panglima perang Pandawa di medan Bharatayudha? Putra Bimasena ini dianggap merepresentasikan ksatria jujur, berintegritas dan kokoh dalam membela kebenaran.

Saat masih bayi Gatotkaca di lempar kedalam Kawah Candradimuka oleh Bathara Narada. Dengan harapan kelak akan tumbuh menjadi ksatria sakti pilih tanding . Hasil penggodogan di dalam kawah Condrodimuka , benar.benar dahsyat.

Gatotkaca kecil berubah menjadi bocah sakti yang dapat mengalahkan pamannya yang mengusai kerajaan Pringgondhani

Semua manusia tentu ada titik kelemahannya, sesakti apapun, demikian juga dengan Gatotkaca.

Ajalnya ada ditangan pamannya sendiri , Adipati Karna yang berada di fihak Kurawa. Sesuai yang telah digariskan para dewa, maka Gatotkaca tewas oleh senjata milik Karna bernama Kunta Wijayadanu

Sebagai perisai bangsa, Gatotkaca rela mengorbankan nyawanya demi membela negara yang sangat dicintainya. Atas kematian putranya inilah , kemudian ibundanya bela pati pada saat pembakaran jenazah putra.yang dicintainya

Tragis dan mengharukan demi menegakkan kebenaran, risiko terberat bagi siapa saja yang sadar betapa pentingnya sebuah kedaulatan. Pahlawan kusuma bangsa ada dimana saja, baik dalam cerita fiksi maupun dunia nyata.

Sebagai bagian dari komponen bangsa yang berbudaya dan berkeadaban, PDIP selalu ingin melanggengkan budaya bangsa dalam hal ini wayang, sebagai warisan budaya leluhur bangsa Indonesia.

Bahkan oleh UNESCO telah dinobatkan sebagai  ”  Masterpiece of Oral and intangible Heritage of Humanity ”  pada tahun 2003.Melalui wayang inilah bangsa Indonesia terangkat sebagai pemilik Mahakarya dunia yang luar biasa nilainya

Si Banteng moncong putih akan selalu berada di garis depan tanpa reserve, dalam kondisi apapun

Dalam konteks acara ruwatan tersebut, konon melalui rajah Kala Cakra milik dewa Wisnu, semua kejahatan, ketidak jujuran, kebathilan, ketidak adilan, kemunafikan akan sirna lenyap berganti dengan kesucian yang diliputi cahaya gemilang menyongsong masa depan bagi seluruh rakyat.

Makmur dalam keadilan  dan Adil dalam kemakmuran.

Jayalah negeriku, Jayalah bangsaku

Semarang , 23 April 2025

Ny.Oeoel Djoko Santoso, Eksponen Marhaenis tinggal di Semarang

 

Berita Terkini